Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jagoan Andalan Pakuwon Berbek ( bagian 1 )
"Sudah cukup, jangan aniaya dia lagi.. "
Ucapan Mahesa Sura sontak menghentikan aksi ketiga perempuan cantik itu. Mereka segera menjauh dari Tunggak yang sudah babak belur di pukuli.
"Apa yang mau kau laporkan Nggak? ", tanya Mahesa Sura segera.
Sembari meringis menahan rasa sakit, Tunggak berdiri. Mata kiri nya lebam sementara pipi kanan dan pelipis kiri nya bengkak.
" Jay.. uhhh Jayeng sudah pulang dari Sekar Pudak dan Berbek, membawa jawaban dari Akuwu Kebo Landoh dan Rakryan Jayapangus. D-dia menunggu di Pendopo Pakuwon.. ", lapor Tunggak sambil memegangi pipi nya yang bengkak.
Hemmmmmmmmm...
" Baiklah, itu adalah kabar yang aku tunggu. Kalian bertiga ikut aku ke Pendopo Pakuwon. Kau juga Nggak.. "
Setelah bicara demikian, Mahesa Sura bergegas menuju ke arah Pendopo Pakuwon Wilangan diikuti oleh Cempakawangi, Dewi Jinggawati dan Rara Larasati alias Perawan Lembah Wilis. Tunggak mengekor di belakang mereka.
Jayeng dan Mandhasiya duduk bersila di lantai Pendopo Pakuwon Wilangan. Tak Jauh dari nya ada Rakai Pamutuh dan Resi Agastya. Mereka berempat segera menghormat begitu Mahesa Sura memasuki pendopo itu.
"Sembah bakti kami, Raden... ", ucap mereka bersamaan.
" Sudah jangan banyak adat. Duduklah dengan baik", balas Mahesa Sura sambil mengangkat tangan kanannya. Mereka berempat pun kembali duduk di tempatnya masing-masing begitu Mahesa Sura duduk di singgasana Pakuwon Wilangan. Dewi Jinggawati duduk di kursi yang ada di sebelah kanan singgasana, Rara Larasati duduk di kursi sebelah kiri dan Cempakawangi duduk di kaki kanan singgasana Pakuwon Wilangan.
Tunggak dengan muka bonyok nya duduk di tempat yang berseberangan dengan Rakai Pamutuh dan Resi Agastya.
"Gusti Danurwenda, dia ini.. ", tanya Rakai Pamutuh melihat Rara Larasati duduk di kursi sebelah kiri Mahesa Sura.
" Oh iya, perkenalkan ia ini putri Bhre Lodaya Dyah Singhawardhana. Namanya Rara Larasati. Kedepannya ia akan menjadi permaisuri kedua ku", jawab Mahesa Sura yang membuat Rakai Pamutuh, Resi Agastya, Jayeng dan Mandhasiya saling pandang.
'Dua putri raja akan menjadi permaisuri Raden Danurwenda? Bukankah itu berarti kedua raja itu akan mendukung beliau kedepannya? Benar- benar langkah politik yang cerdik', batin Rakai Pamutuh.
"Kalau begitu hamba ucapkan selamat datang di Pakuwon Wilangan, Gusti Putri..
Hamba Rakai Pamutuh, abdi dalem Gusti Dyah Mahisa Danurwenda. Ini Resi Agastya, penasehat pribadi Gusti Danurwenda. Yang ada disana adalah Jayeng dan Mandhasiya. Mohon Gusti Putri terima hormat kami", yang disebutkan namanya langsung menghormat pada Rara Larasati.
"Terimakasih atas sambutan hangat dari kalian semua. Aku sudah mengirimkan pesan ke ayahanda Bhre Lodaya dan bisa dipastikan bahwa sepekan lagi bantuan prajurit dan bahan pangan dari Lodaya akan sampai disini", ucap Rara Larasati yang disambut senyuman manis oleh semua orang yang ada di Pendopo Pakuwon Wilangan ini, kecuali Tunggak yang bonyok wajahnya.
"Perkenalan nya cukup dulu..
Jayeng, Mandhasiya..! Bagaimana dengan tugas yang aku berikan pada kalian? ", giliran Mahesa Sura yang bersuara.
Mandhasiya segera menghaturkan sebuah kantong kain berwarna biru dengan dua tangannya. Cempakawangi segera bangkit dan mengambil nya lalu memberikannya pada Mahesa Sura. Segera Mahesa Sura membuka kantong kain itu dan mengeluarkan seikat lembaran daun lontar. Dia pun langsung tersenyum membacanya.
"Bagus sekali. Akuwu Kebo Landoh menyatakan bersedia untuk bergabung dengan kita dan menyiapkan 1000 orang prajurit yang akan dipimpin oleh putranya yang bernama Kebo Taruna. Kita akhirnya mendapat dukungan dari pakuwon sekitar Wilangan.
Lalu bagaimana dengan Berbek? Apa mereka juga memberikan jawaban? ", Mahesa Sura kembali menatap ke arah Jayeng dan Mandhasiya.
" Itu.... ", Jayeng tak jadi meneruskan omongan nya seperti ragu-ragu untuk melanjutkannya.
" Katakan saja terus terang, mereka menolak atau bersedia untuk bergabung dengan kita? ", tanya Mahesa Sura segera.
" Mereka tidak mengiyakan juga tidak menolak tawaran dari Gusti Danurwenda tetapi Akuwu Rakryan Jayapangus hanya berkata jika Gusti Raden Danurwenda ingin dukungan Pakuwon Berbek, Gusti harus bisa mengalahkan putra nya yang bernama Rakryan Jayadharma yang konon sakti mandraguna ", lanjut Jayeng sembari menghormat.
" Kurang ajar uhhh!!!
Berani-beraninya mereka bicara lancang begitu pada kita. Aku sendiri yang akan menghajar orang yang bernama Jayadharma itu.. ", kali ini Tunggak ikut berbicara.
" Tenang dulu, Saudara Tunggak..
Ini bukan soal lancang atau tidak tetapi menurut ku mereka tidak mau mengikuti pemimpin yang lemah. Jika Gusti Danurwenda yang turun tangan sendiri dan mengalahkan orang yang bernama Jayadharma itu, aku yakin mereka pasti akan bersedia untuk mendukung perjuangan kita ", sahut Resi Agastya sembari membungkukkan badan pada Mahesa Sura.
" Pendapat Resi Agastya ada benarnya Kangmas. Mereka menyombongkan diri hanya untuk menjajaki sejauh mana kekuatan Kangmas Danurwenda. Jika Kangmas bisa menundukkan Jayadharma, mereka pasti akan senang hati mengikuti perintah mu. Karena pada dasarnya, orang-orang Pakuwon Berbek hanya tunduk pada kekuatan saja ", sambung Rara Larasati yang pernah berurusan dengan beberapa pendekar dari Berbek.
" Kalau begitu biarkan aku yang datang kesana sendiri...
Kalian semua tunggu saja disini, aku akan segera kembali ", ucap Mahesa Sura sambil berdiri dari tempat duduknya.
" Tapi Kangmas... "
Belum sempat selesai Dewi Jinggawati menyelesaikan omongan nya, Mahesa Sura sudah melesat cepat meninggalkan tempat itu.
"Aku mau ikut... ", lanjut Dewi Jinggawati dengan suara lemah.
" Kau tenang saja Jinggawati, Kakang Mahesa Sura akan baik-baik saja. Kita tunggu saja dia pasti akan segera kembali.. ", ucap Cempakawangi menenangkan hati Dewi Jinggawati. Putri Bhre Pandanalas itu mengangguk paham.
Tubuh Mahesa Sura melayang dengan kecepatan tinggi bergerak ke arah selatan. Kotang Antakusuma pemberian Nini Rengganis membuatnya bisa terbang secepat angin.
Tak butuh waktu lama, ia sudah berada di atas Istana Pakuwon Berbek. Tubuhnya melayang turun ke atas atap Pendopo Pakuwon Berbek, memperhatikan keadaan sekitar tempat yang ada di bawahnya.
Namun tiba-tiba...
Shhhuuuuuttttt...!!!
Sebuah anak panah melesat cepat ke arah Mahesa Sura. Suara anak panah membelah udara terdengar jelas di telinga Si Iblis Wulung. Dia hanya sedikit menggeser posisi tubuhnya dan dengan cepat menangkap anak panah itu sambil menoleh ke arah asal senjata ini.
"Hei turun kau!! Cepat turun kesini..!! "
Seorang pemuda seumuran Mahesa Sura menenteng busur panah, berkacak pinggang dan mendelik kereng pada Mahesa Sura. Dari lesatan anak panah tadi, Mahesa Sura tahu bahwa pemuda berkumis tipis ini memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Melihat itu, Mahesa Sura segera meluncur turun ke depan pemuda berpakaian selayaknya seorang bangsawan ini. Begitu ia mendarat dengan santainya, seratus orang prajurit bersenjata lengkap langsung mengepung nya.
"Siapa kau? Berani sekali menginjak atap istana ini. Sudah bosan hidup ya?!!", hardik si pemuda berkumis tipis itu keras.
" Aku mencari Jayapangus, Akuwu Berbek. Suruh dia keluar sekarang.. ", balas Mahesa Sura dengan tenang.
" Kurang ajar!!! Benar-benar cari mati..!!! ", maki si pemuda berkumis tipis itu sembari bersiap untuk menyerang. Belum sempat ia bergerak, dari arah pintu samping terdengar suara lantang.
" Tunggu Jayadharma!!"
Suara itu membuat si pemuda berkumis tipis itu urungkan niatnya untuk menerjang ke arah Mahesa Sura. Seorang lelaki paruh baya dengan tubuh sedikit kurus karena usia berjalan mendekat ke arah mereka. Ya, dialah Akuwu Rakryan Jayapangus penguasa Pakuwon Berbek.
Si pemuda berkumis tipis itu langsung menghormat pada Rakryan Jayapangus.
"Orang ini diam-diam masuk ke Istana Pakuwon Berbek, Romo. Dia harus di hukum atas kelancangan nya", ucap si pemuda berkumis tipis yang tak lain adalah Rakryan Jayadharma, putra Rakryan Jayapangus yang juga merupakan jagoan andalan Pakuwon Berbek.
Rakryan Jayapangus menatap ke arah Mahesa Sura dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah-olah ingin menelisik siapa orang yang ada didepan nya itu.
"Kau mencari ku? "
"Ya, aku memang mencari mu Akuwu Rakryan Jayapangus. Utusan ku sudah menyampaikan apa yang kau katakan dan sekarang aku datang untuk memenuhi apa yang kau inginkan", Mahesa Sura tersenyum setelah berbicara.
" Jadi kau adalah Dyah Mahisa Danurwenda yang mengaku sebagai cucu Dari Bhre Suryawisesa itu?", tanya Rakryan Jayapangus segera.
"Ya, aku adalah Mahisa Danurwenda.. ", kata Mahesa Sura dengan jujur.
" Berani juga kau berani mendatangi Istana Berbek seorang diri, aku acungi jempol atas keberanian mu, Dyah Mahisa Danurwenda...
Tetapi keberanian saja tidak cukup untuk membuat ku mau mengikuti mu. Kau harus lebih dulu mengalahkan putra ku Jayadharma.. ", Rakryan Jayapangus menunjuk Rakryan Jayadharma dengan jempol nya.
Pemuda berkumis tipis dengan badan kekar penuh otot itu langsung melemparkan busur panah nya dan melangkah maju.
Mahesa Sura tersenyum tipis mendengar jawaban Akuwu Rakryan Jayapangus. Dia langsung memajukan tangan ke arah Rakryan Jayadharma sambil berkata,
"Boleh. Biarkan aku menjajal seberapa kuat seorang..
Jagoan andalan Pakuwon Berbek! "