Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20. TIDAK DISANGKA
Aruna berdiri kaku di ambang pintu kamar gubernur. Cahaya lampu minyak menyorot wajahnya, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Di dadanya, jantung berdegup kencang, hampir melompat keluar.
Van der Capellen mengamati dengan tenang. Pria itu memiliki paras muda di balik usianya yang sudah menginjak kepala empat , tetapi sorot matanya masih penuh kuasa. Ia bukan sembarang lelaki Belanda, melainkan gubernur jenderal yang mengendalikan Batavia dan sekitarnya.
"Duduklah, Aruna," ujarnya sambil menunjuk kursi di depannya.
Aruna menelan ludah. Ia melangkah pelan, mengatur napas, lalu duduk di kursi itu. Tangannya meremas rok gaunnya, tubuhnya terasa kaku. Bayangan cerita-cerita tentang para Nyai yang dipanggil ke kamar tuannya terus menghantui benaknya.
Namun yang terjadi berbeda dengan yang ia bayangkan.
Van der Capellen tidak langsung mendekat, tidak memaksa. Ia justru menatap Aruna seolah sedang menilai sebuah buku yang belum ia baca isinya.
"Aruna, tidak perlu takut. Aku tidak melakukan apa pun yang tidak kau inginkan. Kemari, duduklah bersamaku," kata Van der Capellen, mengarahkan Aruna ke kursi yang berseberangan dengan tempat ia duduk sebelumnya.
Aruna mengikuti keinginan pria di depannya ini, merasa sedikit lega karena hal yang ia takutkan tidak terjadi. Atau belum.
"Aku mendengar banyak tentangmu. Tentang bagaimana kau mampu mengubah Desa Waringin dari tempat yang kumuh menjadi desa yang makmur. Tentang caramu menolong rakyat kecil. Kau berbeda dari kebanyakan perempuan pribumi yang pernah aku jumpai. Aku begitu ingin mendengar ceritamu," kata Van der Capellen dengan rekahan senyum yang lembut.
Aruna mengangkat wajahnya perlahan, terkejut dengan arah pembicaraan itu. Ia sempat tak percaya bahwa gubernur yang memanggilnya malam ini justru membicarakan perihal desa, bukan dirinya sebagai perempuan yang memberikan kepuasan di ranjang.
"Tuanku terlalu berlebihan," jawab Aruna lirih, berusaha menjaga nada suaranya tetap hormat.
"Tidak," Van der Capellen menggeleng pelan. "Aku sudah melihat laporan-laporan dari para residen dan pejabatku. Kau benar-benar membawa perubahan. Itu sebabnya aku membawamu kemari. Bukan hanya karena parasmu, meski tak bisa kupungkiri kau begitu memesona, tetapi karena aku ingin tahu apa rahasia yang kau miliki. Aku sudah berusaha membuat kemajuan di negeri ini, tapi belum dapat menghasilkan apa pun."
Aruna terdiam. Hatinya yang semula diliputi rasa takut kini berganti bingung. Ia mencoba menimbang kata-kata gubernur itu, apakah ini sekadar rayuan halus, atau sungguh ada maksud lain?
"Rahasiaku sederhana, Tuan," ucap Aruna akhirnya. "Aku hanya menaruh hati pada orang-orang kecil. Aku melihat mereka lapar, maka aku mencari cara agar mereka bisa makan. Aku melihat anak-anak kurus dan sakit, maka aku mencari jalan agar mereka bisa sehat. Tidak ada ilmu tinggi, hanya hati yang peduli."
Ucapan itu meluncur tulus, dan sejenak sunyi menyelimuti ruangan. Van der Capellen menatapnya lama, seolah berusaha memahami kedalaman jiwa perempuan di hadapannya.
"Aku mengerti," katanya kemudian. "Dan justru itulah yang jarang dimiliki para pejabat di negeriku maupun di sini. Mereka pandai berhitung, pandai memerintah, tetapi lupa menaruh hati pada manusia. Bahkan justru jijik ketika melihat mereka yang kelaparan tanpa ada niat mau membantu."
Aruna menunduk, dadanya sedikit lega. Namun ia masih waspada. Setiap saat, situasi bisa berubah.
"Aruna," suara Van der Capellen terdengar lagi, kali ini lebih lembut, "kau tentu tahu apa arti panggilan 'Nyai'. Di rumah ini, kau akan disebut begitu. Aku tahu bagi sebagian orang itu adalah aib, tetapi di Batavia, seorang Nyai memegang kuasa besar. Kau bisa mengatur rumah, para babu akan tunduk padamu. Bahkan tak jarang, keputusan-keputusan kecil di rumah tangga gubernur berawal dari mulut seorang Nyai."
Aruna merasakan dadanya kembali bergetar. Ia tidak buta terhadap kenyataan itu. Ia tahu banyak perempuan pribumi yang menjadi Nyai pejabat Belanda, ada yang hidup berkecukupan, dihormati, bahkan memegang kendali; namun ada pula yang berakhir tragis, dibuang setelah dianggap tak lagi berguna.
"Apakah aku punya pilihan lain, Tuan?" tanya Aruna, suaranya bergetar, namun ia memberanikan diri.
Van der Capellen menghela napas. "Dalam hidup, pilihan kita selalu ada, meski sering terbatas. Aku tidak akan memaksa. Namun aku ingin kau berada di sisiku, bukan semata sebagai Nyai atau pemuas ranjang, melainkan sebagai seseorang yang dapat kuberi kepercayaan. Tempatku bercerita dan meminta saran atas apa yang aku lakukan sebagai Gurbernur."
Ucapan itu membuat Aruna makin bingung. Ia datang dengan bayangan kelam, dengan rasa takut dipaksa menyerahkan kehormatan. Kini, ia justru mendengar penawaran yang lebih samar, yang mungkin menyimpan maksud lebih dalam.
Waktu terus berjalan. Aruna masih duduk di kursi, sementara Van der Capellen menuang anggur ke dalam gelas kristal. Ia menawari Aruna, tetapi gadis itu menggeleng halus. Ia tak terbiasa minuman keras, ia memilih tetap menjaga kesadaran penuh.
"Kau tidak perlu takut padaku, Aruna. Aku tidak akan menyentuhmu jika kau tidak menghendaki. Aku hanya ingin berbicara, mengenalmu lebih dekat. Percayalah, Aruna, aku bukan lelaki yang gemar memaksa. Aku juga bukan melihat perempuan hanya sebagai pemanas ranjang. Aku mengangkatmu menjadi wanitaku karena aku tidak ingin perempuan secerdas dan sehebat dirimu jatuh di tangan pejabat-pejabat serakah itu," ucap Van der Capellen yang seolah tahu apa gang perempuan di hadapannya ini rasa dan pikirkan.
Mata Aruna membesar, rasa lega bercampur ragu. Kata-kata itu menenangkan, tetapi ia tahu dunia pejabat Belanda penuh intrik. Apakah benar pria ini bisa mempercayai ucapannya?
Namun untuk malam itu, Aruna memilih berdiam, mendengarkan.
Mereka berbincang cukup lama. Van der Capellen bertanya tentang kehidupan di desa, tentang cara Aruna meyakinkan penduduk agar mau bekerja sama, tentang sistem pengairan yang ia buat, tentang kebiasaan masyarakat. Aruna menjawab dengan hati-hati, tetapi jujur. Ia menceritakan bagaimana ia menanamkan kepercayaan diri pada warga, bagaimana ia mengajari anak-anak membaca huruf, bagaimana ia mengajak kaum lelaki dan perempuan bekerja bersama.
Gubernur itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk. Seolah ia benar-benar menemukan sesuatu yang baru dari seorang perempuan pribumi. Ada kekaguman, penasaran, dan juga kelembutan ketika pria itu menatap Aruna.
Akhirnya, menjelang tengah malam, Van der Capellen berdiri. "Aruna, kau boleh kembali ke kamar. Istirahatlah. Besok, kita akan berbicara lebih jauh. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu."
Aruna menatapnya dengan campuran lega dan bingung. Ia bangkit, membungkuk sedikit, lalu melangkah keluar. Baru ketika pintu kamar tertutup di belakangnya, ia bisa menghela napas panjang, seolah melepaskan beban besar dari dadanya.
Untuk malam ini, aku selamat, batin Aruna. Namun ia tahu, hari-hari berikutnya masih penuh tanda tanya.
Keesokan harinya, kabar cepat menyebar di antara para babu di rumah itu. Mereka membicarakan betapa Tuan Gubernur memerlakukan Nyai Aruna dengan berbeda. Tidak ada teriakan, tidak ada paksaan. Hanya percakapan panjang di malam pertama.
"Nyai itu lain," bisik seorang babu perempuan muda pada kawannya. "Wajahnya ayu, tapi bukan itu yang membuat Tuan Gubernur senang. Katanya, Nyai pintar bicara, pandai mengatur orang."
"Entah apa nasibnya nanti," sahut yang lain, "tapi sepertinya dia bukan Nyai biasa. Karena Tuan Gubernur begitu lembut padanya."
Aruna mendengar bisik-bisik itu dari kejauhan. Hatinya semakin galau. Ia tidak pernah bercita-cita menjadi Nyai. Namun kenyataan telah menempatkannya di sini. Dan mungkin, dari tempat inilah ia harus mencari cara untuk bertahan atau bahkan memberi makna baru pada perannya.
Hari-hari berikutnya akan menjadi ujian bagi Aruna. Ia kini tinggal di rumah megah gubernur, dengan pakaian Eropa yang membungkus tubuhnya, dengan panggilan Nyai yang melekat pada namanya. Malam pertamanya tidak berakhir dengan kehinaan, melainkan dengan percakapan yang membuka pintu baru.
Namun, setiap langkahnya tetap penuh tanda tanya. Apakah Van der Capellen benar-benar melihatnya sebagai mitra yang bisa dipercaya, ataukah sekadar permainan halus seorang penguasa?
Dan Aruna, dengan hati yang kuat sekaligus gentar, tahu bahwa ia harus berhati-hati. Karena di balik pintu-pintu besar rumah gubernur itu, setiap senyum bisa menyimpan jebakan, dan setiap kata bisa mengubah nasib.