Menikah karena perjodohan, dihamili tanpa sengaja, lalu diceraikan. Enam tahun kemudian tak sengaja bertemu dengan mantan suami dalam situasi yang tak terduga.
Bertemu dengan Renata dalam penampilan yang berbeda, membuat Mirza jatuh dalam pesonanya. Yang kemudian menumbuhkan hasrat Mirza untuk mendapatkan Renata kembali. Lantas apakah yang akan dilakukan oleh Renata? Apalagi ketika mantan suaminya itu tahu telah ada seorang anak yang lahir dari hasil ketidaksengajaan dirinya di malam disaat ia mabuk berat. Timbullah keinginannya untuk merebut anak itu dari tangan Renata. Apakah Renata akan membiarkan hal itu terjadi? Ataukah Renata memilih menghindar dan membuka hati untuk pria lain?
“Kamu sudah menceraikan aku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
- Renata Amalia -
“Kamu pernah jadi milikku. Sekarang pun kamu harus jadi milikku lagi. Akan aku pastikan kamu dan anak kita akan berkumpul kembali.”
- Mi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Imajinasi Mirza
PMI 22. Imajinasi Mirza
“Ren?” Vanessa meninggikan kedua alisnya memandangi Mirza dengan sorot mata penuh tanya bercampur marah. Ia yang ingin meminta pendapat sang kekasih tentang foto dirinya di pantai yang paling bagus yang akan diunggahnya ke media sosial itu malah terkejut mendengar nama wanita masa lalu disebut.
“Renata maksud kamu?” Vanessa marah tentu saja. Sebab selama enam tahun ini selepas perceraian mereka, Mirza tak pernah lagi mengingat apalagi menyebut nama wanita itu. Lalu sekarang, setelah tak disangka bertemu lagi, mengapa Mirza malah menyebut nama wanita itu? Apakah Mirza teringat wanita itu?
“Van ...” Mirza berdiri. Lalu menghampiri Vanessa yang sudah berwajah masam, memandanginya dengan sorot mata marah dan dahi berlipat.
“Apa kamu sedang membayangkan perempuan itu?” tanya Vanessa.
“Tidak. Bukan seperti itu. Aku hanya ... emm ...” Mau mengelak, gelagatnya kelihatan kentara. Dan Vanessa bukan anak kecil lagi yang bisa dibodohi. Mirza tahu itu. Namun ia sudah terlanjur menyebut nama Renata tanpa sengaja. Sebab pikirannya dipenuhi oleh Renata saat ini.
Mirza menggaruk tengkuk. Lalu berkacak pinggang, bingung harus berkata apa. Duduk termenung seorang diri dengan pikiran melayang-layang, menghilangkan bayangan Vanessa sejenak dari pikirannya. Isi kepalanya melambung jauh membayangkan pernikahannya dengan Renata dulu. Lalu tanpa sadar ia malah berandai-andai.
Andai waktu bisa diputar kembali.
Andai dulu ia tidak bersikap kasar dan lebih peduli pada rumah tangganya.
Andai dulu ia menerima Renata apa adanya dan menuruti kata orangtuanya.
Mungkin sekarang rumah tangganya dengan Renata sudah berbahagia seperti bayangannya. Bahkan mungkin saja ia dan Renata sudah memiliki anak seperti yang ia idamkan bersama Vanessa. Yang sayangnya Vanessa malah tidak memahami keinginannya itu.
“Membayangkan perempuan kampungan itu. Iya, kan? Kamu pikir aku bodoh apa?” geram Vanessa. Amarahnya sudah tersulut.
“Tidak. Bukan seperti itu, Van? Aku cuma__”
“Kita ke sini untuk liburan, kan? Cuma kita berdua. Trus kenapa sekarang malah ada perempuan itu?”
“Ya ampun, Van. Kamu salah paham. Aku memang lagi mikirin Renata. Tapi bukan berarti aku__”
“Kenapa kamu pikirin dia? Memangnya dia kenapa? Kenapa, Za? Apa jangan-jangan kamu sekarang menyesal udah ninggalin dia?”
Mirza melongo seperti orang linglung. Ia kebingungan sendiri dengan perasaannya saat ini. Beberapa saat lalu ia memang merindukan kehidupan pernikahannya dulu. Yang diisi oleh Renata yang tidak pernah berkata kasar padanya, tidak pernah mengomel padanya, bahkan tidak pernah menghakiminya meskipun Renata tahu ia sedang bermain api di belakangnya.
Perasaan rindu itu membuat hati Mirza seketika merasakan kekosongan. Lalu apakah yang dikatakan Vanessa itu benar? Bahwa ia menyesal sudah menceraikan Renata?
“Tidak. Tidak seperti itu. Sebenarnya aku hanya kepikiran Tony. Sebagai teman aku merasa kasihan pada Tony yang malah menjalin hubungan dengan Renata. Padahal Tony bisa dan lebih dari mampu mendapatkan yang lebih baik,” kilah Mirza. Padahal yang ia pikirkan beberapa saat lalu tidak seperti itu. Ia justru sedang membayangkan pernikahannya dengan Renata. Bahkan, melihat Renata yang sekarang sudah banyak berubah itu membuat imajinasi liarnya bermain-main tanpa sengaja. Yang tanpa sengaja pula ikut membangkitkan hasratnya.
“Benar seperti itu?” Vanessa mulai melunak. Namun matanya memicing masih menaruh curiga.
“Benar, Van. Bahkan tadi aku sempat ngasih saran ke Tony agar memikirkan kembali hubungannya itu. Jangan sampai dia menyesal di kemudian hari. Sayang, kan, pria setampan Tony, kok, malah dapatnya janda.”
“Kamu udah ngasih tau Tony juga kalau perempuan itu mantan isteri kamu?”
“Emm ...” Mirza menghela napas. Beberapa saat lalu juga ia memang sempat terpikirkan untuk memberitahu Tony tentang siapa Renata. Namun urung lantaran tak ingin menyakiti perasaan Tony.
Akan tetapi, jika ia melakukan itu, ada kemungkinan Tony akan mundur dari hubungannya dengan Renata. Dan jika Tony mundur, bukankah itu merupakan sebuah kesempatan untuknya?
Pikiran Mirza mulai mengada-ada.
“Belum.” Mirza menggeleng.
“Kalau gitu biar aku saja. Lebih cepat lebih baik. Daripada teman kamu itu menyesal nanti. Perempuan kampungan itu tidak pantas untuk teman kamu.” Vanessa melenggang cepat hendak pergi. Namun langkahnya terhenti saat Mirza mencekal lengannya.
“Kenapa, sih? Sakit ini, tau,” sentaknya kasar menarik lengannya dari cengkeraman Mirza.
“Kamu mau ke mana?”
“Mau menemui teman kamu itu. Aku mau ngasih tau dia kalau perempuan itu mantan isteri kamu. Dia pasti bakalan jijik sama perempuan bekas temannya. Dan aku yakin, mereka tidak akan jadi menikah.”
“Jangan. Jangan, Van.”
“Jangan kenapa? Kamu bilang kamu kasihan sama teman kamu itu, kan? Ya udah, kita kasih tau aja sekarang.”
“Ma-maksud aku jangan sekarang, Van. Nanti saja biar aku ngasih tau kalau ada kesempatan.”
“Beneran?”
Mirza mengangguk.
“Ya udah. Tapi beneran, ya? Jangan sampai tidak. Perempuan itu tidak boleh beruntung mendapatkan teman kamu itu.”
“Aku mandi dulu, deh, Van. Pusing kepalaku.” Mirza kemudian melenggang pergi ke kamar mandi. Menyisakan Vanessa yang sedang tersenyum culas memandangi punggung Mirza yang menjauh.
“Enak saja. Perempuan kampung itu tidak boleh beruntung mendapatkan Tony. Cuma aku yang pantas. Laki-laki tampan dan mapan seperti itu cuma cocok dengan Vanessa Angela. Artis terkenal, cantik dan seksi ini.” Vanessa bergumam lirih sembari tertawa kecil.
****
Duduk berendam dalam bathub, bukannya memikirkan tentang kelanjutan hubungannya dengan Vanessa, Mirza justru kembali membayangkan Renata. Wajahnya tersenyum-senyum saat bayang-bayang wajah Renata menari-nari di pelupuk matanya. Lalu kemudian ia malah membayangkan hal yang indah-indah bersama Renata.
“Ren, kamu sangat cantik sekarang,” gumam Mirza tanpa sadar. Membayangkan Renata membuat hatinya berdebar-debar. Rasa yang dulu tak pernah hadir dalam dadanya itu kini terasa menggelitik dan sedikit menghadirkan kesenangan di sana.
“Ren, apa kamu serius akan menikah dengan Tony? Apa selama ini aku tidak pernah ada di hatimu?” gumam Mirza lagi, yang entah mengapa ia malah berharap Renata menyukainya. Setidaknya itu dulu.
Sementara Mirza membayang-bayangkan Renata, di luar Vanessa sedang membenahi dandanannya. Ia tengah mematut diri di depan cermin, memastikan apakah ia sudah terlihat cantik untuk menemui seseorang.
Usai memastikan penampilannya sudah sempurna, Vanessa kemudian melenggang pergi.
Green Paradise cukup luas. Vanessa kebingungan mecari kantor pemilik resort ini. Sampai kemudian ia harus bertanya pada pegawai resort itu di mana kantor Tony berada.
Tok tok tok
Vanessa mengetuk pintu ruangan Tony begitu ia tiba di depan ruangan itu. Wajahnya tampak cerah berbinar. Menunggu pintu ruangan itu dibuka, ia sempatkan menyemprot parfum ke bagian lehernya agar wanginya harum semerbak demi memikat si pemilik resort ini. Bagi Vanessa, semua pria itu sama saja. Terlalu mudah ditaklukkan hanya dengan satu cara saja. Yaitu memuaskan hasratnya. Dan ia adalah ahli pada bagian itu.
“Hai,” sapa Vanessa saat pintu dibuka dan menampakkan Tony yang berdiri gagah sambil satu tangannya memegangi handel pintu.
“Vanessa?” Tony mengerutkan dahi tipis melihat kedatangan Vanessa.
“Kamu sendiri ke sini? Mirza ke mana?” tanya Tony.
“Dia lagi mandi. Biasa, berendam kali. Dia kalau berendam itu suka lama.”
“Oooh ... trus, kamu ke sini ada apa? Ada yang bisa aku bantu?”
“Emm ... aku cuma pengen ngobrol aja. Kamu sendiri di dalam?”
“Iya. Kenapa emang?”
“Aku boleh masuk, kan?”
“Silahkan.” Tony menyingkir, memberi Vanessa jalan masuk ke dalam ruangannya.
Vanessa pun lekas melenggang masuk. Vanessa mengedarkan pandangannya memindai seisi ruangan yang sangat estetik itu. Pemilik ruangan itu rupanya memiliki selera yang bagus dalam menata ruangannya. Ia sampai terkagum-kagum dibuatnya.
“Ehem ... silahkan duduk, Van.” Tony mempersilahkan Vanessa duduk pada kursi di seberang mejanya.
“Kita duduk di sofa aja, ya?” Vanessa malah menunjuk sofa di sudut ruangan. Ia hendak mengayunkan kakinya menuju sofa itu. Namun tiba-tiba saja kakinya terkilir.
“Aw!” pekik Vanessa kesakitan. Lantaran kakinya yang tengah mengenakan sepatu ber-hak tinggi itu pun membuat tubuhnya oleng sampai ia tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
Beruntung saja, tangan Tony sigap menahan tubuh Vanessa agar tidak sampai jatuh menyentuh lantai. Sepintas posisi keduanya terlihat seperti saling berpelukan. Lalu diwaktu yang bersamaan, pintu ruangan didorong terbuka dari luar oleh seseorang. Orang itu terkejut melihat Tony dan Vanessa yang tampak sangat dekat.
“Pak Tony?”
Sontak Tony menoleh. Dan terkejut seketika melihat kedatangan orang itu. Bahkan wajah orang itu tampak seperti tidak biasanya.
To be continued...
Lebih baik baik sangat dicintai, daripada mencintai sendirian. Sekal lagi jangan bertahu Mirza bahwa Dito anaknya
🐡🐡🐡🐡🐡🐡 untukmu thor