Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Aku, kamu, kita
Sayup-sayup suara burung hinggap di pendengaran Nara, perlahan ia membuka mata, kepalanya terasa pusing, pelan ia bangun dari tidurnya dan bersandar di dashboard ranjangnya.
Kembali mengingat apa saja yang terjadi semalam. Begitu semua isi kepalanya terkumpul, wajahnya kembali melemah, pikirannya kemana-mana. Apa yang salah pada dirinya?
“Dia memang orang baru yang dipaksa menikah dengan ku, entah apa alasannya dia menduakan ku bahkan sampai berbuat seperti itu. Sakit banget rasanya.” Ucap Nara menyentuh dadanya yang terasa nyeri belum kesudahan.
“Setelah kamu pulang, kita akan selesaikan semuanya, biar kamu puas bersenang-senang dengan wanita yang kamu inginkan itu.” raut wajahnya mengeras, kepalan tangannya menunjukkan urat yang begitu menonjol tanda emosi tengah memuncak.
Nara beranjak, ia akan menyegarkan tubuhnya dengan mandi air hangat dan melupakan semuanya.
*
*
*
Begitu Nara sampai diruang tengah, betapa terkejutnya ia, disana sudah ada Mahesa yang menyiapkan sarapan, tiga mangkok berisi bubur ayam dan tiga gelas air putih disampingnya.
“Sejak kapan kamu disini Sa?” Tanya Nara heran.
“Baru aja, tadi aku beli bubur dulu terus kesini, lagi males masak, terus pengen makan sama kamu dan Iden.” Jawabnya enteng, tersenyum sambil menunjukkan barisan giginya yang rapi.
Mahesa menarik kursi tempat untuk Nara duduk, “sekarang cinta ku duduk dulu, terus makan biar kuat menghadapi dunia yang suka bercanda ini.” Ucapnya enteng.
Nara memutar matanya, tapi bibirnya tersenyum miring, “cinta.. cinta apaan,” balasnya.
“aaaak.. buka mulutnya.” Mahesa menyeret mangkok bubur berniat ingin menyuapi Nara, dan menyodorkan satu sendok berisi bubur ayam yang sudah di aduk.
“Aku bisa makan sendiri Sa.” Nara menyodorkan tangannya mau mengambil alih mangkok bubur yang dipegang Mahesa.
Tapi Mahesa menggelengkan kepalanya, tangannya tetap menyodorkan sendok itu ke arah Nara.
Nara tak lagi menolak, mulutnya menganga menerima suapan dari Mahesa.
“Nanti bubur buat Iden dipanasi lagi kalo anaknya sudah bangun ya.” Ujar Mahesa lembut.
Nara memperhatikan cara Mahesa bicara dan memperlakukannya, rupanya cintanya tak semuanya sirna selama ini.
“Makan aja belepotan,” Mahesa mengusap bibir Nara pelan dan memasukkan ke dalam mulut sisanya, “manja banget ya.” Sambungnya.
“Kok di makan, kamu nggak jijik bekas aku?” Tanya Nara heran melihat tingkah Mahesa.
“Apapun yang ada di kamu semuanya aku terima, nggak ada kata jijiknya sedikitpun.” Balas Mahesa, mimik wajahnya serius.
Mahesa tersenyum ke arah Nara, pun sebaliknya, Nara juga membalas dengan senyum manisnya. Bak terasa baru saja jatuh cinta, rona malu-malu sangat kentara sekali diwajah mereka.
“Nanti kita jalan-jalan ke taman yuk, bawa Aiden main disana.” Ajak Mahesa, niatnya ingin menghibur hati Nara yang luka semalam masih begitu basah.
“Emm boleh.”
*
*
*
Mahesa menunjuk pedagang yang membawa gerobak di belakang motornya, “Iden mau beli kue itu?” Tanya Mahesa.
Sontak Aiden melihat kearah yang di tunjuk oleh Mahesa. Ia menganggukkan kepalanya, imut sekali.
Mahesa melepaskan tuntunan tangannya dan menggantikan dengan tangan Nara, senyum lembut Nara menghangat melihat sikap Mahesa ke Aiden.
Entah yang di lakukan Mahesa hanya ingin memcari perhatian Nara lewat Aiden atau memang murni ingin mendekati mereka berdua tanpa melihat status mereka sekarang seperti apa.
Intinya Nara membiarkan apa yang terjadi meski tak seharusnya, yang penting dia merasa nyaman, tenang dan bahagia, sekalipun bukan dari suaminya.
Pikirannya sudah terlanjur berantakan dan hatinya bak luka yang semakin di siram air panas. Biarkan urusan waktu dan takdir yang mengatur segalanya.
*
*
*
“Bagaimana enak kan?” Tanya Mahesa sambil menyuapi kue cubit rasa coklat pada Aiden.
Mata kecil Aiden berbinar, senyumnya lucu sekali, “yaa…” balasnya.
Meski masih belum fasih berbicara dan ucapannya masih cadel, tapi Aiden sudah mau di ajak komunikasi oleh Mahesa. Mungkin dirinya sudah merasa kenal, karna akhir-akhir ini sering melihat sosok Mahesa di dekatnya.
“Kalo Mama Iden mau beli makanan apa, biar aku belikan.” Ujar mahesa menggoda Nara.
“Eh, enggak aku nggak mau.” Elak Nara merasa malu.
“Nih pegang dulu punya Iden, di suapi dulu ya.” Mahesa beranjak dari kursi taman tempat duduknya.
Nara memperhatikan akan kemana Mahesa pergi, dan ternyata ke arah penjual gerobak telur gulung. Senyumnya mengembang, “eh emang dia mau belikan aku, kalo dia mau makan sendiri gimana, kok jadi gr begini.” Kata Nara heran sendiri.
Mahesa kembali, membawa sebungkus plastik berisi beberapa tusuk telur gulung di tangannya, “nih makan dulu biar kenyang, soalnya galau juga butuh tenaga.” Ucapnya sambil tertawa.
Nara mencebikkan bibirnya, “hobi banget ngegoda orang.” Ucapnya.
Mahesa tertawa kembali duduk di hadapan Aiden, memperhatikan bocah kecil yang tengah menikmati kue di tangannya.
*
*
*
“Kita mampir makan dulu ya, nanti tinggal masak buat makan malam aja dirumah.” Mahesa memutar stang mobilnya berbelok menuju parkiran restoran.
“Asal ngga ngerepotin kamu Sa.” Ujar Nara sedikit tidak enak hati.
Mahesa menahan senyumnya, “Kok baru sekarang yang kerasa ya, semalem aja ngerepotin, sampe baju ku basah, terus nungguin ibu ratu tidur dulu baru bisa pulang ke rumah.” godanya lagi.
Nara yang mendengar perkataan Mahesa merengut, bibirnya ia majukan mecucu andalannya.
Mahesa tak kuasa menahan kegemasan melihat wajah Nara, “nggak usah kaya gitu mukanya, nanti di unyel-unyel nggak terima.” Tawanya kemudian menggelegar, sebelum turun dari mobil.
*
*
*
“Makasih ya buat hari ini.” Begitu Nara turun dari mobil milik Mahesa.
Mahesa tersenyum hangat, “Aiden, nyenyak banget ya tidur.” begitu pandangannya beralih pada anak kecil yang di gendong Nara.
“Iya, ini emang udah waktunya dia bobok siang.” Balas Nara.
“Boleh aku main ke rumah mu nanti ya Ra?” Tanya Mahesa begitu berharapa.
Nara menyunggingkan senyumnya mendengar pertanyaan Mahesa, “Em… boleh-boleh aja sih.”
Mahesa tetap mempertahankan senyum manisnya, sengaja mengerlingkan sebelah matanya menggoda Nara, tampan dan menawan itu yang Nara lihat di hadapannya, senyumnya pun tak mampu ia tahan juga.
Bak anak muda yang baru puber dan mengenal cinta, keduanya seolah di mabuk asmara lagi.
Nara pulang ke rumah dengan nuansa hati yang lebih tenang, dia bahagia, senyumnya belum juga luntur membayangkan betapa baiknya Mahesa. Dia tetap dia yang dulu, yang selalu mengusahakan apa yang membuat Nara cukup.
*
*
*
Setiap kali Nara melihat foto yang terpajang di dinding rumahnya, seketika bulu kuduknya meremang soalah kejadian semalam yang ia saksikan terus berputar di ingatannya.
Wajahnya memerah kembali merasa di permainkan dan di hianati oleh suaminya, dia menunggu dengan sabar kehadiran suaminya, tapi kenapa kabar yang ia tunggu sekarang adalah hal yang paling ia benci.
Lekas ia mengambil semua foto dan menyimpannya di dalam lemari kayu di ruang tengah, biar pemandangan yang biasa matanya lihat tak lagi mengembalikannya pada luka yang paling membuatnya tersiksa.
“Kenapa fotonya di simpan disitu?”
Nara kaget, bukan karna takut tapi suara yang tiba-tiba ada tepat di belakang telinganya, tubuhnyapun terasa begitu dekat dengan tubuhnya sendiri.
Entah kapan Mahesa yang membuka pintu, Nara bahkan tak mendengar langkang kakinya masuk ke delam rumah.
“Ini terlalu menyakitkan Sa, biarpun pernikahan ku baru seumur jagung, tapi rasa sayang dan nyaman itu sudah pasti ada.” Lanjut Nara sambil memberesi semua foto.
Mahesa menggenggam tangan Nara, “apapun yang menurut mu baik, lakukan, aku akan mendukung mu.” Ucapnya tepat di sebalah pipi kanan Nara.
Nara diam memperhatikan wajah yang begitu dekat dengan wajahnya sendiri, melihat pahatan indah yang sangat ia rindukan, tampan satu kata yang keluar dari mulut Nara.
Mahesa menarik sudut bibirnya tersenyum menawan, dengan gerakan cepat ia memajukan wajah dan mengecup sebentar pipi Nara. Mahesa ingin melihat akan seperti apa respon Nara, marah atau sudah meluluhkan hatinya lagi untuk Mahesa.
~