Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21.
Denting jam berbunyi seirama detak jantung pasangan yang berpelukan hangat ini. Malam kian merambat sunyi, menuju puncak hening sendu.
Suasana dalam kamar itu semakin lama semakin dingin. Fandy menggeser tubuhnya merapat ke kepala ranjang. Cyra masih terlelap dan nyaman dalam pelukan hangatnya.
Mata Fandy amat sulit terpejam, entah apa yang sedang dipikirkannya hingga dirinya susah tidur.
Fandy memutuskan untuk membaringkan tubuh Cyra. Karena jika dibiarkan tidur lama di pangkuannya takut istrinya itu merasa tak nyaman dan sakit seluruh tubuh.
Fandy membaringkan Cyra dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Tapi tak lama kemudian Cyra terjaga, mata indahnya lekat menatap Fandy yang tengah menyelimutinya.
“Abang belum tidur?”
Fandy menggeleng. “Aku enggak bisa tidur, belum mengantuk sepertinya,” jawabnya pelan.
“Apa karena aku kelamaan tidur di pangkuanmu?”
Fandy menggeleng lagi. “Bukan, mungkin karena ada yang lagi kupikirkan. Kamu lanjut tidur lagi saja.”
Cyra masih menatap suaminya, merasa apa yang dikatakan Fandy benar adanya. Fandy terlihat lelah dan raut wajah yang seolah menyimpan masalah.
“Aku tak lagi mengantuk. Abang sepertinya ada masalah, mau cerita sama aku?”
Fandy yang masih bersandar di kepala ranjang menatap balik istrinya yang sedari dari memperhatikannya. “Aku mau cerita tapi takut kamu marah lagi nanti.”
Cyra terdiam seolah berpikir. “Cerita saja dulu, aku marah lagi atau tidak itu urusan belakangan,” jawabnya santai.
Fandy tertawa. “Tidak mau ahh… aku sudah membayangkan responmu itu seperti apa?”
Mata Cyra mendelik tajam. “Lho kok begitu, sudah cepetan Abang cerita saja. Ayo sini berbaring di sebelahku!”
“Cerita enggak ya… sepertinya enggak deh,” candanya sambil menolak berbaring di sebelah Cyra.
“Abang... sini! Ayo cerita enggak boleh menolak!” Cyra terus memaksa dan menariknya untuk berbaring di dekatnya.
Keduanya sudah berbaring, Fandy lalu memiringkan tubuhnya menghadap Cyra. Dipandanginya lekat wajah cantik istrinya.
“Tadi sebelum aku ke sini, bang Glen memintaku ke lapak sebentar. Ternyata ada salah satu pelanggan selalu mencariku.” Cyra mulai menyimak cerita Fandy.
“Dia memintaku melukis dirinya dan keluarga besarnya di Bandung besok siang. Pelangganku ini seorang perempuan cantik mungkin sebaya denganmu.” Cyra terlihat mulai gelisah.
“Berhubung dia meminta dilukis jumlahnya dua lukisan di rumah keluarganya nanti, kemungkinan aku harus berada di Bandung dua sampai tiga hari.”
“Bang Glen mengajakku sekalian melihat pameran lukisan di jalan Braga untuk Bandung Art Month 2025.” Cyra menyimak dengan perasaan yang makin tak nyaman.
“Jadi… jika kamu tidak keberatan alias menyetujui kegiatanku melukis dan melihat pameran di Bandung mulai besok, aku akan melakukannya.” Fandy sudah menjelaskan hal yang dipikirkannya sejak tadi.
“Harus banget besok melukisnya?”
Fandy mengangguk. “Iya. Sepertinya dia minta dilukis dengan pakaian wisuda. Kalau bersama keluarganya dia belum bilang detailnya.”
Cyra langsung cemberut, seakan membayangkan apa yang akan dilakukan suaminya nanti. “Tapi aku sekarang sendiri di rumah Bang, hanya ditemani mbok Inah.”
“Memangnya mama dan papa ke mana?”
“Mama temani papa kerja di Surabaya. Tadinya aku mau minta kamu pulangnya ke sini dulu, temaniku agar tak kesepian.”
“Sebenarnya hatiku berat untuk melepasmu pergi, tapi aku tahu jika melukis dan lukisan adalah duniamu juga profesimu.”
Cyra lalu terdiam lama, matanya terpejam dan perlahan air matanya jatuh menetes di pipinya. “Entah mengapa aku merasa cemburu Bang dengan perempuan yang akan kamu lukis nanti.”
Fandy merasa sesak mendengarnya, dia lalu meraih tubuh Cyra dan dipeluknya sangat erat. “Aku milikmu Cyra… hanya milikmu seorang bukan yang lain.”
Fandy lalu mengecup kening Cyra dengan penuh perasaan sambil menutup matanya. “Jika kamu tidak mengizinkan dan keberatan, aku akan menolaknya Cyra.”
“Aku mengizinkan Bang, hanya saja disaat sendiri aku selalu merindukanmu.” Cyra makin terisak dalam pelukan Fandy.
“Aku mulai terbiasa dengan keberadaanmu di sisiku, merasakan kehangatan dan kenyamanan darimu. Rasanya tak rela jauh darimu meski hanya hitungan jam,” tambahnya.
“Terus kamu maunya apa? Aku harus bagaimana?” tanya Fandy pelan sambil mengusap lembut punggung Cyra.
Cyra menggeleng kuat. “Enggak tahu Bang. Maaf ya aku jadi cengeng begini,” katanya seraya memeluk erat Fandy.
“Jumat nanti setelah jam pulang kantor, apa kamu mau menyusulku ke Bandung saja?” Fandy menawarkan.
“Kamu bisa naik kereta cepat Whoosh atau pesawat, jadi tidak akan lelah di perjalanan dan cepat sampai,” sarannya lagi.
Cyra melepaskan pelukannya. “Boleh memangnya kalau aku susul kamu? Ganggu enggak nanti?” tanyanya tiba-tiba antusias dan sedihnya seakan hilang dengan cepat.
Fandy tertawa. “Boleh banget dong. Kalau kamu mau menyusul, nanti aku pesan hotel saja.”
Dahi Cyra berkerut. “Kalau aku enggak menyusul, memangnya kamu mau menginap di mana?” tanyanya penasaran.
“Bang Glen ajak cari losmen atau penginapan murah saja dekat rumah pelangganku itu.”
“Oh… begitu. Tapi pelangganmu itu tidak menawarkan menginap di rumahnya, kan?” tanyanya lagi.
“Hmm… awalnya dia menawarkan begitu, tapi aku menjaga perasaanmu. Aku sadar sudah punya istri sekarang, jadi tak mau memberi celah sedikitpun perempuan lain mendekatiku.”
“Aku bilang padanya, murni pekerjaan alias profesional. Aku sudah cerita jujur padahal, kalau sudah menikah denganmu tapi dia seolah tak percaya,” ungkap Fandy jujur.
Cyra cemberut lagi. “Pantas saja Abang takut aku marah, ternyata begini ceritanya. Aku jadi ingin marah sekarang.”
“Jangan dong, aku sudah cerita ke kamu dengan jujur. Semuanya aku kembalikan sama kamu. Take it or leave it.”
Cyra terdiam lagi seolah menimbang dan berpikir keras. “Ok take it… Bang. Aku setuju asalkan aku boleh susul kamu.”
Fandy menarik napas lega dan memeluk Cyra dengan erat. “Makasih Cyra, aku yakin kamu akan selalu mendukungku. Aku sangat menyayangimu”
Cyra balas memeluk Fandy dengan eratnya. “Sama-sama Bang, akupun sangat menyayangimu”
“Kita enggak usah tidur lagi ya. Aku ingin menyatu denganmu sekarang!” bisik Fandy lirih seraya mengecup telinga Cyra.
Cyra mengangguk, apa yang dilakukan Fandy barusan seolah membangkitkan sesuatu dalam dirinya. “Hmm… iya Bang.”
Fandy melepaskan pelukannya. Dia buka perlahan gaun tidur yang melekat di tubuh indah Cyra. Tubuh mulus Cyra kini tampak jelas di mata Fandy.
Fandy menyisakan kain yang menutup area intim istrinya. Perlahan mulutnya menciumi area wajah Cyra. Saat di bibir, Fandy melumatnya tanpa ragu. Cyra membalas ciuman suaminya dengan intens.
Ciuman indah mereka berlangsung cukup lama, sempat berhenti sejenak untuk saling mengambil napas, lalu mereka melanjutkan lagi saling memagut bibir dengan mesranya.
Tangan Fandy tak ingin diam, pelan dia buka kaitan penyangga dada Cyra. Setelah terlepas dia berikan remasan lembut di dada Cyra bergantian, lalu mencubit pelan dan menarik lembut puncak dadanya yang berwarna merah muda.
Cyra mendesah pelan. “Ahh… Bang.” Matanya terpejam, hasratnya tak dapat lagi ia tahan.
Mendengar desahan Cyra membuat hasrat Fandy makin terbakar. Mulutnya kini bermain di dada Cyra, menyesap agak kuat seperti bayi. Lidah Fandy ikut menyusuri puncak dadanya membuat tubuh Cyra melenting ke atas.
Serbuan mulut Fandy di dadanya itu membuatnya serasa terbang ke angkasa. “Sungguh nikmat Bang,” rintihnya.
Setelah puas di dadanya, mulut Fandy turun perlahan menuju perut ramping Cyra. Diciuminya area perut itu dengan lembut, lalu turun lagi di paha bagian dalam. Kain terakhir yang menutupi Cyra dibuka Fandy dengan cepat.
Tangannya lebih dulu memanjakan milik Cyra yang mulai basah. Istrinya itu makin bergerak tak menentu. Mulutnya kini mengambil alih, memanjakannya tanpa henti.
“Ahh… Abang, aku… aku,” Cyra sampai lebih dulu. Fandy tersenyum puas dibuatnya.
Cyra membuka matanya dan tersipu malu menatap Fandy. “Kamu curang, selalu buat aku kalah duluan,” omelnya.
Fandy tertawa. “Tidak apa-apa, yang penting kamu senang… cup,” balasnya sambil mengecup bibir Cyra.
Cyra beranjak duduk lalu menarik tubuh Fandy pelan. Dibukanya satu persatu baju yang melekat di tubuh suaminya.
Dengan lembut tangan Cyra mengusap leher, lalu bahu dan perut Fandy yang rata dan sedikit berotot. Tangannya membelai tubuh suaminya dengan penuh kekaguman.
Saat kain terakhir terlepas dari milik Fandy, Cyra tak ingin melewatkannya. Dia ingin memanjakan milik suaminya juga.
Diusapnya lembut dan diciuminya penuh rasa. Fandy meringis nikmat dan merasa geli diperlakukan seperti itu. “Cyra… nikmat sekali ini,” katanya sambil menutup matanya.
Cukup lama Cyra memanjakan milik Fandy hingga dia merasa puas. “Cyra… udah ya, aku lanjut ke inti penyatuan kita,” tutur Fandy lirih.
Cyra mengangguk dan berbisik. “Aku yang memimpin kali ini ya, Bang?”
Fandy mengangguk patuh. “Boleh Cyra… ayo kita mulai!”
Cyra bergerak dan menempatkan tubuhnya di pangkuan Fandy, tubuh keduanya saling berhadapan kini. Mereka berciuman mesra kembali dengan posisi Cyra lebih tinggi dari suaminya.
Cyra mengarahkan milik Fandy untuk menyelami miliknya yang sudah bersedia. Tanpa ragu milik Fandy yang cukup besar sudah menyesuaikan dengan milik Cyra dan bergerak masuk ke dalam area intim Cyra.
“Ahh… ini sungguh tak terkira rasanya,” desah Fandy.
“Ahh… Abang, tolong lakukan dengan lembut ya,” pinta Cyra.
Fandy mengangguk pelan. “Iya, cantik. Aku usahakan,” ucapnya sambil mengajak Cyra berciuman kembali.
Tubuh keduanya kini telah menyatu. Fandy melakukan penetrasi dengan tempo pelan. Keduanya saling bergerak penuh hasrat. Cyra memimpin dengan yakin. Napas keduanya makin memburu.
Hampir satu jam lebih keduanya saling bergerak memacu. Tatapan gairah semakin menyelimuti. Mereka terus memacu hasrat tanpa henti, bergerak menuju puncak nirwana.
“Ahh… Abang, aku… aku sampai,” desah Cyra memuncak.
Tak lama kemudian Fandy sama halnya dengan Cyra. Puncak gairahnya sudah sampai di akhirnya. “Ahh… Cyra, aku… aku juga sampai istriku… ahhhh.”
Fandy memeluk Cyra dengan erat, setelah melepaskan cairan putih dalam milik istrinya. “Aku sayang banget kamu Cyra.”
Cyra pun balas memeluk Fandy sangat erat. “Aku juga sayang banget Bang Fandy,” kata Cyra sambil mencium lembut kening suaminya.