NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:474
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cemooh dari Negeri Tetangga

Matahari pagi yang cerah menerpa istana Nurendah, seakan mengejek kegelapan yang baru saja dialami Al Fariz di pengadilan. Namun, sinar hangat itu tidak mampu menembus dinginnya balairung utama istana, di mana sebuah pertemuan kenegaraan sedang berlangsung. Ruangan yang sama di mana Al Fariz dihina oleh para menterinya sendiri, kini menjadi tempat ia harus berhadapan dengan ancaman dari luar.

Udara di dalam balairung terasa berat, dipenuhi aroma minyak wangi mahal dan aroma logam dari hiasan emas serta perak yang berkilauan. Para bangsawan Nurendah berdiri dalam formasi semi lingkaran, mengenakan pakaian terbaik mereka. Namun, di balik kemewahan itu, tersembunyi kegelisahan. Mereka semua tahu, utusan dari Kerajaan Sandhara yang datang hari ini bukanlah teman, melainkan elang yang mengintai mangsa.

Al Fariz duduk di singgasananya. Kali ini, ia masih mengenakan pakaian sederhana, tapi dengan jubah hijau tua bersulam benang emas samar—sebuah hadiah dari pengemis tua yang ia terima pagi tadi. Jubah itu terlihat biasa, tapi memberinya kesan wibawa yang berbeda. Wajahnya tenang, tapi matanya mengamati setiap gerak-gerik di ruangan itu.

Kedatangan Utusan Sandhara, Lord Valerius, diumumkan dengan tiupan nafiri. Pintu besar terbuka, dan masuklah rombongan dengan pakaian yang begitu mewah hingga membuat beberapa bangsawan Nurendah terkesima. Lord Valerius, pria tinggi berambut perak dengan mata biru tajam, berjalan dengan langkah percaya diri. Ia mengenakan jubah putih bersulam kristal yang memantulkan cahaya, seakan sengaja menunjukkan kekayaan negerinya.

"Yang Mulia Sultan Al Fariz," ucap Valerius dengan suara bariton yang dalam, memberinya penghormatan cepat yang hampir terasa menghina. "Kerajaan Sandhara menyampaikan salam persahabatan."

"Kami menyambut Lord Valerius di Nurendah," balas Al Fariz dengan suara tenang. "Semoga kunjungan ini mempererat hubungan kedua kerajaan."

Valerius tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Tentu, Yang Mulia. Namun, izinkan saya bersikap langsung. Kabar yang sampai ke Sandhara tentang... kondisi Nurendah, membuat Raja kami cukup prihatin."

Seketika ruangan menjadi sunyi. Semua orang menahan napas.

"Kondisi?" tanya Al Fariz, tetap tenang.

Valerius berjalan mendekat, matanya menyapu Al Fariz dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Konon, Nurendah dipimpin oleh seorang Sultan yang... bagaimana ya... lebih sering terlihat di pasar daripada di istana. Bahkan, terdengar cerita bahwa Yang Mulia tidak mampu membela diri sendiri dari preman jalanan."

Desis bernada kaget terdengar dari beberapa bangsawan. Menteri Rustam, yang berdiri di dekat singgasana, justru tersenyum tipis.

"Inikah pemimpin yang diagungkan Nurendah?" Valerius melanjutkan, suaranya kini lebih keras, terdengar oleh semua orang. "Jubahnya lebih miskin dari pelayan istana Sandhara. Apakah ini simbol dari kemunduran Nurendah?"

Beberapa bangsawan muda Nurendah tertawa terkekek, berusaha menutupinya dengan tangan, tapi jelas terdengar. Yang lain menunduk, malu.

Al Fariz mengepalkan tangannya. Darahnya mendidih. Tapi ia ingat sumpahnya. Ia menarik napas dalam, merasakan retakan kecil di segelnya bergetar halus.

"Kekuatan seorang pemimpin," ujar Al Fariz perlahan, "tidak diukur dari kemewahan jubahnya, Lord Valerius."

"Oh?" Valerius mengangkat alis. "Lalu dari apa? Dari kemampuan menahan pukulan?"

Tawa terbahak-bahak kini pecah dari beberapa bangsawan Nurendah. Bahkan Menteri Rustam tidak bisa menyembunyikan senyum kepuasannya.

Valerius melanjutkan, kini dengan nada lebih merendahkan. "Yang Mulia, Sandhara adalah kerajaan kuat. Kami menghormati kekuatan. Tapi yang kami lihat di Nurendah adalah... kelemahan. Seorang Sultan yang tidak dihormati rakyatnya sendiri, yang dihina di negerinya sendiri. Bagaimana kami bisa mempercayai perjanjian dengan pemimpin seperti ini?"

Al Fariz bangkit dari singgasananya. Tubuhnya tidak setinggi Valerius, tapi ada wibawa yang tiba-tiba memancar darinya, membuat ruangan sedikit lebih hening.

"Kehormatan," ujarnya, suaranya jernih dan teguh, "bukan tentang seberapa banyak orang takut padamu, tapi tentang seberapa banyak kamu melindungi mereka yang mempercayaimu. Aku mungkin terlihat lemah di matamu, Tuan Utusan, tapi kekuatanku bukan untuk pamer di istana, melainkan untuk rakyat Nurendah."

Valerius mendekat lagi, sampai hanya berjarak beberapa langkah. Matanya yang biru menatap tajam.

"Kata-kata indah, Yang Mulia. Tapi di dunia nyata, kekuatan ditunjukkan dengan tindakan. Sandhara punya pasukan terlatih, kapal perang terbesar, dan pemimpin yang ditakuti. Sedangkan Nurendah..." Ia menghela napas dramatis. "Nurendah punya Sultan yang dipukuli preman dan tidak membalas."

"Kau berani!" teriak salah satu pengawal Al Fariz, mengeluarkan pedangnya sebagian.

Tapi Al Fariz mengangkat tangan, menghentikannya. "Tidak perlu."

Valerius tersenyum puas. "Lihat? Bahkan pengawalmu lebih berani daripadamu."

Ruangan kembali riuh dengan bisan-bisik. Beberapa bangsawan mulai merasa geram dengan penghinaan ini, tapi tidak ada yang berani membela Sultan mereka secara terbuka.

"Lord Valerius," kata Al Fariz, suaranya tiba-tiba berubah, lebih dalam, seakan ada gema yang menyertainya. "Ada sebuah pepatah kuno di Nurendah: 'Elang tidak membuang waktunya untuk membalas cicitan burung pipit'."

Wajah Valerius berubah. Ia tidak menyangka jawaban itu.

"Kau menyamakan Sandhara dengan burung pipit?" tanyanya dengan nada berbahaya.

"Tidak," balas Al Fariz. "Aku menyamakan dirimu dengan burung pipit yang berani mencicit pada elang karena tidak tahu bahaya yang mengintai."

Retakan di segelnya semakin terasa sekarang. Energi hangat mengalir pelan di pembuluh darahnya. Ia bisa merasakannya.

Valerius, untuk pertama kalinya, kehilangan kata-kata. Ia memandang Al Fariz, dan untuk sesaat, ia melihat sesuatu di mata Sultan itu—cahaya kekuatan tua yang seharusnya sudah padam.

"Kunjunganmu sudah cukup, Lord Valerius," ujar Al Fariz, kini dengan wibawa penuh. "Sampaikan pada Rajamu bahwa Nurendah tetap berdiri tegak. Dan pemimpinnya, terlepas dari bagaimana penampilannya, masih memiliki taring dan cakar."

Valerius membungkuk cepat, kali ini dengan sedikit getaran di tangannya. "Baik, Yang Mulia. Pesanmu akan sampai."

Saat utusan Sandhara itu berbalik dan pergi dengan langkah tergesa, ruangan menjadi sunyi sepenuhnya. Semua mata tertuju pada Al Fariz, yang masih berdiri tegak, wajahnya tenang tapi matanya berapi-api.

Bangsawan-bangsawan yang tadi mengejek, kini melihatnya dengan ekspresi berbeda. Ada yang takut, ada yang bingung, dan beberapa—sangat sedikit—mulai melihat kembali pada pemimpin mereka dengan harapan baru.

Al Fariz tidak peduli pada mereka. Ia berjalan turun dari singgasana, melewati lautan bangsawan yang membuka jalan untuknya. Di dalam hatinya, sebuah sumpah baru terukir.

Suatu hari, utusan itu akan berlutut. Dan Sandhara akan tahu, Nurendah bukanlah bangkai yang siap dibagi-bagi.

Ia berjalan keluar balairung, meninggalkan keheningan yang berbicara lebih keras dari segala penghinaan. Langkahnya mantap, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa seperti seorang Sultan sejati.

Di balik segelnya, retakan kecil itu semakin membesar, dan energi yang lama terpendam mulai berdenyut pelan, menunggu saatnya meledak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!