Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Masih Perkara Laptop
"Tolong maafkan penampilan saya jika itu membuat anda merasa tidak nyaman. Bukannya bermaksud tidak sopan, tapi saya tadi menghadapi sedikit masalah," ucap Arin penuh penyesalan. Ini bukan sekedar akting seperti biasanya.
"Saya tidak ingin penampilan saya ini membuat anda merasa tidak dihargai. Sungguh saya tidak bermaksud seperti itu."
Gama terus menatap Arin dengan tatapan dingin. Dia tidak berkata apa-apa tetapi hatinya mengakui jika dirinya telah salah menilai perempuan di hadapannya ini.
Nyatanya penampilan Arin yang dia anggap seperti gembel itu tidak mengurangi performanya. Arin tetaplah seorang direktur yang pintar, cekatan dan sangat menguasai bidangnya, walau hanya dibalut pakaian yang bisa dibilang seadanya.
"Masalah stok dan pengiriman saya anggap sudah selesai. Jadi saya mohon undur diri, sekali lagi maafkan atas ketidaknyamanannya," pamit Arin.
Gama seperti tidak mendengar Arin berbicara. Dia terus menatap Arin, mencari-cari kemana perginya tatapan genit dan gatal yang biasa gadis itu perlihatkan.
Kenapa kalau tidak sedang menggatal begini Arin terlihat begitu berbeda. Aura misteriusnya sangat terasa. Dan meskipun terlihat seperti gembel, dia adalah gembel yang sangat mempesona.
"Pak Gama?" panggil Arin karena Gama tidak meresponnya.
"Ya, silahkan. Barangnya akan kami akan kirim hari ini juga," ucap Gama dengan wajah datar, menyembunyikan rasa penasaran yang kembali bergejolak di hatinya.
"Baiklah, terima kasih. Saya permisi." Arin tersenyum kemudian pergi.
Dan sekali lagi Gama dibuat tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Arin tersenyum. Senyum yang benar-benar tulus, bukan senyum paksaan apalagi senyum genit dibuat-buat seperti yang selama ini sering Gama lihat.
Gama benar-benar dibuat bingung dengan dua karakter Arin yang sangat berbeda ini.
* * *
Arin sampai rumah hampir jam sembilan. Selesai urusan dengan Gama tadi, gadis itu mampir ke sebuah toko komputer untuk membeli laptop baru.
Masuk ke dalam rumah, Arin bertemu Tania.
Tania mengenakan gaun malam yang seksi dipadukan dengan make up tebal. Tidak lupa sebuah clutch mahal dalam genggaman. Sepertinya dia hendak menghadiri sebuah pesta atau acara penting semacamnya.
"Lihat ini, siapa yang baru saja pulang. Kamu cuma numpang, seharusnya kamu tahu diri! Jangan kelayapan jam segini baru pulang!" ketus Tania begitu melihat Arin.
"Lebih baik jam segini baru pulang, dari pada jam segini baru mau berangkat kelayapan!" sindir Arin acuh.
"Aku tidak kelayapan. Aku pergi menemani Gama menghadiri pesta di rumah koleganya," balas Tania dengan nada sombong.
"Aku juga pergi karena harus memperbaiki laptopku yang rusak karena seseorang tiba-tiba mengguyur air di kepalaku, bukan pergi kelayapan seperti yang kamu katakan!" balas Arin.
Tadinya Arin hanya akan lewat dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Dia sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Tetapi karena Tania menyindir dirinya, Arin pun berhenti.
Dia ingin memberi sepupunya itu peringatan. Entah berapa kerugian perusahaan yang harus ditanggung seandainya Gama tadi tidak meneleponnya. Dan semua itu karena laptopnya rusak akibat ulah Tania.
"Laptop? Untuk apa seorang buruh pabrik mempunyai laptop? Agar terlihat seperti orang kantoran? Apa kamu juga akan nongkrong di coffee shop mahal dan bergaya seperti mereka?" ucapnya diiringi tawa mengejek.
"Se-halu itukah kamu? Apa kamu masih belum bisa menerima kenyataan kalau kamu miskin?!"
Habis sudah kesabaran Arin. Sejak menginjakkan kaki di rumah ini semua orang seakan tidak berhenti mencari masalah dengannya.
Arin maju menghampiri Tania. Tanpa aba-aba dia menarik rambut sepupunya itu, sama seperti Fatma menarik rambutnya siang tadi.
"Aw... " Tania meringis. "Ma... Mama... !!!" teriaknya meminta pertolongan, tetapi tidak ada yang mendengar. Sepertinya Fatma sudah masuk ke dalam kamar dan para pembantu juga sibuk di belakang membersihkan bekas-bekas makan malam.
"Asal kamu tahu, aku bukan Arin yang dulu! Aku tidak akan diam lagi jika kamu menghina atau menyakitiku!" Arin menarik rambut Tania dengan kuat. "Aku tidak pernah mengurusi urusanmu, jadi kamu urusi saja urusanmu sendiri!" lanjutnya dengan nada mengancam.
"Lepaskan aku!" rintih Tania kesakitan.
"Hei!!! Apa-apaan ini?!!" Gama muncul dari belakang lalu mencengkeram lengan Arin. "Lepaskan dia!!!" Cengkeraman tangan Gama sangat kuat sehingga mau tidak mau Arin melepaskan rambut Tania.
"Sayang, kamu tidak apa-apa?" Gama merapikan rambut Tania yang berantakan karena ulah Arin.
Tania tidak menjawab. Matanya terlihat merah dan berkaca-kaca. Sepertinya dia memang kesakitan karena Arin menarik rambutnya dengan kuat.
Gama menoleh menatap Arin. "Aku tidak menyangka ternyata kamu sejahat ini!" ucap laki-laki itu tajam. Sorot matanya seakan menggambarkan betapa laki-laki itu sangat marah karena Arin telah menyakiti kekasihnya.
"Kamu sebut aku jahat?" balas Arin tanpa menatap Gama. Dia melihat lengannya yang terlihat merah, bekas cengkeraman tangan Gama. "Memangnya kamu tahu apa?!"
Hanya menjambak rambut Arin sudah disebut jahat, lalu apa kabar Tania dan Fatma yang berbuat jauh lebih parah dari itu? Apa mereka lalu disebut iblis?
"Jangan hanya menghakimiku! Coba kamu tanya kekasihmu apa yang sudah dia lakukan hingga aku berbuat seperti itu?!"
"Apapun yang dia lakukan, tidak lantas bisa membenarkan perbuatanmu. Keluarga Tania sudah sangat baik kepadamu. Inikah balasanmu?!"
"Ya, mereka sangat baik kepadaku, sampai-sampai membiarkan aku diadopsi oleh seorang pembantu, padahal mereka lebih dari mampu untuk sekedar merawatku. Apa itu yang kamu maksud baik? Atau membiarkan aku tinggal di rumah kumuh padahal ada beberapa kamar kosong di rumah ini? Kebaikan yang mana yang kamu maksud?!"
Gama terdiam, tatapannya melunak. Itu adalah pertanyaan yang sama yang akhir-akhir ini terus berputar di benaknya dan sampai sekarang belum menemukan jawaban.
"Sayang, kita pergi saja sekarang. Tidak perlu meladeni dia. Aku tidak apa-apa," sela Tania, tidak mau Arin semakin banyak bicara.
"Benar kamu tidak apa-apa?" Gama memastikan. "Kita bisa membatalkannya jika kamu merasa kurang nyaman," lanjutnya, khawatir dengan keadaan Tania.
Arin berdecih. "Dasar manja! Itu baru dijambak. Bagaimana kalau disiram satu ember air? Mungkin sekarang sudah tipes dan masuk rumah sakit!"
Gama yang sudah sedikit melunak kembali tersulut emosi. "Sebenarnya terbuat dari apa perasaanmu?!" ucapnya tidak habis pikir. Arin baru saja menyakiti Tania, tetapi gadis itu sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan dia masih bisa mencibir Tania dan menyebutnya manja.
"Sudahlah, jangan hiraukan dia. Sebaiknya kita segera berangkat agar tidak ketinggalan pestanya," bujuk Tania. Sebenarnya dia sendiri kesal dengan kata-kata Arin, tapi di depan Gama dia harus bersikap lemah lembut dan tak berdaya.
"Iya, kita pergi saja," ucap Gama yang terlihat sangat kesal dengan Arin.
Gama menggandeng tangan Tania, lalu kedua orang itu melangkah pergi.
"Gama, seandainya aku menyiram laptopmu dengan seember air, lalu laptopmu rusak, lalu data-data penting perusahaanmu hilang, kira-kira kamu marah tidak?" tanya Arin.