NovelToon NovelToon
Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ayusekarrahayu

Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.

Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.

Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21 Saat Dua Dunia Bertemu

Suasana masjid kini lebih tenang, sholat ashar berjamaah tengah dilaksanakan. Para santri dan santriwati tampak khusyuk melaksanakan ibadah. Suara merdu imam terdengar sampai ke shaf belakang.

Tak lama kemudian, para santri dan santriwati tampak sudah selesai melaksanakan ibadah sholat ashar berjamaah. Setelah selesai doa bersama semuanya tampak meninggalkan Masjid beriringan.

Nadia tampak keluar dengan gaya anggun nya, ia berusaha menjaga image saat melihat Ustadz Azzam, ustadzah Uhaira dan kiai Bahar tengah berjalan beriringan. Ia berjalan pelan dengan senyum tipis yang mampu membuat siapapun terpana.

Rita dan Putri saling berpandangan lalu tersenyum seolah yakin kalau Nadia lebih cocok dengan ustadz Azzam. Mereka lalu melirik ke arah belakang, suara berisik dari gadis kota yang heboh itu seakan menguasai satu pesantren.

Maya berdiri sembari berkacak pinggang, mukenanya tersampir di kedua bahunya. Ia berulang kali mengoceh random sembari terus mengejar Dewi. Rupanya lagi dan lagi Dewi tak bosan mengejeknya.

Nadia memutar bola matanya, merasa malas dan kesal mendengar suara heboh itu. Rita dan Putri juga menatap dengan tidak suka.

Berbeda dengan ustadzah Uhaira yang tampak terhibur, ia dan kiai Bahar hanya geleng-geleng kepala. Sementara Azzam dia hanya menatap dengan wajah datar namun hangat.

"Dewiii!! lo bisa diem ga hah?! mau gue lempar lagi lo," Maya berteriak heboh sambil memegang sebelah sandal keropinya.

Rara langsung menutup mulut Maya,"Iss Maya ada kiai Bahar, kamu yang sopan jangan teriak-teriak gitu, bisa-bisa nanti kamu dapet nasihat gratis tau."

Maya cemberut lalu menatap kiai Bahar dengan wajah kikuk. "Eh mohon maaf kiai, Ustadzah saya gak bermaksud bertindak tidak sopan, saya hanya berusaha memberi pelajaran berharga buat temen saya ini,"ia menarik tangan Dewi pelan.

Dewi meringis pelan,"Mohon maaf semuanya kita cuman lagi bercanda kok."

Kiai Bahar tersenyum lembut, "Tidak apa-apa nak, bercanda boleh saja asal jangan sampai lupa adab. Santri yang ceria itu membawa keberkahan, asal tidak berlebihan."

Maya langsung mengangguk cepat sambil menunduk sopan, "Siap, kiai. Mulai sekarang Maya akan bercanda dengan adab, janji deh, bercanda elegan ala santriwati kalem."

Ustadzah Uhaira menahan senyum melihat ekspresi serius Maya yang seolah baru mendapat petuah hidup terpenting. Azzam yang berdiri di sampingnya melirik sekilas, sudut bibirnya nyaris terangkat.

Namun tak lama, Nadia berjalan mendekat sambil menenteng mukenanya. Senyum ramah menghiasi wajahnya, namun dalam hatinya ada rasa jengkel yang ia sembunyikan rapat.

"Masya Allah, Maya... suaramu sampai terdengar dari serambi depan. Luar biasa, andai semangatmu itu dipakai untuk hafalan, mungkin kamu sudah khatam dua kali ya," ujarnya dengan nada manis namun menyengat.

Teman-teman Maya langsung saling pandang antara ingin tertawa atau kabur dari situasi genting itu.

Maya mengedip pelan, lalu menatap Nadia dengan senyum lebarnya.

"Eh iya bener juga ya, makasih banget mbak Nadia atas sarannya. Tapi kan tiap orang punya bakat beda-beda, saya tuh bakatnya bikin suasana hidup, bukan bikin suasana tidur."

Rita yang berdiri di samping Nadia hampir tersedak menahan tawa, sementara Putri buru-buru menepuk bahu Rita agar tak terpancing.

Azzam hanya memijit pelipisnya pelan, mencoba menahan diri agar tidak tertawa mendengar jawaban Maya yang begitu polos tapi menohok.

Kiai Bahar berdeham kecil, “Sudah, sudah… kalian semua ini sama-sama santriwati yang baik. Jangan saling menyindir, nanti malah menimbulkan fitnah.”

Ucapannya disambut dengan anggukan cepat dari keduanya.

“Baik kiai,” jawab mereka hampir bersamaan, tapi pandangan mereka tetap saling menatap tajam seperti dua kucing siap bertarung diam-diam.

Ustadzah Uhaira menatap keduanya lembut, “Nah, setelah ini semua segera kembali ke asrama, bersiap untuk kajian malam nanti. Jangan sampai terlambat.”

Para santriwati pun berpencar.

Nadia melangkah lebih dulu dengan langkah anggun dan tenang, sementara Maya masih sempat berbisik pelan, “Duh, kalau tiap sarkas itu dihitung pahala, kayaknya si Nadia itu udah bisa naik kelas ke ustadzah.”

Dewi menahan tawa, “May, sumpah kamu itu nyawa pondok.”

Sementara Azzam yang sempat mendengar bisikan itu hanya menggeleng, namun di sudut bibirnya tampak seulas senyum samar. Dalam hati kecilnya, ia mengakui, seaneh dan serandom apa pun Maya, gadis itu membawa warna yang berbeda di pesantren Nurul Hikmah.

Namun entah kenapa, senyum di wajahnya perlahan memudar saat pandangannya tertuju pada Nadia yang berjalan menjauh. Ada sesuatu di balik tatapan gadis itu, sesuatu yang menekan dadanya tanpa sebab.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik lirih pada dirinya sendiri,

"Ya Allah, berilah aku hati yang tenang menghadapi ujian ini. Jangan biarkan rasa yang tak seharusnya tumbuh jadi fitnah."

Langit sore itu mulai merona jingga.

Di pesantren Nurul Hikmah, hari tampak berakhir damai, tapi di balik ketenangan itu, dua hati diam-diam mulai terombang-ambing oleh rasa yang belum sempat mereka pahami.

...****************...

Sementara itu di kediaman keluarga Arman Wicaksono.....

Alin tengah duduk dengan wajah ditekuk, bibirnya berulang kali mencebik kesal. Permintaannya untuk mengunjungi sang kakak kembali di tentang sang ayah.

"Pah, emang salah ya kalo Alin mau jenguk kak Maya? kok papah ngelarang mulu si," Alin menatap sang ayah intens.

Buk Rani tampak mengusap pundak sang anak, berusaha menenangkan nya. Pak Arman menatap balik wajah putri keduanya itu, lalu berdehem pelan sebelum berbicara.

"Papah kan sudah bilang, tunggu waktu libur papah! Lagipula Maya baru satu bulan disana ini belum masuk waktu jenguk, dan yang paling pasti papah tidak mau kamu memengaruhi nya untuk keluar dari pesantren," Pak Arman kembali fokus pada korannya.

Alin melotot tak percaya, "papah tuh selalu yah, Ayolah pah Alin ga bakal ajak kak Maya kabur."

Pak Arman menurunkan korannya perlahan. Suara desahan napas Alin yang kesal terdengar jelas di ruang tamu yang kini sunyi. Ia tahu, gadis kecilnya itu mewarisi sikap keras kepala dari Maya anak sulungnya itu.

“Alin cuma mau jenguk, bukan ngajak pulang kok! Masa papah tega liat anak papah kedinginan tiap sore di pesantren?” Alin kembali berargumen dengan nada penuh emosi, namun matanya mulai berkaca-kaca.

Buk Rani menatap suaminya lembut, “Pah, Alin cuma kangen sama kakaknya. Lagipula, kalau sekadar menjenguk tidak masalah kan? Kita bisa sekalian bersilaturahmi dengan kiyai Bahar di sana.”

Pak Arman terdiam cukup lama. Ia menatap wajah istrinya yang lembut lalu beralih pada Alin yang kini memeluk bantal di pangkuannya dengan wajah penuh harap. Dalam hatinya, ada sedikit rasa rindu juga pada Maya, walau gengsinya terlalu tinggi untuk mengakuinya.

Akhirnya ia berdehem pelan dan menegakkan tubuhnya.

“Baiklah,” ujarnya pelan tapi tegas.

Alin langsung menegakkan punggungnya, matanya membulat cerah.

“Serius, pah?! Jadi papah bolehin aku jenguk kak Maya?” serunya penuh semangat.

“Tapi—” suara Pak Arman menekan nada suaranya agar terdengar tegas.

“Papah dan mamah juga ikut. Sekalian papah mau adakan sosialisasi program bisnis baru papah di sekitar daerah pesantren. Jadi, ini bukan cuma urusan keluarga, tapi juga kerja.”

Alin langsung mengerucutkan bibirnya. “Alaaah, pasti ujung-ujungnya papah ngomongin bisnis lagi. Tapi gapapa deh, yang penting aku bisa ketemu kak Maya!” serunya sembari melompat kecil.

Buk Rani tertawa kecil melihat reaksi putrinya itu. “Ya sudah, nanti kita siapkan semuanya. Tapi jangan ganggu kegiatan di pesantren, ya Lin.”

“Iya maaah, janji deh. Aku cuma mau peluk kak Maya sebentar aja kok, udah sebulan gak liat diaaa,” jawab Alin manja.

Pak Arman tersenyum tipis,senyum yang jarang muncul belakangan ini. Dalam hati kecilnya, ia pun merasa ada sesuatu yang belum selesai antara dirinya dan Maya.

Barangkali, kunjungan ini bukan hanya sekadar silaturahmi... tapi juga awal dari percakapan yang telah lama tertunda antara seorang ayah dan anaknya.

.

.

✨️ Bersambung ✨️

1
Rian Ardiansyah
di tunggu part selanjutnya kak👍
Ayusekarrahayu
Ayooo bacaa di jaminnn seruuu
Rian Ardiansyah
di tunggu kelanjutannya nyaa kak
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
Ayusekarrahayu: sudah up ya kak
total 1 replies
Rian Ardiansyah
wowww amazing
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
Ayusekarrahayu: makasiii😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!