Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Jalan Pulang
Di sebuah rumah sakit di pusat kota, Yusuf menatap nanar tubuh seorang wanita yang saat ini tengah terbaring lemah di atas hospital bed. Tubuh yang dipenuhi oleh luka-luka dan juga wajah yang nampak sedikit mengerikan akibat luka yang dialami.
Setelah menemukan sosok wanita yang tersangkut di sela-sela batu kali, Yusuf meminta bantuan untuk membawa wanita ini ke kediamannya. Setelah mengganti pakaian si wanita, Yusuf bersegera melarikan wanita ini di rumah sakit yang berada di kota.
"Syukurlah, keadaan pasien semakin membaik Dok. Denyut jantung sudah mulai normal dan saturasi oksigen juga perlahan mulai membaik ya meskipun masih di bawah angka normal. Tapi dengan penanganan yang cepat dan tepat, saya yakin keadaan pasien bisa kembali seperti sedia kala."
Arkan, dokter spesialis penyakit dalam memeriksa keadaan wanita yang dibawa oleh rekan sejawatnya di rumah sakit ini. Dokter itu memeriksa keseluruhan kondisi pasien dan bisa dipastikan keadaannya semakin membaik.
Yusuf tersenyum lega. Ia sempat berpikir jika nyawa wanita ini tidak bisa tertolong namun ternyata Allah memberikan satu keajaiban di mana nyawa wanita ini bisa terselamatkan.
"Syukurlah, saya sungguh bahagia mendengarnya. Saya pikir wanita ini baru saja mengalami kecelakaan maut sampai membuatnya terseret aliran air sungai. Tapi seperti ada yang janggal menurut saya, Dok," ucap Yusuf sedikit curiga dengan kejadian kecelakaan yang dialami oleh wanita asing ini.
"Apa itu yang membuat dokter Yusuf janggal?" tanya Arkan sedikit penasaran.
Memori penemuan tubuh wanita ini di sela-sela batu kali kembali berputar-putar di dalam ingatan Yusuf. Ia ingat betul akan kondisi tangan dan kaki wanita tanpa identitas ini dalam keadaan terikat oleh tali tambang.
"Wanita ini saya temukan dalam keadaan tangan dan kaki terikat oleh tali tambang, Dok. Persis seseorang yang tengah disandera ataupun disekap."
Arkan mengangguk-anggukkan kepala dalam mencerna ucapan Yusuf. Seketika dalam benak lelaki itu muncul sebuah dugaan yang entah benar atau tidak.
"Apa mungkin kecelakaan yang dialami oleh wanita ini merupakan unsur kesengajaan Dok? Maksud saya kecelakaan ini sengaja direkayasa oleh seseorang untuk mencelakai wanita ini?"
"Nah, saya pun juga berpikir demikian Dok. Seperti ada unsur kesengajaan dalam kecelakaan yang menimpa wanita ini," ucap Yusuf membenarkan dugaan Arkan.
"Tapi sudahlah Dok, yang terpenting sekarang wanita tanpa identitas ini sudah melewati masa-masa kritisnya. Tinggal menunggu dia siuman dan mungkin perlahan kita bisa tanyakan apa yang sebenarnya terjadi," tutur Arkan, mencoba memangkas apa yang menjadi prasangka Yusuf.
"Iya Dok, saya rasa lebih baik juga begitu. Perihal apa yang terjadi nanti pasti akan terkuak dengan sendirinya."
"Nah itu jauh lebih baik Dok. Sekarang kita fokus pada pemulihan kondisi wanita ini dulu saja. Untuk hal lain bisa kita tanyakan ataupun kita pikirkan setelah wanita ini sadar," usul Arkan.
Yusuf masih belum melepaskan pandangannya ke arah wanita tanpa identitas ini. Entah apa yang terjadi padanya, ia merasa dekat dengan sosok wanita yang tengah terbaring ini. Padahal ia merasa sama sekali belum pernah bertemu.
"Sebenarnya ada satu hal lagi yang harus saya sampaikan Dok," sambung Arkan yang seketika membuat Yusuf mengernyitkan dahi.
"Apa itu Dok? Apakah ada hal lain yang mengancam keselamatan wanita ini?" tanya Yusuf semakin penasaran.
Arkan menggelengkan kepala. "Wanita ini tengah mengandung, Dok. Saya sudah berkoordinasi dengan dokter spesialis kandungan untuk memeriksa kondisi janinnya..."
"Hah, hamil? Lantas bagaimana keadaan janinnya Dok? Janinnya selamat kan?" ucap Yusuf memangkas perkataan Arkan dengan raut wajah yang diselimuti oleh kekhawatiran.
Arkan hanya bisa menggeleng pelan seraya menghela napas dalam untuk kemudian ia hembuskan pelan.
"Tidak Dok, janin wanita ini tidak selamat. Itu semua diakibatkan benturan keras yang menghantam perut wanita ini sehingga janin gugur. Dan..."
"Dan apa Dok?" tanya Yusuf semakin dibuat khawatir.
"Rahim wanita ini terpaksa harus diangkat Dok. Ada luka cukup serius di rahimnya."
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," lirih Yusuf dengan mata yang sudah berembun. "Lantas sekarang apa yang harus kita lakukan Dok?"
"Hari ini juga kita harus segera melakukan operasi angkat rahim Dok. Saya khawatir jika ditunda-tunda justru akan mengakibatkan pendarahan yang pastinya membahayakan nyawa wanita ini."
"Lakukan segera untuk keselamatan wanita ini. Untuk semua biaya pengobatan wanita ini, akan saya tanggung," perintah Yusuf.
"Baik Dok. Akan segera saya persiapkan untuk operasi. Dokter Yusuf bisa mengurus semua administrasinya terlebih dahulu."
Yusuf mengangguk pelan sedangkan Arkan bergegas meninggalkan ruangan ini untuk mempersiapkan operasi pengangkatan rahim yang akan segera dilakukan. Yusuf menatap lekat wajah wanita yang begitu malang ini. Hatinya mencelos, seakan turut merasakan sakit yang luar biasa hebat.
Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu, Nona? Mengapa nasibmu begitu malang seperti ini? Apakah orang sepertimu memiliki musuh? Hingga pada akhirnya mereka mencoba mencelakaimu?
***
Alam bawah sadar Ranum
Pov Ranum
Hamparan padang hijau yang dipenuhi oleh ribuan bunga-bunga bermekaran tersaji di depan mataku dan seakan menghipnotisku dengan segala keindahan yang ada. Membuatku semakin larut akan pesona yang disajikan oleh tempat ini. Kulihat kupu-kupu berterbangan sesekali hinggap di satu kelopak bunga kemudian berpindah ke kelopak yang lain seperti tidak pernah puas menyesap sari-sari yang tersimpan di dalam kelopak bunga itu.
Udara di tempat ini juga terasa sejuk. Belaian hembusan napas sang bayu yang membisikkan nada-nada rindu di antara ranting dan dedaunan, semakin membuat semerbak aroma surga yang melintas di indera penciuman. Tidak ada hiruk pikuk suasana kota yang aku rasakan. Hanya ada rasa tenang dan juga damai yang membalut raga.
Tak jauh dari tempatku terduduk. Ada sebuah sungai kecil dengan aliran airnya yang begitu bening. Layaknya sebuah cermin yang dapat memantulkan bayang wajah. Alirannya tidak terlalu deras, namun suara gemericik alirannya seakan menambah rasa tenang di sekitar tempat ini.
"Hei, kamu jangan berlari-lari! Nanti bisa jatuh ke sungai!"
Aku setengah berteriak tatkala kedua netraku menangkap sesosok anak perempuan kecil dengan rambut sedikit ikal berwarna cokelat dengan dress warna putih berlarian mendekat ke arah sungai.
Aku mencoba untuk mengejar dua anak perempuan itu. Namun...
"Aaaaaahhhh....." Aku memekik dibarengi dengan tubuhku yang tiba-tiba terkulai lemah di atas hamparan padang hijau ini.
Aku mengedarkan pandangan ke arah kakiku seraya sesekali menepuknya. "Ada apa dengan kakiku? K-knapa aku tidak dapat berdiri? Ada apa ini?!"
Aku meracau dengan bulir bening dari pelupuk mataku yang sudah mulai berjatuhan satu persatu. Aku berusaha menggerakkan kakiku, namun aku sama sekali tidak merasakan apapun.
"Bunda...."
Aku mendongakkan wajah. Kulihat anak perempuan kecil yang berlari ke arah sungai tiba-tiba mendekatiku. Dan dia memanggilku Bunda?
"Kamu siapa? Mengapa kamu memanggilku Bunda?"
Anak perempuan itu semakin mendekat ke arahku dan ia memelukku dengan erat.
"Bunda jangan bersedih. Aku akan menunggu Bunda di depan pintu surga."
"Kamu siapa? Dan mengapa kamu akan menungguku di depan pintu surga?"
"Aku putri Bunda."
Aku menggeleng. "Tidak, anakku masih berada di dalam sini," teriakku sambil memegang perutku.
Kulihat anak perempuan itu tersenyum manis. "Aku sudah berada di tempat yang indah, Bunda. Sekarang Bunda pulang lah. Tempat Bunda bukan di sini."
Aku terperangah. "Tempat yang indah? Tidak-tidak! Jika kamu adalah putriku mengapa kamu tidak ikut dengan Bunda?"
"Pulanglah Bunda! Suatu saat nanti kita pasti akan kembali dikumpulkan."
Kurasakan anak kecil ini mencium pipiku. Setelahnya aku melihat dia kembali berlarian ke arah sungai kecil itu. Dan tak lama, bayang-bayang tubuhnya sudah tidak nampak lagi di depan mataku.
Angin kembali bertiup kencang. Seiring dengan menghilangnya raga anak kecil itu dari penglihatanku. Kepalaku mendongak. Kulihat ada pantulan lembut sinar matahari di hadapanku. Aku beranjak dari posisku untuk menuju pancaran sinar kehidupan itu.
.
.