Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Dan Untaian Doa
Suasana sebuah rumah sakit yang semula kondusif, berubah riuh saat sebuah mobil yang mengangkut tubuh Ruby terhenti di lobi. Begitu pintu terbuka, beberapa petugas medis sigap menarik brankar dan membawanya mendekat.
Tubuh Ruby dipindahkan secara perlahan. Air ketubah yang sudah membasahi pakaian membuat tim medis kian cepat begerak. Mendorong brankar dengan tubuh Ruby yang terbaring di atasnya untuk menuju ruang persalinan.
Kiran menangis, ia mengejar dan berusaha mengapai tangan Ruby untuk terus menguatkan. Ringisan Ruby membuat hati Kiran kian nelangsa. Ia yakin jika perempuan tengah berperang dengan rasa sakit luar biasa.
Begitu memasuki ruang persalinan, seorang dokter dibantu beberapa perawat sigap bergerak. Melepas pakaian Ruby dan lekas melakukan tindakan.
Kiran menyempatkan untuk menghubungi Fatimah. Mengabarkan jika Ruby dalam proses melahirkan dan menyiapkan seluruh barang yang dibutuhkan. Meski didera rasa cemas luar biasa, Kiran tak lupa menghampiri staf administrasi rumah sakit untuk mengurus pembayaran.
"Lindungilah Kak Ruby." Gadis itu kembali ke ruang bersalin. Meski rasa cemas dan ketakutan menghantui diri ketika di hadapkan dengan peralatan medis dan jarum suntik, Kiran tetap memberanikan diri untuk berdiri di samping Ruby. Menggengam tangan dan menguatkannya.
Ruby tengah menahan rasa sakit. Begitulah yang Kiran rasakan kini. Perempuan itu tengah terbaring. Jarum infus sudah tertancap di punggung tangan. Informasi yang di dapat dari dokter, mengatakan jika prosese kelahiran sudah pada pembukaan tujuh. Kiran menganga, tak percaya. Bulir bening tak mampu lagi dicegah. Menyadari jika Ruby mungkin sudah merasakan tanda-tanda kelahiran namun memilih untuk diam.
Kiran menangis, memeluk tubuh Ruby terbaring miring.
"Seharusnya Kakak bilang kalau ingin melahirkan, pasti tidak akan seperti ini kejadiannya." Ada rasa sesal yang menjalar dari diri Kiran. Andai Ruby lebih cepat berbicara, pasti akan ada persiapan lebih dulu. Tidak dalam kondisi mendadak seperti ini.
"Maaf," lirih Ruby. "Aku kira hanya kontraksi palsu seperti biasanya." Ruby seperti mendesis. Ia menarik nafas panjang dan menghembusnya perlahan. Terus, berulang kali untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang menyergap.
Dokter dan staf medis dengan berkala mengecek pembukaan Ruby. Fatimah sudah datang dengan membawa barang milik Ruby dan juga calon bayi yang akan dilahirkan.
Fatimah dan Kiran senantiasa berada di samping Ruby. Menguatkan dan membisikan untaian doa, untuk kelancaran proses kelahiran tanpa kendala suatu apa pun.
Rasa sakit kian mendera. Berbantah dan kian bertambah dalam setiap detiknya. Dokter perempuan tampak menanyakan keberadaan suami sang calon Ibu begitu tak mendapati seorang lelaki pun yang menemani di dalam ruang persalinan.
Lirih Fatimah menjawab dan menjelaskan. Meski samar mendengar, air mata Ruby tak mampu di tahan lagi. Perempuan itu terisak. Dokter perempuan dan perawat yang sudah faham situasi, ikut merasakan haru yang seakan melinkupi ruang bersalin tersebut.
Mereka mengelilingi Ruby. Memberi kalimat semangat dan dorongan, agar tetap kuat melalui proses kelahiran meski tanpa seorang suami yang mendampingi.
Rasa sakit itu amat sangat terasa begitu Dokter mengatakan jika pembikaan sudah lengkap. Ruby meringis, menggigit bibir, serta melafalkan doa-doa saat seluruh tulang ditubuh seakan diremukkan secara bersamaan. Peluh membanjiri tubuh. Ruby sudah memposisikan tubuh dengan jalan lahir yang diarahkan di hadapan Dokter dan perawat.
Fatimah dan Kiran berdiri mengapit Ruby yang terbaring seraya mengenjan. Berusaha sekuat tenaga mengeluarkan janin sesuai arahan Dokter.
"Kamu kuat sayang, kamu kuat, Nak." Fatimah terus menyemangati. Tak perduli akan rasa sakit yang menjalar dikedua tangan saat Ruby mencengkeramnya dengan kuat.
Kiran mengusap peluh di kening Ruby. Ia tatap wajah perempuan yang berusaha tak menangis itu, meski ribuan rasa sakit mendera. Ruby mendesis dan mengeluarkan air mata.
"Ayo sedikit lagi Ibu." Dokter kembali menyemangati begitu kepala bayi mulai terlihat dari jalan lahir. Nafas Ruby kian tak beraturan. Ia sudah teramat kelelahan, begitu pun dengan tenaganya yang nyaris terkuras habis.
Ruby menarik nafas dalam. Memejamkan mata dan mulai mengenjan.
Tangisan bayi menggelegar, disusul tangis ketiga perempuan yang saling berdekapan. Ruby benar-benar menangis saat ini. Dalam pelukan Fatimah dan Kiran, ia menumpahkan segala beban yang sekian lama dipendam untuk diri sendiri.
Rasa sakit yang semula nyaris menghilangkan nyawa, seolah menghilang tanpa jejak begitu tangis bayi memenuhi ruangan.
Keharuan menyelimuti. Selepas dibersihkan bayi perempuan dengan bobot tubuh 3500 gram yang sudah berbalut kain bedong berwarna merah muda itu diberikan pada Ruby.
"Ibu, Kiran, aku sudah menjadi seorang ibu sekarang." Ruby membawa sang bayi dalam buaian. Ia tatap bayi mungil itu dengan perasaan membuancah. Sungguh suatu kebahagian yang tak terkira, sekaligus rasa sedih yang tak mampu dijabarkan dengan kata-kata begitu menatap paras sang bayi yang begitu mirip dengan sang Ayah, Sean.
"Selamat, Nak. Bibi tau, kau perempuan dan ibu yang kuat. Bayimu adalah buktinya. Meski tanpa sosok suami, kau mampu berdiri dengan kaki sendiri. Selepas ini, terus berjuanglah. Yakinlah, jika kau bisa membesarkan putrimu, meski tanpa bantuan dari 'Dia'.
Ruby mengangguk pelan. Sean bahkan berada di kota ini, dan tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Sean bisa melihat putrinya. Ia tidak akan memisakan putrinya dari sang Ayah andai suatu saat Sean mengetahui kebenarannya.
Akan tetapi, jika untuk sekarang. Ruby belum ingin mempertemukannya. Di tengah polemik dan fitnah kejam yang terjadi beberapa bulan lalu, mungkin Sean dan keluarga tidak akan percaya jika dirinya mengandung benih dari Sean, hingga melahirkan seorang anak. Posisinya pasti akan kian terpojok, dan menganggap bayinya adalah anak hasil hubungan gelapnya dengan pria lain. Ruby tidak menginginkan hal itu terjadi. Demi apa pun ia tidak rela jika anak yang sudah ia lahirkan dengan susah payah, akan dihujani caci dan makian yang sama sekali tak beralasan.
"Benar, Bibi. Selepas ini aku akan terus berjuang. Akan kubuktikan pada mereka jika diriku bukan lagi Ruby yang dulu. Aku akan membesarkan putriku, melimpahinya dengan kasih sayang, agar dia tidak merasa kekurangan meski tanpa kehadiran Ayahnya." Pandangan mata Ruby tertuju pada wajah bayi mungil dalam dekapan. Ia usap pipi kemerahan buah hatinya dengan lembut. Meski tersimpan rasa sedih mendalam saat mendapati paras sang putri yang begitu mirip dengan sang Ayah, namun Ruby berusaha tegar. Sean memang ayah biologis putrinya. Di dalam tubuh keduanya pun mengalir darah yang sama. Ruby mencium puncak hidung mungil sang buah hati, kemudian tersenyum saat bibir mungil kemerahan milik sang bayi bergerak-gerak, seolah meminta untuk disusui.
Selamat datang kesayangan, meski tanpa Ayah, Ibu akan pastikan kau tak kekurangan kasih sayang. Dampingi ibu, Nak. Gengamlah tangan ibu, senantiasa kuatkan ibu ketika dipermainkan oleh takdir. Tumbuh besar dan jadilah kebanggan ibumu.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya