Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Rasa yang Tak Terbendung
Langkah mantap Hiro menapaki satu per satu anak tangga. Dalam genggamannya ada tas kertas berisi oleh-oleh untuk Gendis. Sebuah senyuman tipis kini terukir di bibir lelaki tersebut.
Mata Hiro menangkap pintu kamar yang tak tertutup dengan baik. Langkahnya pelan ketika mendekati kamar Gendis serta Reina. Perlahan Hiro menarik tuas pintu dan membuka benda tersebut.
Gendis tengah duduk di kursi goyang sambil memangku Reina. Dari gestur tubuhnya, Gendis seperti sedang menyusui Reina. Hiro memutuskan untuk duduk di sofa dan memilih menunggu perempuan itu selesai dengan kegiatannya.
"Reina sudah tidur?" tanya Hiro memecah keheningan.
Gendis sempat tersentak. Dia buru-buru melepaskan dada dari bibir mungil Reina, lalu segera menautkan lagi kancing bajunya. Gendis menoleh sedikit hingga bisa melihat Hiro yang menatapnya dari sofa.
"I-iya baru saja." Gendis perlahan bangkit dari kursi.
Perempuan tersebut melangkah pelan mendekati boks bayi. Bibirnya sesekali bersenandung seakan ingin mengantar tidur Reina menjadi lebih lelap. Setelah berhasil menidurkan Reina, Gendis menepuk lembut bokong bayi tersebut hingga gerakan kecil bayi itu berhenti menjadi lebih tenang.
"Anak pintar," bisik Gendis sebelum akhirnya mendaratkan kecupan pada puncak kepala Reina.
Gendis masih belum beranjak dari sana. Dia mengusap lembut pipi bulat Reina sambil menatapnya sendu. Gendis menoleh ke arah Hiro ketika lelaki tersebut menepuk sofa di sampingnya.
"Duduklah di sini sebentar." Hiro tersenyum lembut.
Melihat lelaki berkacamata itu menarik kedua ujung bibirnya ke atas, membuat Gendis menelan ludah. Meski ragu, Gendis berusaha menuruti keinginan Hiro. Dia melangkah mendekati lelaki tersebut.
Ketika sampai di hadapan Hiro, Gendis melirik sofa yang masih hampa itu. Hiro kembali menepuk bagian itu sehingga membuat Gendis mengalihkan tatapan kepadanya. Akhirnya Gendis pun duduk di samping Hiro.
"Makanlah, kamu butuh bahagia meski hanya dengan sesuap makanan yabg kamu sukai." Hiro menyodorkan tas kertas yang tadi dia bawa kepada Gendis.
Akan tetapi, Gendis tidak langsung menyambutnya. Dia menatap tas itu dan Hiro secara bergantian. Barulah ketika Hiro menaikkan sebelah alis dengan kepala dimiringkan, Gendis mengambil tas tersebut.
Gendis membukanya, sehingga terlihat dua kotak kardus. Gendis langsung kembali menatap Hiro dengan mata sebak. Ya, di dalam sana terdapat satu kotak kue lapis Surabaya dan sekotak kue lumpur Lapindo.
"Hei, kenapa menangis? Ayo makanlah! Aku sudah memastikan kalau keduanya tidak mengandung laktosa. Sebenarnya aku memesan kepada toko untuk membuatkan tanpa memakai bahan itu." Hiro tersenyum lembut sambil menunduk dan menggaruk bagian belakang kepalanya.
Dada Gendis terasa seperti disiram dengan air es. Ada rasa lega dan nyaman yang kini bersarang di hatinya. Dia tak menyangka Hiro begitu perhatian.
"Aku ... makan, ya?" tanya Gendis dengan suara bergetar.
Setiap gigitan yang masuk ke mulutnya seakan membawa Gendis ke masa lalu. Masa-masa indah di Surabaya ketika dia masih menyandang status putri dari konglomerat ternama. Ya, kue itu sedikit bisa mengobati rasa rindu kepada tempat dulu dia lahir dan dibesarkan.
Rasa manis yang Gendis cecap seakan bisa mengobati kepahitan hidup yang terus menghantamnya akhir-akhir ini. Tanpa sadar, perempuan itu meneteskan air mata. Bibirnya terus mengunyah, meski sesekali dia terisak.
"Hei, makanlah dengan tenang. Aku membawakan makanan kesukaanmu ini agar kamu bahagia bukan malah menangis." Hiro menautkan kedua alis ketika menatap Gendis.
"Maaf, Hiro. Aku menangis bukan karena sedih. Aku terharu dan merasa kembali terlempar ke masa lalu. Aku ...." Gendis menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali bicara.
"Terima kasih, karena sudah sangat baik dan memperhatikanku, Hiro. Terima kasih," ucap Gendis dalam kondisi mulut yang masih penuh dengan kue lapis.
"Tetaplah bahagia, Ndis. Aku akan mengusahakan setiap senyum terukir di wajahmu. Jangan lagi khawatirkan soal Reina. Fokuslah dengan apa yang harus dijalani sekarang. Aku yakin Tuhan mengambil sesuatu darimu karena akan menggantinya dengan banyak hal yang lebih baik." Hiro tersenyum lembut.
Gendis melanjutkan makan. Setengah bagian kardus berisi kue lapis sudah kosong. Gendis mulai kesulitan menelan.
Hiro beranjak dari kursi kemudian berjalan menuju lemari pendingin makanan yang ada di sudut kamar. Dia membukanya, lantas mengambil sebotol air mineral. Hiro membuka tutupnya yang masih tersegel, kemudian berjalan ke arah Gendis.
"Minumlah, makannya pelan-pelan. Habiskan sendiri, aku nggak akan memintanya darimu." Hiro terkekeh ketika melihat wajah Gendis berubah merah padam.
Gendis langsung menyambar botol itu, lalu meneguk air perlahan. Akan tetapi, di waktu yang kurang tepat itu dia tersedak. Hiro yang panik langsung mengambil alih air minumnya.
Lelaki tersebut menepuk punggung Gendis perlahan hingga batuknya reda. Setelah berhenti, Hiro kembali tersenyum lembut. Dia menatap Gendis yang kini kembali meneguk air minum.
"Lain kali pelan-pelan saja. Nggak usah buru-buru, ya?"
Gendis mengangguk kemudian meletakkan botol ke atas meja. Hiro terus menatap Gendis seakan tak bisa menatapnya lagi besok. Jemarinya mulai melayang ke udara.
"Diam dulu, ada sedikit remahan di sudut bibirmu." Hiro mulai menyapu remahan kue lapis yang tertinggal di susut bibir Gendis.
Hiro menatap wajah Gendis yang kini hanya sejengkal darinya. Jemarinya masih menempel di pipi halus itu, membuat Gendis menahan napas.
“Hiro … remah kuenya sudah hilang, kan?” Suara Gendis pelan, mencoba mengalihkan.
Hiro tersenyum samar. “Iya, tapi ada yang lain yang bikin aku nggak bisa diam.”
“Apa?” bisik Gendis gugup.
Hiro tak langsung menjawab. Dia menunduk, dan sebelum sempat Gendis mundur, bibirnya sudah menyapu lembut bibir perempuan itu.
“H-Hiro .…” Gendis tersentak, tetapi suaranya tenggelam di antara ciuman yang semakin dalam.
Alih-alih menolak, tubuh Gendis justru melemah. Matanya terpejam, membiarkan Hiro memeluknya erat. Ciuman itu berlanjut, hangat dan menuntut, hingga tubuh Gendis terbaring di atas sofa, sementara Hiro menahan dirinya agar tidak menindih sepenuhnya.
“Kenapa aku nggak bisa berhenti?” desah Hiro di sela napas.
Gendis menggigit bibir bawahnya, wajahnya memerah. “Jangan tanya aku … aku pun nggak tahu.”
Hiro mengusap rambut Gendis, lalu turun ke lehernya, membuat Gendis bergidik. Jemarinya meremas kerah kemeja Hiro, menariknya lebih dekat. Suara helaan napas dan desahan halus terdengar, memenuhi ruang yang seharusnya tenang itu.
“Hiro .…” Suara Gendis lirih, nyaris seperti rintihan.
“Aku di sini,” balas Hiro dengan suara serak. “Aku nggak akan pergi.”
Bibir mereka kembali menyatu, lebih dalam, lebih berani. Gendis sempat terhanyut, membiarkan dirinya tenggelam di dalam pelukan itu. Namun, tepat ketika Hiro mulai kehilangan kendali, suara kecil tiba-tiba terdengar suara lain dalam kamar tersebut.
Keduanya terhenti seketika. Hiro masih di atas Gendis, napas memburu, kening hampir menyentuh kening perempuan itu.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki