NovelToon NovelToon
Endless Journey: Emperors Of All Time

Endless Journey: Emperors Of All Time

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Fantasi Timur
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: Slycle024

Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.

Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.

Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehidupan manusia biasa bagian 2

Di teras rumah, Zhang Hao baru saja menutup bukunya. Ia berdiri, meregangkan tubuh yang kaku setelah lama berbaring. Menyadari hari mulai beranjak sore, ia membereskan buku-buku yang berserakan, mengunci pintu, lalu melangkah keluar rumah untuk menjemput adiknya.

Setelah dua puluh menit berjalan, pandangannya jatuh pada sekumpulan anak perempuan yang sedang bermain boneka dengan tawa riang, adiknya juga salah satu dari mereka. Namun, disisi lain, ia menangkap sosok berbeda: seorang anak perempuan duduk menyendiri di bawah pohon, memeluk erat boneka harimau berwarna putih di pangkuannya. Wajahnya datar, seolah dunia di sekitarnya bukan miliknya.

Hao merasa tertarik. Ia berjalan mendekat, lalu duduk santai di samping anak itu. Tapi pikirannya berputar, Bagaimana cara menyapanya? Sialan... aku belum pernah berada di situasi seperti ini.

Adiknya masih asyik bermain boneka, sementara Hao melirik gadis kecil di sampingnya. Hening terasa canggung.

Hao akhirnya memberanikan diri bertanya :“Boneka itu sangat lucu, kamu beli dimana?”

Gadis itu menoleh sekilas. Ekspresinya tetap datar, lalu kembali menatap bonekanya tanpa menjawab.

“Kamu tidak ikut main dengan mereka?” tanya Hao lagi, melirik kerumunan anak-anak yang tertawa riang.

Perlahan gadis itu menggelengkan kepala.

“Kenapa?” tanya Hao dengan canggung, suaranya lembut, “Kelihatannya lebih seru kalau bermain bersama.”

“Bising,” jawabnya singkat. “Aku tidak suka ramai.”

Hao terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Tapi kalau sendirian… bukankah terasa membosankan?”

Gadis itu mengusap kepala boneka harimau putih di pangkuannya, lalu mendesah, “Aku sudah terbiasa. Lagipula… aku tidak kenal mereka”

Ekspresi Hao seketika terasa kaku dan canggung. Ia ingin menjawab, tapi tak menemukan kata. Rasa kikuk membuatnya hanya diam.

Tiba-tiba gadis itu menoleh padanya. Tatapannya datar, namun di baliknya tersimpan kesedihan dan rasa kasihan yang sulit disembunyikan,

“Kalau aku ikut bergabung… mereka hanya akan menganggapku aneh. Paham?”

Ucapan itu jatuh begitu saja, tapi bagi Hao terasa menghantam. Kata-kata sederhana itu seperti batu besar yang menabrak pikirannya, meninggalkan perih seolah ia sendiri sedang diejek terang-terangan.

Keheningan terjadi di antara mereka.

Hao menarik napas pelan, lalu memaksakan senyum tipis. “Namamu,” katanya dengan nada yang lebih tenang, “boleh aku tahu siapa namamu?”

Gadis itu menatapnya lama, seolah menimbang perlu atau tidak menjawab. Tangannya masih erat memeluk boneka panda di pangkuannya.

“Kakak Hao! Mari pulang!” Teriakan Zhang Mei terdengar dari kejauhan. Hao pun berdiri, lalu berjalan menghampiri adiknya tanpa menoleh lagi ke arah gadis itu.

Beberapa saat kemudian, seorang gadis berusia sekitar empat belas tahun berlari kecil dengan wajah lega sekaligus cemas. Ia langsung menghampiri gadis kecil yang duduk di bawah pohon.

“Ah, akhirnya aku menemukannya. Ayo pulang, Ayah sudah akan segera kembali” ucapnya dengan lembut.

Mendengar suara itu, anak perempuan yang memeluk boneka harimau langsung berdiri tanpa banyak bicara, lalu berjalan pergi bersama kakak perempuan itu.

Gadis berusia empat belas tahun itu menoleh ke arah perginya Hao, lalu menatap adiknya, “Lanxing, siapa dia?”

“Hanya orang aneh” jawab gadis yang dipanggil Lanxing singkat.

Lalu mereka menaiki kereta dan menghilang.

---

Sebelum pulang, Zhang Mei menarik tangan Hao menuju pasar. Sore itu pasar sudah mulai ramai. Suara teriakan para pedagang bercampur dengan aroma rempah, sayuran segar, dan asap masakan dari gerobak pinggir jalan.

“Kak Hao, aku mau ini!” seru Zhang Mei, matanya berbinar sambil menunjuk permen warna-warni di sebuah gerobak kecil.

Hao tersenyum tipis. “Belilah.”

Zhang Mei manyun, lalu bergumam sedih, “Uangku cuma sedikit. Kalau aku beli ini, nanti aku nggak bisa beli yang di sana…”

Hao merogoh sakunya, lalu menunjukkan beberapa koin. “Lima koin emas, cukup?”

Mata Zhang Mei langsung bersinar lagi. Ia mengangguk cepat, lalu menyambar uang itu tanpa ragu. Dengan riang, ia berlarian dari satu gerobak ke gerobak lain, membeli berbagai macam barang kecil dengan semangat liar khas anak-anak.

Hao hanya menghela napas, bibirnya terangkat sedikit, membiarkan adiknya larut dalam kebahagiaan sederhana itu.

“Kak!” teriak Mei sambil kembali membawa sekantong penuh jajanan. “Kalau Ibu tahu aku menghamburkan uang, kira-kira marah nggak, ya?”

Hao menepuk kepalanya dengan ringan. “Yang penting tidak ketahuan, Paham?.”

Mei terkekeh kecil, lalu menyodorkan sepotong kue ke tangan kakaknya.

Saat itu, Hao merasa aneh. Di tengah keramaian pasar, ia sempat merasakan tatapan dingin mengarah padanya. Sekilas, di antara kerumunan, ia melihat seseorang berdiri diam, seolah memperhatikannya. Namun begitu ia menoleh lebih jelas, sosok itu sudah lenyap ditelan keramaian.

Hatinya bergetar halus, tapi ia memilih tidak berkata apa-apa pada Zhang Mei. Ia hanya menggenggam kantong jajanan yang diberi adiknya, melanjutkan langkah pulang sambil menyimpan perasaan tak nyaman itu dalam diam.

----

Matahari perlahan tenggelam di balik perbukitan.

Di halaman rumah, Zhang Mei menghabiskan semua camilannya dengan lahap. Di sisi lain, Hao duduk sambil membaca buku, sesekali tangannya bergerak meraih makanan yang tersisa dan memasukkannya ke mulut tanpa melepaskan pandangan dari halaman buku.

Setelah semuanya habis, Zhang Mei duduk tak jauh dari kakaknya. Ia menatap langit yang mulai gelap dengan wajah cemas.

Hao menutup bukunya, lalu menoleh. “Mei’er, kenapa? Sepertinya kau mencemaskan Ayah dan Ibu.”

Zhang Mei tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahannya. “Sedikit… meskipun bukan pertama kali, tetap saja rasanya cemas.”

Hao menarik napas, lalu berucap sambil menutup hidung pura-pura sebal. “Baiklah, lebih baik kau masuk dan mandi dulu.”

Zhang Mei langsung cemberut, mendengus kesal, lalu berlari masuk ke dalam rumah.

Hao terkekeh kecil melihat tingkah adiknya.

Setelah itu, ia mulai membereskan buku-buku dan sampah yang berserakan, kemudian menyapu halaman dengan tenang.

Saat matahari benar-benar tenggelam dan langit dipenuhi cahaya temaram, ia pun masuk ke dalam rumah, melangkah pelan menuju kamarnya.

----

Malam turun perlahan, membawa hawa sejuk ke dalam rumah. Lampu minyak di sudut ruangan berkelip dengan lembut, menebarkan cahaya kekuningan yang hangat.

Di kamar, Hao berbaring di ranjang kayu sederhana. Di sampingnya, buku-buku yang tadi ia baca tersusun rapi. Namun matanya belum juga terpejam. Ia menarik napas panjang. Kenapa tadi aku harus merasa tertarik dan menghampirinya? gumamnya dalam hati.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Hao tersentak, lalu berkata pelan, “Masuklah.”

Suara pintu berderit, dan muncullah Zhang Mei.

“KaKak Hao…” panggilnya dengan suara cemas. Ia berlari kecil menghampiri kakaknya. “Ayah dan Ibu belum pulang… aku takut sendirian.”

Hao menghela napas, lalu menepuk tempat kosong di sisinya. “Tidurlah di sini. Cukup pejamkan mata, besok mereka pasti kembali.”

Perlahan Zhang Mei memejamkan mata, tubuh kecilnya menggeliat mencari kehangatan. Hao mengelus rambut adiknya dengan lembut hingga ia benar-benar terlelap.

Dalam hati, Hao bergumam, Aku sungguh bingung… kenapa aku melakukan semua ini? Hidup di pemukiman manusia biasa memang damai, tapi tetap ada bahaya yang bersembunyi. Rumit sekali… Kalau saja ini hutan, hanya perlu bertarung, dan semua masalah selesai. Hah… sudahlah.

Pikirannya mengambang, lalu perlahan tenggelam ke dalam tidur. Malam itu, dua bersaudara itu beristirahat berdampingan, sementara dunia di luar sana angin malam terus berhembus.

***

Di suatu tempat yang sunyi, seorang pria berlari dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah, langkahnya mantap, efisien,dan sedikit terhuyung-terhuyung, namun ia terus memaksa tubuhnya bergerak.

Di belakangnya, beberapa individu berjubah hitam mengejar dengan kecepatan tinggi. Meski tingkat kultivasi pria itu jauh lebih tinggi dibanding para pengejarnya, luka yang dideritanya membuat kekuatannya merosot drastis.

Darah menetes di sepanjang jejak langkahnya, menandakan betapa parahnya luka yang ia tanggung.

1
誠也
7-10?
Muhammad Fatih
Gokil!
Jenny Ruiz Pérez
Bagus banget alur ceritanya, tidak monoton dan bikin penasaran.
Rukawasfound
Lucu banget! 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!