NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

"Mandi dulu."

Yaga menyerahkan sebuah handuk ke tangan Almaira. Hanya handuk kimono sederhana. Dia menggenggam erat kain itu, tak langsung berbalik menuju kamar mandi.

Melihat itu, Yaga terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di pinggangnya, menariknya lebih dekat sambil jemarinya menggoda lekuk tubuhnya.

"Biar begitu, nanti juga akan kulepas lagi, buat apa repot-repot?"

"....."

"Atau, kita mandi bersama saja?"

Yaga menempelkan tubuhnya lebih erat seolah benar-benar mengajukan tawaran dengan sungguh-sungguh.

Almaira dengan cepat mendorong dadanya dan berbalik. Begitu masuk ke kamar mandi, dia mengunci pintunya.

Sekilas, raut wajahnya tampak penuh ketidakpercayaan, membuat Yaga tertawa kecil.

Saat itu, hp nya bergetar.

Yaga mengeluarkannya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Itu adalah laporan yang dia perintahkan pagi tadi.

Riwayat transaksi Almaira. Hanya ada satu pengeluaran yang dia gunakan untuk membeli buku-buku baru.

[Kerja bagus.]

Setelah mengirim balasan singkat, Yaga meletakkan hpnya di atas meja, lalu melirik ke arah kamar mandi, tempat suara air mulai mengalir.

Ketika Almaira keluar setelah selesai mandi, dia mengenakan handuk kimono yang diberikan Yaga.

Handuk itu, sudah cukup panjang untuk menutupi separuh pahanya.

Almaira menarik napas dalam-dalam dan menatap bayangannya di cermin. Pipinya merah merona, bukan hanya karena air hangat. Ada sesuatu di matanya yang bergetar.

Sepertinya, dia masih belum bisa menceritakan yang sebenarnya, sementara waktu terus berlalu. Dua hari. Setelah tengah malam nanti, hanya tersisa satu hari. Sebuah kebohongan yang seharusnya segera dia ceritakan sebelum kepergiannya.

Almaira bahkan belum memikirkan bagaimana cara menceritakan semuanya.

Ketika keluar dari kamar mandi, Yaga pun sudah selesai mandi.

Dia duduk di sofa kamar, meminum segelas anggur. Saat melihatnya, dia menyapu pandangannya dari kepala hingga kaki, lalu tertawa dengan ekspresi seolah tak habis pikir.

"Kamu kedinginan?"

Jelas bukan itu maksudnya.

Nada sindirannya membuat Almaira melirik tajam. Yaga menghabiskan sisa anggurnya, lalu mengulurkan tangan ke arah Almaira

"Kemarilah."

Almaira berjalan melewati tempat tidur dan duduk di sofa di hadapannya, meja kaca ada diantara mereka.

Yaga menuangkan air anggur ke dalam gelasnya. Cairan merah pekat itu jatuh membentuk lengkungan halus.

"Kamu mau minum, kan?

"Apa itu boleh?"

"Lakukan, tapi ini kadar alkoholnya cukup tinggi. Jangan terlalu banyak."

"Oya? Seberapa tinggi?"

"Kalau kamu tidak hati-hati, siapa tahu, kalau kamu akan melakukan hal aneh denganku."

Yaga tersenyum kecil, seperti sedang memberi peringatan. Dia segera mendorong segelas anggur ke arahnya.

Almaira menyesapnya perlahan. Seketika, aroma kuat memenuhi mulutnya. Dia menutup mata sejenak, lalu membukanya kembali.

Melihat reaksinya, Yaga tertawa kecil.

"Sudah kubilang, hati-hati, Almaira."

"Tidak apa-apa Kak, Aira masih bisa menahannya."

"Benarkah?"

"Ya"

Seolah ingin membuktikan ucapannya, Almaira meneguk anggurnya sekali lagi.

Sementara Yaga memutar gelas anggurnya perlahan sambil memperhatikannya.

Saat Almaira terus minum, Yaga bergeser, duduk di tepi meja. Dia mengulurkan tangan, seakan ingin merebut gelas dari tangannya.

"Sudah cukup."

"Tidak apa-apa"

"Kamu sudah mabuk?"

"Tapi… Aira ingin mabuk."

Almaira menenggak sisa anggurnya dalam satu tegukan. Mungkin ini hanya keberaniannya yang dibuat-buat. Tapi sungguh, jika dia bisa, dia ingin benar-benar mabuk.

Tanpa perlu berpikir, tanpa perlu dihadapkan pada situasi. Dia ingin melupakan semuanya, termasuk rasa bersalah karena telah membohonginya.

"Kenapa?"

Yaga bertanya, namun Almaira tetap diam. Pada akhirnya, Yaga tertawa pelan.

"Kalau kamu bilang begitu, aku bisa jadi salah paham."

Yaga mengangkat tangannya, menyapu bibirnya yang basah oleh anggur.

"Suamiku…. uhm_"

Namun, sebelum Almaira bisa melanjutkan, Yaga mencondongkan tubuh dan mencium bibirnya.

Ciumannya singkat, lembut, namun rasanya tetap dalam. Saat bibir mereka berpisah, Yaga memandangi wajah Almaira, ekspresinya tidak terbaca.

"Almaira, kamu benar-benar…"

"Hm?"

"…Cantik."

Seketika, pipi Almaira semakin memerah.

Di bawah bulu matanya yang bergetar, matanya terlihat berkilau, dipenuhi kelembapan yang berpendar di bawah cahaya redup.

Yaga, yang tak mampu menahan diri, sekali lagi menariknya ke dalam ciuman. Setelah cukup lama, dia menarik diri dan kembali bersandar di kursinya.

Almaira terengah-engah, menatapnya dengan mata yang masih berkabut.

Yaga meraih botol anggur dan menuangkan lebih banyak ke dalam gelasnya. Saat gelasnya kembali penuh, dia mengangkatnya dan menyodorkannya pada Almaira.

"Mari bersulang."

Almaira menatapnya sejenak sebelum mengangkat gelasnya. Saat kaca bertemu kaca, terdengar dentingan jernih. Anggur di dalam gelas mereka beriak, menciptakan pola yang tampak seperti ombak kecil.

Mungkinkah, Aira sudah mabuk?

Sebaliknya, Yaga tampak sepenuhnya sadar.

Pipi Almaira rasanya memanas seakan-akan meledak, sementara laki-laki di hadapannya tetap tenang, seolah tidak terpengaruh.

"Kenapa?"

"Itu... Aira gerah." Dada Almaira naik turun dengan napas yang memberat.

"Turunkan saja."

Yaga mengisyaratkan ke arah celana yang masih dikenakan Almaira, seolah-olah heran mengapa dia tetap memakainya.

Ketika Almaira menatapnya tajam, dia justru tersenyum.

"Mau kubantu?"

Almaira mengalihkan pandangan darinya dan kembali membawa gelas anggur ke bibirnya. Meneguknya sedikit, lalu mencoba menghabiskannya sekaligus, namun tiba-tiba, Yaga menghentikannya.

"Sudah cukup, jangan di teruskan."

Yaga merebut gelas itu dari tangannya dan menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan.

Dia juga menuangkan sisa anggur dari botol ke dalam gelasnya dan meneguknya sampai habis.

"Kenapa…"

Yaga meletakkan gelasnya di atas meja, lalu dengan ujung jarinya, dia menepuk pelan pipi Almaira yang sudah memerah karena efek alkohol.

Begitu pula, di bawah matanya tampak sedikit bersemu, menambah daya tarik yang menggoda.

Sekali lagi, jemari Yaga membelai pipinya dengan lembut, menyusuri setiap lekuk wajahnya.

Tatapannya tertuju pada bibir Almaira yang sedikit basah, seakan terpaku pada pemandangan itu lebih lama dari yang seharusnya.

Tenggorokannya terasa kering meski dia baru saja minum.

Haus. Lapar. Jika harus diringkaskan, itu adalah nafsu. Hasrat terdalam untuk melumatnya.

Keinginan untuk menghancurkannya datang, untuk melihat wajahnya berantakan di bawah kendalinya.

Yaga menggenggam pipi Almaira dengan satu tangan, pikirannya melayang sejenak pada laporan yang baru saja dia terima.

Saat itu, rasanya seolah-olah sosok gadis ini perlahan-lahan menghilang dari genggamannya, seperti butiran pasir yang terlepas di antara jari-jarinya.

"Biarkan Aira minum lebih banyak Kak.."

"Tidak boleh."

Almaira meraih pergelangan tangan Yaga yang masih memegang wajahnya, suaranya terdengar samar masih karena efek alkohol.

Melihatnya seperti itu, Yaga tertawa pelan, entah karena terhibur atau putus asa.

"Almaira."

Dia merengkuhnya dan mengangkatnya dengan mudah. Gadis itu tersentak dan menarik napas kaget, tapi belum sempat bicara apa-apa, Almaira sudah diletakkan di atas tempat tidur.

Bukan dilempar, bukan didorong, namun tetap saja, dia terlihat ragu, seperti tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Jangan melakukan hal yang biasanya tidak ingin kamu lakukan, Almaira."

"Aira tidak melakukan apa-apa."

"Benarkah?"

Yaga naik ke tempat tidur, menatapnya dari atas. Tatapannya turun, bertemu dengan mata Almaira.

Gadis itu gemetar, tapi tidak menjauh. Seolah-olah ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa malu atau keterbukaan.

"Kemarin, kamu ingin merasa di maafkan. Hari ini, kamu ingin mabuk."

"…"

"Lalu, apa yang harus kulakukan besok, Almaira? Mau aku tunggu?"

Yaga menyeringai kecil sambil membuka sabuk celananya. Ruangan itu pun rasanya semakin memanas.

***

Setelah melepaskan semua pakaiannya, Almaira menyematkan kedua tangannya dan meletakkannya di atas kepala suaminya. ujung jarinya menelusuri jalan yang lambat di tubuhnya.

Dia bergidik saat laki-laki itu menelusuri garis tegas di bagian dalam pergelangan tangannya dan menggelitik daging lembut dilengan bagian dalamnya.

Almaira menggelengkan kepalanya karena malu saat tatapan laki-laki itu menjalar ke bawah lehernya lalu ke dadanya.

Sentuhan ujung jarinya saja sudah membuatnya panas menjalar ke tulang punggungnya, dan dia memanas saat sentuhan tangannya menangkup dadanya.

Di antara jari-jari yang menggosoknya dengan pelan, Almaira sudah terisak-isak.

Saat gadis itu mendesah, rasanya seperti diintimidasi tanpa harus mengucapkan apa-apa. Akan lebih baik lagi, jika dia mengambil semuanya sekaligus.

Yaga menggenggamnya di tangannya untuk waktu yang lama, sebelum bibirnya kembali ke awal garis yang dia buat dengan ujung jarinya. Dia mencium pergelangan tangannya dan perlahan-lahan menggigit ke bawah.

Almaira tersentak saat Yaga menempelkan bibirnya ke lengannya.

Rasanya aneh dan asing. Yang jelas, sebuah firasat menjalari dirinya.

Saat bibir garis Yaga menggigitnya, Almaira membenamkan bibirnya untuk menelan lenguhan pelannya

"Ugh."

Almaira menggeliat ketakutan, kedua tangannya terkatup di atas kepalanya. Di tempat yang paling sulit dipercaya, mulut laki-laki itu terbuka lebar, menghisap dengan dingin dan rakus.

"Ke, kenapa, di sana, ti-tidak. Ah, ngh, kumohon...."

Almaira merasa seperti akan kehilangan akal sehat. Kewarasannya mulai hilang, teriakan panjang meledak di setiap suara yang dia dengar di kejauhan.

Pada saat Yaga memakannya, Almaira sudah hancur. Sulit untuk menerima pertentangan dari keadaannya yang sudah basah.

Seolah-olah ingin memastikan tidak ada bagian tubuh Almaira yang tidak dia lewati, Yaga menaikinya satu per satu. Dia meraba-raba di bawah kukunya, menyelipkan lidahnya di antara jari-jari kakinya, dan mengulumnya di dalam mulut.

Ketika Almaira tersadar, bagian intim laki-laki itu sudah berada didepannya, mengacaukan penglihatannya.

"Kamu tidak suka?"

Almaira menatapnya dengan mata bergetar. Sekarang dia tidak tahu apa yang dia lakukan.

"Buka bibirmu, dan hisaplah."

Almaira mengalihkan penglihatannya

Bahkan dengan rasa pusing yang menjalar di kepalanya, kata-kata yang mengasumsikan hal itu menggantung seperti duri di tenggorokannya.

Dia tidak bisa mengatakan tidak, tapi.. Dia juga tidak tahu harus menjawab apa.

"Almaira, jangan memutar matamu."

Pada saat itu, Yaga mencondongkan tubuhnya mendekati wajah Almaira. Matanya yang tajam menatapnya seolah-olah bisa menembus bagian terdalam dirinya, dan tidak ada yang bisa Almaira katakan sebagai tanggapan.

Kemudian mata laki-laki itu melembut. Dia mencondongkan tubuhnya, mencium pangkal hidungnya, menggelitik pipinya dengan ujung jarinya, dan bertanya dengan suara yang menenangkan,

"Kamu lelah ya? Ingin aku berhenti?"

Jantung Almaira berdebar-debar, dan untuk sesaat, matanya terasa panas.

"Ti-tidak. Aira_" Almaira menggelengkan kepalanya.

Yaga tertawa lepas dan dengan cekatan, dia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Almaira.

Gadis itu mengepalkan tangannya, tubuhnya menegang karena tegang.

"Boleh aku masuk?"

"Mm, boleh.."

"Apa rasanya sakit?"

"Tidak."

Senyum Yaga melebar sejenak, lalu memudar menjadi seringai masam.

"Kalau begitu, tenanglah sebelum aku meremasmu, sampai kamu merasa tidak mau melepasnya."

"Hmph......"

Almaira merebahkan diri di atas tubuh basahnya laki-laki itu, dengan lembut memeluknya. Sebuah suara aneh keluar dari bibirnya yang lembab.

Yaga menghisap keras dadanya, gadis itu panik dan memeluk kepalanya. Lalu kemudian, laki-laki itu menatapnya dan menggertakkan giginya. Dia bisa melihat Almaira meringis saat dinding bagian dalamnya mengencang.

"Ahhh, ungh.."

Panggulnya mencengkeram, dan penyatuan yang ganas itu terus berlanjut. Tubuhnya bergetar pada setiap dorongan.

Ketika Almaira menutupi dadanya dengan tangannya karena malu, tangan Yaga menyelinap ke bawah dan menangkupnya, meremasnya dengan kencang.

Bahkan sisa-sisa puncaknya tidak berlangsung lama. Yaga kembali mengatur nafasnya dan membalikkan tubuh gadis itu, lalu menyelipkan tangannya di bawah dadanya untuk mengangkat tubuhnya yang melorot.

Dia membenamkan kepalanya di tengkuk Almaira dan masuk

"Kamu suka ini, huh?"

"Mmmh, Hngh?"

"Jawab aku."

"Mmm, ya. Hmph, Aira suka,"

Dengan setiap dorongan, Almaira bisa merasakan air memercik dan menetes di pahanya.

Seluruh tubuhnya basah oleh keringat, pun warna kulitnya memerah karena bekas ciuman. Yaga menatap mata Almaira yang berair.

"Kamu cantik Almaira."

"Hm.."

Yaga menarik kaki Almaira ke arahnya, membawanya lebih dekat di antara pahanya yang kokoh. Di bawah cahaya yang redup, sensasi yang bercampur antara kenikmatan dan rasa malu semakin menguasai dirinya.

Tidak lama lagi, semuanya mungkin akan kembali normal dan baik-baik saja. Setidaknya Aira harus bisa bertahan. Ini bukan apa-apa.

Dengan pemikiran itu, Almaira memaksa dirinya untuk tetap diam. Jalan menuju awal hubungan ini terasa semakin meyakinkan, meski tanpa arah yang jelas.

***

Yaga merapikan dasinya di bawah kerah kemejanya, lalu menatap Almaira yang masih terbaring di tempat tidur. Napasnya kini tenang dan teratur, tetapi wajahnya tampak sedikit pucat setelah semalaman menghadapi dirinya.

Dia tahu, setiap kali Almaira menggoda dengan cara seperti itu, seolah ingin dimaafkan itu sangat mengusiknya.

Maka, sebagai jawaban, dia memperlakukannya dengan kasar, memaksa tanpa memberi ruang untuk menghindar. Namun, meski sudah sejauh itu, Almaira tetap bertahan tanpa sekalipun meminta berhenti.

Jadi, Yaga pun tidak berhenti.

Dia mendorong tanpa ampun, meleburkan seluruh dirinya, melekat padanya seperti predator. Jika bukan karena kenyataan bahwa itu adalah malam mereka tidur bersama, mungkin rasanya lebih seperti pertempuran ketimbang sesuatu yang intim.

Setelah mengencangkan simpul dasinya, Yaga keluar dari kamar. Tepat saat pintu tertutup, Sekretaris Gan sudah menunggu di luar, membawa troli yang seharusnya dikeluarkan sejak tadi malam.

Dia menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

Tanpa menghentikan langkahnya, Yaga menyisir rambutnya ke belakang dan memberi instruksi.

"Beri tahu Bibik, dia tidak perlu masuk ke kamar Almaira hari ini untuk bersih-bersih. Cukup antarkan makanan saja. Dan beritahu mereka, besok aku akan pergi ke luar kota."

"Baik, saya mengerti."

Yaga duduk di sofa ruang kerjanya dan menyandarkan kepalanya, matanya terpejam sejenak. Di balik kelopak matanya, yang muncul hanyalah bayangan mata Almaira, basah, berkabut, seperti semalaman tadi.

"Gan."

"Ya, Tuan muda."

"Selidiki Amera lebih dalam. Jika perlu, cari tahu juga informasi yang beredar di lingkup pertemanannya, dan periksa transaksi keuangannya."

Transaksi keuangan ya.

Apakah mungkin ada sesuatu yang dia dapatkan dari istriku?

Cara lama yang ketinggalan zaman memang, tapi entah kenapa firasat buruk ini tidak bisa dia abaikan.

Ataukah.... dia tersadar dan melakukan tindakan impulsif nya?

Jika itu alasannya, lebih baik Almaira benar-benar memutuskan hubungannya atas kemauan sendiri, tanpa dia manfaatkan lebih dulu.

Yaga menekan pelipisnya, lalu tertawa kecil dan getir, seolah tidak rela istrinya kembali dipermainkan.

***

Almaira terbangun ketika pagi sudah hampir berlalu. Dengan tirai yang tertutup rapat, dia bahkan tidak bisa memperkirakan waktu.

Almaira mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menoleh ke samping. Jam digital di meja kecil di samping tempat tidur menunjukkan pukul satu siang.

Sejak kapan…

Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu perlahan bangkit.

Dari balik pintu kamar yang tertutup rapat, suara Yaga terdengar samar. Suaranya masih sedikit berat, mungkin karena kelelahan semalam.

Tak banyak waktu tersisa untuk mendengar suara itu. Bahkan hari pun belum genap. Namun, tetap saja, dia masih menggenggam waktu yang tersisa erat-erat, seolah enggan menceritakan yang sebenarnya.

Setelah beberapa saat mendengarkan suara laki-laki itu, Almaira akhirnya menurunkan kakinya ke lantai.

Saat menyibak selimut, dia menyadari bahwa dia masih mengenakan handuk kimono yang diberikan Yaga tadi malam tersingkap hingga paha.

Tubuhnya kini terasa segar, seolah ada seseorang yang sudah membersihkannya. Seketika, pipinya terasa panas.

Untung saja, jarak untuk masuk kamar mandi cukup dekat.

Dengan sedikit kaku, dia berdiri. Seluruh tubuhnya rasanya nyeri, terutama di bagian pahanya.

Setelah selesai mandi, dia kembali ke kamar yang kini sudah diterangi matahari.

Sepertinya Yaga mendengar suara airnya dari luar. Dengan hati-hati, dia mengintip dari balik pintu.

Yaga, yang kini mengenakan kemeja putih lengkap dengan dasi hitam, langsung menoleh ke arahnya.

Sebelum Almaira bisa menghindar, laki-laki itu melangkah mendekat dengan cepat.

Almaira sedikit mundur, namun dia segera ditarik ke dalam pelukannya.

"Bagaimana tubuhmu?"

"Aira baik-baik saja. Tapi… Kak Yaga tidak bekerja?"

Begitu melihatnya, yang pertama dia tanyakan malah pekerjaan. Yaga menyipitkan mata, lalu terkekeh kecil.

"Hari ini, aku ingin mengerjakan tugasku di rumah."

"Ah, begitu ya."

"Duduklah di sofa. Aku sudah meminta Gan menyiapkan makanan ringan untukmu."

"Apa?"

"Kenapa? Kamu tidak suka?"

"Bukan begitu, biasanya, Bibik atau Lea yang biasa mengantar makanan kan?"

"Aku meminta Gan menunggunya di luar dan membawa makanan ke sini, jadi jangan dipikirkan. Duduk saja."

Yaga mencubit pipi Almaira pelan, lalu mengisyaratkan ke arah sofa. Karena malu, sesaat, Almaira sempat berpikir untuk bersembunyi di suatu tempat.

Namun, sebelum sempat mencari tempat yang cocok, Yaga sudah membaca pikirannya dan hanya bisa tertawa kecil.

Dengan langkah perlahan, dia berjalan ke sofa dan menjatuhkan diri di atasnya.

Di atas meja, setumpuk dokumen tampak tertata rapi.

Salah satu dokumen di bagian atas tampak setengah terbuka, lengkap dengan sebuah pensil terselip di tengahnya.

"Almaira"

Suara Yaga membuatnya tersentak.

Saat berbalik, Yaga menyelipkan tangannya ke rambut Almaira yang masih basah, lalu mengusapnya perlahan ke bawah.

Setelah Yaga duduk di sampingnya. Tanpa banyak bicara, dia meraih kaki Almaira dan meletakkannya di atas pahanya.

"Sudah cukup istirahatnya?"

Belum sempat bertanya apa maksudnya, Yaga mulai memijat betisnya dengan perlahan. Jemarinya bergerak dari telapak kaki hingga naik ke bagian bawah lutut.

Sebelum bisa bereaksi, nyeri yang sempat Almaira rasakan tadi langsung menyeruak. Dia mengerang pelan dan menutup matanya erat-erat.

"Tahan sebentar."

"Sakit Kak…"

"Padahal semalam, bilangnya kamu suka, kenapa sekarang mengeluh?"

Pertanyaan itu membuat jari-jari kaki Almaira mengerut.

Kenyataannya dia hanya mengatakannya karena diminta, karena laki-laki itu ingin mendengarnya kan.

Sejenak, ingatan semalam berkelebat. Setiap perintah yang dia ikuti, setiap kata yang dia ucapkan sesuai permintaannya. Jika boleh memilih, lebih baik Almaira melakukan sesuatu daripada harus mengatakan hal-hal yang membuatnya malu.

Andai dia benar-benar mabuk, mungkin semua ini tidak akan terlalu jelas dalam ingatannya.

Namun sayang, Almaira mengingat semuanya, setiap kata yang diucapkan laki-laki itu, setiap sentuhan yang dia berikan, rasanya begitu nyata.

Tanpa bisa menjawab, Almaira hanya menundukkan kepala.

Melihat reaksinya, senyum yang muncul di bibir Yaga semakin mendalam.

Saat itu juga, terdengar ketukan di pintu.

Syukurlah, Sekretaris Gan datang dengan membawa makanan.

Almaira segera menarik kakinya turun dan bersiap menyambut, tapi Yaga sudah lebih dulu berdiri.

"Tunggu di sini."

Begitu pintu terbuka, yang Almaira lakukan hanyalah duduk di sofa.

Sementara Yaga, langsung membuka pintunya, mengambil makanan, lalu kembali menutupnya.

Saat berbalik, dia melihat Almaira yang masih sibuk menunduk. Melihat itu, dia hanya menggeleng pelan dan tertawa kecil, seolah tak habis pikir.

Makanan yang disiapkan sederhana, sandwich yang dipotong kecil agar mudah dimakan dengan tangan, dan segelas jus jeruk.

"Suamiku."

Yaga yang membalik halaman dokumen di tangannya, menatapnya sekilas.

Sementara itu, Almaira menelan suapannya dan menatap laki-laki yang kini berbaring berbaring santai dengan kepalanya di atas pahanya.

"Enak?"

"... Duduklah, tidak baik kalau Kak Yaga bekerja sambil tiduran kan?"

"Jangan merusak suasana ku."

Yaga tersenyum tipis, seolah menolak permintaan itu dengan ringan, lalu kembali fokus pada dokumennya.

Suasana ini rasanya hampir tidak nyata.

Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka, membelai kulit mereka dengan lembut.

Bangun siang, menikmati makanan ringan, dan mendengarkan suara angin yang berhembus di antara dedaunan, sementara seorang laki-laki berbaring santai di pangkuannya.

Semua rasanya seperti bagian dari dunia lain.

Almaira menyesap jusnya, lalu meletakkan gelasnya di samping

Dia bisa merasakan lirikannya sekilas, tapi laki-laki itu tidak bicara apa-apa. Tidak berapa lama, suara halaman dokumen yang dibalik kembali memenuhi keheningan di antara mereka.

Awalnya, Almaira hanya meliriknya sesekali. Namun, semakin lama, tatapannya semakin lekat, mengamati setiap gerakan kecilnya.

Jari-jarinya yang panjang menggenggam pensil dengan longgar, gerakan tangannya sedikit melengkung saat mencoret sesuatu, hingga urat-urat halus yang muncul di punggung tangannya, rasanya indah.

Tanpa sadar, Almaira mulai menyentuh rambut Yaga dengan lembut, membelai dengan jemarinya. Jika ini hanya mimpi, maka saat terbangun, semuanya akan berakhir begitu saja.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Entah kenapa, keheningan ini rasanya seperti ketenangan sebelum badai.

Saat hendak menarik tangannya kembali, Yaga meraihnya. Dia mengambil tangannya yang lain, menyelipkan jemarinya di antara jari-jarinya, mengaitkan keduanya dalam genggaman yang erat.

"Teruskan."

Nada suaranya terdengar seperti perintah, diucapkan begitu saja, saat dia menarik garis di bawah teks dalam dokumennya.

Almaira menelan ludah, terdiam sejenak.

Sementara Yaga, semakin mengeratkan genggamannya, seolah memberinya dorongan halus.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, Almaira kembali membelai rambutnya. Pun halaman dokumen kembali dibalik, dan sudut bibir Yaga tersungging, membentuk senyum samar yang hampir tak terlihat.

"Almaira"

"Hm?"

"Bagaimana kalau kita hidup seperti ini selamanya?"

Ekspresinya, seolah dia tidak mengharap jawaban.

"....."

Keheningan Almaira dia terima begitu saja, lalu kemudian, tanpa penjelasan yang mendalam, gadis itu tiba-tiba menjawab,

"Tentu Kak, Aira bersedia."

Di luar jendela, angin yang bertiup seakan membawa pergi sisa-sisa musim semi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!