Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman Pak Surya.
Mobil hitam milik Handrian akhirnya berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi yang menjulang tinggi. Pintu gerbang itu terlihat begitu kokoh dengan ukiran khas Eropa, yang diapit pilar besar dari marmer putih, dan kamera pengawas yang berputar ke segala arah.
Di baliknya, tampak samar siluet rumah mewah yang berdiri megah, lengkap dengan taman luas dan pancuran air mancur di halaman depannya.
Handrian menatap gerbang itu dengan dada yang terasa sesak. Nafasnya tiba-tiba memburu, seakan-akan udara malam tidak lagi cukup untuk mengisi paru-parunya. Jemarinya yang sejak tadi menggenggam kemudi pun terlihat bergetar.
"Inilah saatnya…" desisnya lirih, dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Ia tahu sekali, begitu ia masuk ke dalam, maka ia tidak akan bisa kembali dengan mudah. Karena rumah itu bukanlah sekedar tempat tinggal keluarga Adelina, melainkan benteng kekuasaan yang selama ini menaungi kariernya, sekaligus bisa menjadi jebakan yang akan menghancurkan seluruh hidupnya.
Seorang satpam berseragam rapi langsung menghampiri saat melihat mobil Handrian. Wajah pria itu terlihat dingin, dan penuh dengan kewaspadaan, seakan sudah terbiasa melihat siapa pun yang ingin masuk ke area rumah besar itu.
"Selamat sore, Pak Handrian," sapa satpam itu sambil menunduk hormat.
"Nona Adelina sudah menunggu kedatangan Anda. Silakan masuk." sambungnya lagi.
Kalimat yang terlontar dari mulut satpam itu, justru membuat jantung Handrian berdentum sangat keras. Ia menoleh ke arah satpam, dan ingin mengatakan sesuatu. Mungkin sekedar meminta waktu, atau menolak untuk masuk. Namun saat itu lidahnya malah terasa kelu.
Gerbang besi itu pun terbuka perlahan dengan suara yang berderit berat. Dan dari celah yang kian melebar, terpampang pemandangan halaman rumah megah yang disinari oleh lampu taman yang berwarna keemasan.
Bayangan rumah besar dengan kaca tinggi yang berkilauan terlihat begitu mencolok, seolah menyiratkan kesombongan sekaligus kekuasaan.
Mobil Handrian melaju pelan memasuki halaman, roda-rodanya seperti menggilas setiap sisa keraguan yang ada didalam dirinya.
Namun semakin mobilnya mendekat kearah rumah itu, wajah Rosalina kembali menghantam benak Handrian, dan saat itu juga suara hatinya seolah ingin berteriak.
"Apa yang sudah aku lakukan? Rosalina… kenapa aku malah membiarkan kamu sendirian di rumah sakit…"
Tangannya kini menggenggam kemudi semakin erat, sehingga buku-buku jarinya terlihat memutih.
Saat mobilnya berhenti tepat di depan pintu utama, dua orang pria berbadan kekar dengan setelan hitam segera mendekat. Mereka bukan sekadar satpam, melainkan pengawal pribadi keluarga itu.
Sikap keduanya terlihat kaku, dengan bola mata mereka yang menatap tajam, dan aura yang mereka pancarkan juga membuat udara terasa semakin menekan.
Salah satu dari mereka membuka pintu mobil, dan mempersilahkan Handrian untuk masuk kedalam rumah milik keluarga Adelina.
"Silakan masuk, Pak Handrian. Nona Adelina sudah menanti anda di ruang tamu."
Handrian pun langsung turun dengan langkah yang terasa kaku. Namun ia tetap mencoba untuk menjaga wibawanya, karena mengingat posisinya yang dihormati di perusahaan. meskipun detak jantungnya malah mengkhianati sikap tenangnya.
Di balik pintu besar yang perlahan terbuka, aroma harum bunga mawar bercampur dengan wangi kayu mahal yang langsung menyambut kedatangannya.
Lampu kristal raksasa yang bergantung dari langit-langit, ikut memantulkan cahaya yang begitu menyilaukan.
Dan di sana, di atas sofa panjang yang berlapis beludru merah, Adelina duduk dengan wajah yang terlihat pucat, namun begitu melihat Handrian, sorot matanya itu langsung terlihat berbinar. Dan ia pun segera berdiri dari tempat duduknya, sambil menatap Handrian dengan wajah yang dipenuhi oleh rasa panik, sekaligus kelegaan.
Tangannya langsung terulur, dan memegangi pergelangan tangan Handrian dengan sangat erat.
"Handrian…" ucapnya dengan suara yang terdengar lirih.
Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh lagi, suara berat dan berwibawa pun menggema dari arah tangga yang melingkar ke lantai dua.
"Jadi… ini dia pria yang telah membuat putriku sanggup mempermalukan dirinya, dan juga keluarganya sendiri?"
Mendengar suara itu, Handrian menolehkan wajahnya dengan spontan. Matanya langsung bertemu dengan sosok seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi dengan jas hitam. Sorot matanya juga terlihat tajam, dan penuh dengan amarah yang tertahan.
Dia adalah Pak Surya, ayah Adelina, sekaligus pemilik perusahaan tempat Handrian bekerja.
Langkah-langkah Pak Surya bergema di seluruh ruangan, saat ia turun perlahan dan menginjak anak tangga satu persatu.
Setiap hentakan sepatunya di anak tangga tersebut, seakan menambah tekanan didalam dada Handrian.
Sementara itu, Adelina pun merasa sangat terkejut, dan langsung memalingkan wajahnya kearah sang Ayah.
"Papa… aku... aku tidak bermaksud..."
Namun ayahnya segera mengangkat tangan, untuk menghentikan kata-kata putrinya itu. Meskipun tatapan begitu menusuk, dan sama sekali tidak pernah lepas dari Handrian.
Ia menatap tajam pria itu seakan ingin menelanjangi semua dosa-dosa, yang selama ini disembunyikan.
"Handrian…" ucap Pak Surya dengan suara yang terdengar berat.
"Kau fikir aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan di belakangku? Kau itu telah menggoda putriku, serta mempermainkan perasaannya, dan sekarang… kau bahkan berani menghamilinya?"
Suasana ruangan mendadak mencekam. Adelina langsung menutup mulutnya dengan tangan, dan tubuhnya seketika gemetar.
Sementara itu, Handrian hanya bisa berdiri kaku, dengan wajahnya yang memucat seakan seluruh darahnya telah hilang.
Ia tahu, kali ini bukan hanya sekedar tentang cinta atau masa depan. Tapi ini semua tentang hidup dan kehormatannya yang mungkin akan dipertaruhkan.
Dan dari sorot mata Pak Surya, Handrian bisa melihat, bahwa malam ini tidak akan berakhir dengan tenang.
Ruangan megah itu mendadak seperti terkurung oleh hawa panas. Lampu kristal yang berkilauan seakan tidak lagi memberi cahaya, melainkan menyorot setiap kesalahan yang pernah dilakukan oleh Handrian.
Pak Surya saat ini berhenti tepat di depan sofa, dengan wajah yang terlihat kaku, sorot matanya juga terlihat tajam dan menusuk.
"Kenapa kau diam? Jawab aku, Handrian!" bentak Pak Surya. suaranya bergema hingga ke langit-langit tengah rumahnya itu.
"Apa kau mengira aku akan diam melihat putriku dipermainkan seperti ini? Kau menjalin hubungan dengan putriku selama lebih dari satu tahun. Tapi yang kau nikahi malah perempuan lain. Perempuan yang kau janjikan tidak pernah kau cintai. Kau itu benar-benar laki-laki kurang ajar, Handrian."
Handrian berusaha mengatur nafas, namun suaranya tetap terdengar serak saat ia menjawab.
"Pak… saya… saya tidak pernah berniat mempermainkan Adelina. Semua ini… terjadi begitu saja."
"Begitu saja?" Pak Surya menekan kata-kata itu sambil menggertakkan giginya. Bahkan gigi yang beradu tersebut terdengar sampai ketelinga Handrian. Kemudian pria paruh baya itupun melanjutkan pembicaraan sambil menatap Handrian dengan wajah dingin.
"Seorang pria yang katanya terhormat, dan juga memiliki jabatan yang bagus di perusahaan, tapi tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Kau tahu apa akibatnya, Handrian? Kini nama baik keluargaku telah tercemar akibat perbuatanmu itu!"
Adelina buru-buru maju, dengan air matanya yang sudah jatuh membasahi pipinya.
"Pa, tolong jangan salahkan Handrian! Aku yang..."
"Diam, Adelina!" bentak Pak Surya, membuat tubuh putrinya itu langsung bergetar.
"Kau sudah cukup mempermalukan keluarga ini! Sekarang biar aku yang berurusan dengan pria ini!"
kemudian, tatapan Pak Surya kembali mengunci ke arah Handrian.
"Dengar baik-baik, Handrian! Kau mungkin dihormati di kantor. Kau juga mungkin punya posisi yang mapan diperusahaan. Tapi semua masa depan dan karirmu itu ada di tanganku. Satu kata yang keluar dari mulutku, maka seluruh hidupmu akan hancur. Kau juga tidak akan punya nama, dan tidak akan punya pekerjaan lagi, bahkan tidak akan pernah punya ruang untuk bernafas di kota ini."
Mendengar perkataan pria yang menjadi atasannya itu, keringat dingin langsung mengalir di pelipis Handrian. Ia juga terlihat menelan ludah, dan mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab.
"Pak, saya bersedia bertanggung jawab. Dan saya juga tidak akan lari dari kesalahan ini."
Namun saat itu juga, Pak Surya malah menyeringai sinis, lalu ia pun melangkah lebih dekat dengan tubuh Handrian.
Dan dengan menggunakan jari telunjuknya, ia pun mendorong sedikit dada Handrian, membuat suami Rosalina itu menunduk.
"Bertanggung jawab? Jangan bicara seakan kau masih punya pilihan, Handrian. Karena mulai malam ini, hidupmu itu bukan lagi milikmu. Karena kau akan menikahi putriku, dan meninggalkan segala ikatan yang kau sebut rumah tangga dengan istrimu yang sah itu!"
Jantung Handrian seolah berhenti berdetak. Kata-kata Pak Surya tersebut seolah menghantam tepat di ulu hatinya. Dan tiba-tiba saja, wajah Rosalina kembali muncul didalam bayangannya. Sehingga, ia pun menolak permintaan dari Pak Surya.
"Tidak… Pak… jangan paksa saya untuk meninggalkan istri saya! Saya benar-benar akan bertanggung, dan menikahi Adelina, tapi..."
"Cukup, Handrian!" Pak Surya langsung menggerakkan telapak tangannya kearah Handrian.
"Kau fikir bisa menolak permintaanku, hah? Dan apa kau fikir kau itu bisa mengelak pada keputusan yang sudah aku ambil? Dengar baik-baik, Handrian. Jika kau memilih istrimu itu, maka aku akan memastikan bahwa dia tidak akan pernah lagi bisa tersenyum. Rumah sakit tempat dia dirawat saat ini, bisa terbakar hanya dalam satu malam. Nyawanya juga bisa lenyap tanpa seorang pun yang berani menanyakan. Bukankah kau tahu bahwa aku punya kekuasaan untuk melakukan semua yang aku inginkan?"
Mendengar perkataan dari Pak Surya, tubuh Handrian mendadak menjadi kaku. Nafasnya pun terasa tercekat dikerongkongan. Ancaman tersebut benar-benar telah menusuk jauh ke dalam hatinya, membuat dirinya sangat sulit untuk berpikir jernih.
Sementara itu, Adelina sudah menangis tersedu-sedu, sambil meraih lengan ayahnya.
"Ayah, hentikan… Tolong jangan ancam dia… aku tidak ingin Handrian terpaksa…"
Namun Pak Surya segera menepis tangan putrinya dengan kasar, seraya berkata...
"Kau tidak tahu apa-apa, Adelina. Kau hanya tahu menangis. Kau fikir aku akan membiarkan pria ini menodai nama baik keluarga kita tanpa membayar harga? Tidak Adelina! Handrian harus membayar mahal semua perbuatan yang telah ia lakukan. "
Kemudian, Pak Surya kembali menatap Handrian dengan sorot mata yang lebih dingin dan penuh perhitungan.
"Kau punya dua pilihan, Handrian. Menikahi Adelina dan menjadi bagian dari keluarga ini, atau kehilangan segalanya, termasuk nyawa perempuan yang kau tinggalkan di rumah sakit itu. Pilih sekarang juga!"
Ruangan itu menjadi hening sejenak, karena saat itu hanya terdengar suara isak tangis dari Adelina, dan nafas berat Handrian yang terengah.
Bersambung...