Selama ini, Rambo mengutuk diri dalam kehidupan nikah paksa yang terjadi antaranya bersama Erin 3 bulan belakang. Sayang, tak ada ruang untuk Erin dalam kehidupan Rambo yang masih memendam cinta lama.
Hingga semua berubah ketika waktu mempertemukannya kembali dengan sang pujaan hati di masa lalu, Marwah.
Dipertemukan kembali dalam keadaan yang sama-sama telah menikah, Rambo yang tak bisa menahan rasa cintanya pada Marwah, akhirnya terjebak dalam konflik terlarang dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan ancaman yang semakin banyak, terutama pada Marwah yang sering mendapat kekerasan dari suaminya, juga Erin yang tak mau melepaskan Rambo, mampukah Rambo melindungi wanita yang dicintainya... Atau haruskah ia menerima hidup bersama Erin selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Turuti Alur, Jangan Melawan, Atau Memberontak
"Mas, kamu sudah pulang?"
Ya Tuhan, suara Erin saat itu. Lembut, penuh keceriaan dan misterius. Erin muncul dari balik pintu dengan segala senyum juga berbagai tas belanja kertas berisi oleh-oleh khusus sebagai permintaan maafnya pada Rambo.
Rambo menggesek kedua telapak tangannya, membersihkan remahan roti sisa sarapan tadi.
"Lihat! aku bawa oleh-oleh untuk kamu. Aku minta maaf ya, ayo kita lupakan saja soal semalam, dan coba kita nikmati hari ini bersama-sama. Mulai makan, makanan ini... Berdua, di meja makan."
Begitu lembut sikap Erin, seperti bukan dirinya yang selama ini. Dia mungkin bisa menjadi bunga yang mekar di padang rumput, sangat cantik, lembut dan indah. Sanggup membuat lelaki mabuk kepayang karena aromanya, hanya dengan berbicara.
Namun tidak dengan Rambo. Ia hanyalah sebatas Elang ganas yang terbang meninggi hanya untuk seekor ayam, bukan bunga.
"Mas, apakah kamu mendengarku?"
"Ya. Aku mendengarmu." Sangat jelas malah.
Erin menghela napas, meletakkan belanjaannya dan berlutut di hadapan Rambo. Sambil menengadah diraihnya tangan coklat yang besar itu. Kuatkan dirimu, Erin. Kamu hanya perlu waktu untuk sekedar meyakinkannya, meskipun Rambo ini adalah orang yang keras, tapi tetap saja, kamu telah memiliki Marwah untuk menyelamatkan statusmu.
Erin memaksakan diri menatap mata Rambo, dan berusaha keras untuk tidak gagal dalam kedalaman mata gelap yang memancarkan kecurigaan dan ketidaksabaran itu.
"Aku minta maaf, ya Mas. Aku minta maaf karena sudah banyak mengecewakan kamu selama ini, aku menyesal karena masih memiliki banyak kekurangan sebagai pendamping hidupmu. Karena itu, mari kita lupakan soal semalam ya?! kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini." Kata Erin.
"Kamu ingat, kamu sendiri yang mengatakannya padaku; hubungan itu bukan hanya sebatas tentang perasaan saja, tapi juga dari perjuangan pasangan itu untuk mempertahankan. Aku minta maaf, ya. Kita perbaiki lagi ini, dari awal dan mari sama-sama berjuang, karena aku sudah berusaha mempertahankan hubungan kita ini."
Banyak yang telah terjadi di antara mereka selama tiga bulan ini, Namun Rambo selalu diam, selalu siap menerima ocehan, bantahan, juga kata-kata menyakitkan dari mulut Erin. Selama ini ia bertahan, menjalani hidup bagai bujang beristri, sudah menikah tapi serasa melajang. Raganya di sini, tapi jiwanya pergi melayang jauh, mencari sosok wanita kuat yang ia kenal 5 tahun lalu. Dan sekarang, ketika akhirnya ia menemukan wanita itu lagi, ia meyakini hidupnya masih bisa diperbaiki, lalu apa lagi yang harus ia pertahankan dengan Erin? Bahkan ia tak menemukan satu pun alasan untuk itu.
"Aku setuju dengan kata-katamu yang pertama. Kamu memang sangat mengecewakan ku sebagai istri selama ini, kamu memiliki banyak kekurangan sebagai pendamping hidupku. Tapi aku tidak sependapat dengan kata-katamu yang kedua; melupakan soal semalam dan pendapat kalau kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini." Rambo merasakan dirinya berada di puncak sandiwara, mengalahkan rasa menyerah yang seakan selalu mewarnai setiap tarikan napasnya selama ini.
"Baguslah kamu sudah pulang, aku mau langsung pergi, kita lebih baik pisah rumah sampai proses perceraian selesai. Sebelum mengajukan gugatan, mungkin aku akan mengumpulkan keluarga kita terlebih dahulu. Seperti tadi, aku sudah menemui kedua orang tua mu." Lanjutnya.
Rambo menyentak tangan Erin dan langsung bangkit dari kasur menuju lemari, menarik semua pakaian ke dalam koper, dan bersiap untuk pergi dari rumah.
Erin membisu. Rahangnya menegang ketika giginya menggertak. Erin merasakan sarafnya bergetar, namun ia masih mencoba untuk tegak dan menghampiri Rambo lagi.
"Mas, tolong kamu pikirkan lagi! Kamu masih terbawa emosi. Jangan tinggalkan rumah ini, jangan tinggalkan aku sendiri Mas. Aku mohon!" Dengan sekuat tenaga, tangan itu menangani pergerakan Rambo. Meski percuma.
"Mas! Aku cinta dengan kamu! Aku sayang denganmu, aku tidak mau kehilangan kamu Mas! Aku tidak bisa hidup sendiri tanpa kamu di rumah ini. Jangan pergi."
Ketika Rambo berbicara lagi, suaranya bergemuruh dengan kekuatan dari dasar tenggorok. Bagaikan raja hutan yang selama ini dikurung----singa yang lapar namun dibelenggu. "Hidupku lebih baik saat bersama kekasihku. Sayangnya harus ku katakan, aku mencintai dia. Dan dia membuat jiwaku yang kosong jadi penuh. Kamu benar, selama ini aku selingkuh, selingkuhan ku jauh membuatku nyaman dibanding kamu." Rambo berbisik tepat di telinga Erin.
Erin mundur selangkah dengan terkejut. Akhirnya kini Rambo mengakui perbuatannya, tapi ia sungguh murka, nampaknya Marwah benar-benar akan mengganggu hubungan mereka. Sial! Apa yang dilakukan pembantu itu?! Suamiku masih memilih dia, masih ingin menceraikan aku, padahal aku sudah memintanya untuk meyakinkan Rambo jangan ceraikan aku. Gumam Erin. Dia mengepal tangan.
"Akhirnya kamu mengaku juga Mas! Kamu selingkuh. Kamu tukang selingkuh."
"Memang. Aku selingkuh, aku senang saat bersamanya, semua ini karena kesalahan kamu! Kamu tidak bisa melayaniku, tidak bisa menghormati ku. Sedangkan dia jauh memberikan aku kenyamanan, dia memberikan aku perhatian yang tidak pernah ku dapat darimu, dia berikan aku cinta dan kasih sayang yang mampu menghangatkan diriku." Jawab Rambo, seakan semua itu disengaja untuk membakar hati Erin, menyalakan api cemburu, api kemarahan, dan kemurkaan pada sosok selingkuhannya, Marwah.
"Oke, ini sungguh bren9sek. Kamu tega bermain di belakangku Mas. Dan dengan percaya diri penuh, kamu banggakan dia di depanku. Kamu tidak pikirkan perasaanku sama sekali. Jahat!" Ucap Erin, semua yang ada di dekatnya dibanting ke lantai sampai berhamburan.
Namun ini semua justru membuat Rambo senang, seakan semua harapannya akan segera terwujud, seakan semua rencananya akan berjalan mulus tanpa hambatan.
"Memang. Rasanya aku tak akan menemukan orang lain lagi seperti dia, aku tidak akan bisa se-semangat ini mengambil keputusan, jika tanpa dorongan darinya." Jawab Rambo santai, seringai menghiasi wajahnya, bagai korek yang membakar hati dan amarah Erin semakin panas.
Sungguh sialan! inikah yang dilakukan oleh pembantu itu?! mungkinkah dia malah mengatakan sebaliknya pada Rambo, meyakinkan dia untuk menceraikan aku, agar bisa memiliki suamiku sepenuhnya? Dasar wanita rendahan! sepertinya aku salah, akan ku beri pembantu itu pelajaran! Pikir Erin penuh kemarahan.
Mungkinkah ini tujuan Rambo? Membuat Erin murka pada Marwah? Lalu apa lagi?
"Tidak ada wanita yang lebih baik dari aku! tidak ada wanita yang segalanya melebihi aku! hanya aku dan selamanya hanya aku! Kamu bodoh, karena memilih berselingkuh, apakah kamu lupa Mas?! aku bisa sebarkan berita perselingkuhan mu ini, aku bisa membuat kamu bukan hanya merasakan sanksi di kepolisian, tapi juga sanksi sosial."
"Aku tidak perduli." Rambo menaikkan bahunya, begitu santai. "Asalkan hidup bahagia, aku tak masalah lepas dari kantor. Lagi pula, kekasihku sudah mengatakan padaku tadi, dia tak masalah hidup bersamaku, walau penuh kehancuran. Karena kami bisa bahagia dengan cara yang sederhana."
Oh, begitu marahnya Erin mendengar itu barusan. Pikirannya semakin bulat, ia yakin betul bahwa Marwah telah berkhianat! Marwah telah mengatakan hal sebaliknya pada Rambo. Marwah telah membantah, dan malah meyakinkan suaminya untuk meninggalkannya. Erin benar-benar murka, sebab Rambo agaknya berhasil menggiring pemahaman Erin tentang ke arah yang salah.
Setelah selesai memanasi istrinya, Rambo keluar kamar dengan koper. Dapat ia dengar dari dalam, Erin mengamuk hebat, semua barang dibanting termasuk segala jenis gelas, vas bunga, foto. Bunyi belingnya terdengar jelas.
Pertahankan terus sifat tempramenmu itu Erin, aku menyukainya. Gumam Rambo sambil menuruni tangga.
Di ujung bawah, sudah ada Marwah yang berdiri, berdiri tegak menatapnya dengan raut masygul sedangkan di kepalanya penuh pertanyaan.
"Kamu mau kemana, Om?" Tanya Marwah, begitu Rambo menginjakkan kaki dan berdiri di sampingnya.
"Rencanaku sudah dimulai. Jadi ingatlah selalu pesanku; turuti lah alur, jangan pernah melawan, memberontak, atau banyak berpikir." Rambo berbisik kemudian pergi. Pergi jauh meninggalkan rumah.