Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. "Aku Baik-Baik Saja"
Ilma
Menurut gosip yang santer beredar di Lumina dan Rippa, Dio baru saja patah hati karena ditinggal menikah. Ia jelas tak percaya. Yang benar saja orang seperti Dio ditinggal menikah. Yang ada juga meninggalkan orang lain untuk menikah dengan Dio. Itu baru masuk akal.
"Meuni teu percanteun pisan (nggak percaya amat)," Muti -akuntan Rippa- mencibir.
"Tingali beungeutna (lihat wajahnya). Sararedih kitu (sedih begitu)," lanjut Muti yakin.
Kini ia jadi punya kebiasaan baru jika sedang berada di kantor Lumina, yaitu memperhatikan wajah -ganteng- bosnya dengan seksama.
"Ilma, saya minta cashflow pekan lalu," Dio berjalan menghampiri mejanya sambil membawa sebuah dokumen. "Sama tolong forward ke saya kondisi real petty cash dan saldo bank. Daily."
Kemudian Dio berlalu ke meja besar yang berada di tengah ruangan dimana anak-anak IT sedang berkutat di depan laptop masing-masing.
"Lif, tolong kerjain," ujar Dio sambil mengangsurkan dokumen yang sejak tadi dibawa.
Alif mengangguk, "Udah deal Mas?"
"Alhamdulillah," justru Fayyad yang baru masuk yang menjawab. "Deal! Target tiga hari ya Lif!" Fayyad mengacungkan jempol sambil berlalu masuk ke dalam ruang pimpinan.
"Tiga hari Mas?" Alif bertanya ke arah Dio.
"Target seminggu," jawab Dio sambil mendudukkan diri di sebelah Alif. "Hari ketiga tolong presentasi ke saya. Sebelum saya berangkat."
Alif tertawa, "Sama aja tiga hari Mas. Dua malah."
"Bisa, bisa!" Dio menepuk bahu Alif meyakinkan.
Alif mengangguk, "Kuusahain Mas."
"Sip!" Dio mengacungkan jempol, kemudian beralih memeriksa tugas Nanda yang duduk di sebelah kanannya. "Beres Da?"
"Dikit lagi Mas," Nanda menggeser sedikit layar laptopnya agar terlihat oleh Dio.
Sambil membetulkan letak kacamata Dio mulai memeriksa hasil kerja Nanda. "Lho, bukan begini," Dio mengernyit membuat Nanda menghentikan aktivitasnya.
Dio lalu mengambil alih laptop Nanda dan mulai menjelaskan apa yang harus dilakukan. Setelah menerangkan dan memberi contoh langsung selama hampir lima belas menit, Dio kembali teringat permintaannya tadi.
"Ilma? Mana yang saya minta tadi?"
Ia yang sedang memeriksa bukti pengeluaran jadi tergeragap. "I-iya Mas Dio. Gimana?"
Dio membetulkan letak kacamata sambil tersenyum, "Tadi saya minta cashflow."
"Oh, iya sebentar," ujarnya gugup. "Cashflow yang kapan ya Mas?" sambil tergopoh-gopoh memeriksa file kabinet berisi print out laporan keuangan.
"Yang terbaru, pekan lalu."
"Wah, Ilma ngelamun aja nih," seloroh Gerry yang duduk di paling ujung. Sedari tadi asyik di depan laptop, namun sekarang mulai ikut berkomentar.
"Ngelamunin apa sih Ma," seloroh Gerry lagi. "Yang dilamunin juga ada di depan mata," sambil mengerling kearah Dio.
Ini sih namanya bukan Dio yang sararedih (sedih) ditinggal menikah. Buktinya Dio masih tetap produktif bekerja. Malah ia yang jadi kontraproduktif, akibat kebanyakan menganalisa ekspresi wajah Dio.
"Henteu ah (enggak ah)," ia tak menyetujui pendapat Muti. "Biasa we teu katingal saredih (biasa saja tak terlihat sedih)."
"Ih, kamu mah kitu sok teu percayaan, (kamu sering nggak percayaan)," Muti mencibir. "Nih, aku udah tahu akun instagram mantannya Mas Dio," lanjut Muti setengah berbisik.
"Mana cing lihat?"
R. Anggiantisa
Locked
"Ini mantannya Mas Dio yang udah nikah duluan?"
Muti mengangguk yakin. "Sok lihat aja, Mas Dio masih follow nih cewek."
"Tapi ig nya dikunci. Nggak bisa kepo kita."
"Tong waka nyauran abi Muti (jangan panggil gue Muti)," Muti menepuk dada sambil mengangsurkan sebuah foto di layar ponsel. "Kalau nggak bisa dapat yang begini ini."
Ia mengernyit melihat foto lima orang dengan latar pantai. Salah satu diantara mereka adalah Dio. Berdiri di posisi paling pinggir sekaligus paling menarik perhatian.
Muti tersenyum bangga. "Ada followers Mas Dio yang ngetag, hasilnya foto ini nih."
Jika dilihat dari tanggal posting, itu hampir dua tahun yang lalu.
Kemudian Muti menunjuk seorang gadis yang berdiri tepat di sebelah Dio, "Kayaknya ini nih mantannya Mas Dio. Mirip sama profpict R. Anggiantisa."
Ia geleng-geleng kepala, " Maneh niat pisan sampai stalking."
"Habis penasaran," Muti tertawa.
Dan saat perpisahan akhirnya datang juga. Farewell party untuk Dio, yang beberapa hari lagi akan berangkat ke US.
Bertempat di Magna Books&Cafe yang terletak di bilangan Dago, tak jauh dari kantor Lumina. Memang sengaja di booking khusus oleh Fayyad dan Gerry untuk acara malam ini. Dengan dihadiri oleh personel Lumina & Rippa full team, acara bisa dipastikan akan berlangsung seru dan meriah.
Acara dibuka dengan ungkapan kesan dari semua yang hadir tentang Dio. Dimulai dari kesan yang cenderung sopan dan serius, sampai kesan yang lucu, aneh, absurd, serba nggak jelas, bahkan yang mempermalukan dan membuat dahi mengernyit, semua berkumpul menjadi satu. Diiringi derai canda tawa yang tiada henti.
"Kita disini bukan mau sedih-sedih lah ya," ujar Gerry begitu pembahasan tentang kesan selesai. Yang dengan penuh percaya diri mendaulat diri sendiri menjadi MC dadakan.
"Kita justru mau senang-senang, karena salah satu dari kita beberapa hari lagi akan mengarungi samudra demi menggapai cita."
"Kita doakan bersama semoga Tuhan senantiasa melindungi dan menyertai Dio dimanapun berada. Bisa menyelesaikan studi dengan baik, lancar, cepet kelar."
"AAMIIN," jawab anak-anak semangat, termasuk dirinya.
"Cepet balik lagi untuk membangun negeri."
Namun Gerry kembali melanjutkan, "Didoain cepet balik lagi nggak nih? Atau jangan-jangan mau pindah kewarganegaraan, stay disana?"
Yang ditanya hanya tertawa.
"Karena kalaupun pulang kesini juga percuma, malah bikin hati kembali hancur. Iya nggak sih?" sambung Gerry yang disambut tawa keras Fayyad, Fathir, dan Bonni. Dua nama terakhir adalah dedengkot Rippa.
Sementara Dio hanya menggelengkan kepala sambil masih tertawa.
"Yang pasti malam ini, kita nggak akan biarin lu sendirian Yo," ujar Gerry yakin. "Ibarat lu mau makan apa, mau minta apa, kita jabanin! Special untuk malam ini!"
Lalu Gerry melanjutkan, "Ya silahkan dipesan bagi yang ingin memesan. Sambil menunggu makanan datang, kita lihat yang satu ini."
Gerry mengambil gitar yang sudah disiapkan oleh Nanda, lalu mendudukkan diri di kursi yang ada di tengah panggung, dan mulai memetik intro sebuah lagu.
Tepuk tangan menggema.
'Indah
Terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
Namun bila
Itu semua dapat terwujud
Dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang pernah terbayang
Menyatukan perasaan
Tetaplah menjadi bintang dilangit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita
Berdua
(Padi, Kasih Tak Sampai)
Tepuk tangan kembali menggema usai Gerry menyelesaikan lagunya.
"Elah, lagunya melow amat!" Bonni maju ke tengah panggung. "Gua coba sini," ujar Bonni sambil meraih gitar dari tangan Gerry.
"Lanjut bro!" Gerry kemudian berpindah duduk diantara Dio dan Fathir, memperhatikan Bonni yang mulai memetik gitar.
'Aku tak mengerti apa yang kurasa
Rindu yang tak pernah begitu hebatnya
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu
Aku persembahkan hidupku untukmu
Telah kurelakan hatiku padamu
Namun kau masih bisu diam seribu bahasa
Dan hati kecilku bicara
Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk seluruh hatiku
(Dewa, Pupus)
Selama Bonni melantunkan lagu, ia melihat Gerry, Fayyad, dan Fathir tertawa-tawa kearah Dio. Sementara Dio hanya menggelengkan kepala berkali-kali.
"Wah, masa lagunya kayak gini semua sih!" kini giliran Fayyad yang maju ke depan. "Nggak bener ini."
Namun Gerry, Fathir, dan Bonni justru tertawa-tawa. Sementara anak-anak yang lain ikut tersenyum melihat Dio habis di ceng ceng in teman-temannya.
"Ya semoga saja nanti pulang ke Indonesia udah siap ya Yo," lanjut Fayyad.
"Siap apa dulu nih?" Gerry berteriak, kembali memancing di air keruh.
"Siap semuanya lah....," Fayyad jelas senang karena ocehannya ada yang menanggapi. "Terutama siap melupakan sakitnya ditinggal kawin."
Lalu seantero ruangan tertawa. Kecuali mereka, cewek-cewek, yang hanya bisa tersenyum-senyum melihat Dio salah tingkah.
"Gimana bro, udah sebulan nih, masih nyesek nggak?" Gerry mendadak maju ke depan meraih microphone yang dipegang Fayyad.
Dio mengacung-acungkan telunjuk ke arah panggung sambil menggelengkan kepala.
"Ya lah, kita doakan bersama, semoga Dio bisa cepat move on," ujar Fayyad lagi. "Sorry man, kapan lagi bisa bully elo habis-habisan kalau nggak sekarang."
Disusul gelak tawa semua yang ada disana, kecuali cewek-cewek yang sibuk kasak kusuk sendiri. Ia yang sebenarnya sedang memperhatikan reaksi Dio yang terus saja menggelengkan kepala sambil mulut membentuk kode no no no, jadi tertarik.
"Apaan Ge?" ia bertanya kepada Gea yang duduk di sebelahnya.
"Tuh kan bener, Mas Dio habis ditinggal nikah," namun justru Muti yang menjawab. "Aku bilang juga apa."
"Ini nemu ig rivalnya Mas Dio," jawab Gea sambil menunjukkan layar ponsel.
Ia membaca nama yang disebelahnya terdapat centang biru itu, Syailendra Darmastawa.
"Saingannya bukan kaleng-kaleng sih."
"Kok bisa centang biru? Padahal postingan cuma puluhan biji."
"Banyak followersnya. Anak hits Jogja mungkin."
"Eh, bentar, kok kayak pernah lihat nih cowok ya."
"Dimana?"
"Wajahnya plek ketiplek sama pelaku skandal kampus biru yang sempat viral kemarin tea."
"Ah, masa sih?! Coba lihat."
"Emang good looking sih."
"Siapa sih ini? Selebgram?"
"Rivalnya Mas Dio...."
Di atas panggung cowok-cowok masih saja terbahak-bahak entah kali ini membahas apa. Sementara barisan cewek sibuk membahas hasil stalkingan ke akun sosmed rivalnya Dio.
"Ya nggak Thir?" saat ia kembali melihat kearah panggung, Gerry sedang memanggil Fathir. "Lo bantuin dong si Dio membangun rumah. Sekalian sama tangganya. Biar lengkap, rumah....tangga. Biar cepet move on gitu."
Anak-anak lain kembali riuh rendah. Waduh, ternyata masih membahas hal yang sama.
"Loh, salah gue apa?" Gerry pura-pura bertanya. "Bener kan biasanya kalau pulang dari luar tuh orang-orang langsung berubah keren-keren semua. Bisa bikin project ini, project itu. Bangun ini bangun itu, beli ini beli itu."
"Khusus Dio, nanti kalau pulang langsung bangun rumah tangga. Oke setuju Yo??"
"Huuu....."
"Belum juga berangkat, udah bahas pulang!" teriak Fayyad yang sedang asyik menyetel bass bersama Nanda dan Bonni.
"Ah elah, gua bukannya sirik. Ini real life!" Gerry membela diri. "Oke Yo! Malam ini kita seru-seruan. Biar lo punya kenangan indah sebelum dua tahun ke depan menderita di negeri orang," lanjut Gerry tergelak.
Anak-anak kembali riuh rendah.
"Ayo dong, yang punya hajat tampil!" Bonni yang sudah siap di belakang drum memanggil Dio.
"Persembahan terakhir Yo!" teriak Gerry yang sudah siap dengan bass-nya. "Ah elah, kesannya nggak enak banget didengerin, persembahan terakhir," lanjut Gerry tertawa. "Persembahan spesial Yo. Come on!"
Alif, Bumi, dan anak-anak Lumina yang lain mulai menarik tangan Dio agar maju ke atas panggung. Dan sambil terus menggelengkan kepala, Dio akhirnya maju ke atas panggung.
Dengan posisi Bonni drum, Gerry bass, Nanda gitar, dan Dio keyboard, mereka berdiskusi di atas panggung. Tak lama kemudian mengalunlah suara bass dan keyboard dengan nada menghentak. Disusul Dio sendiri yang bernyanyi.
'Hm getaran dirimu hangat terasa
Kau bawa secercah sinar abadi
Dan kuterbuai dalam langkahmu oh
Dan janjimu
Kan tetapi kini kau semakin menjauh
Kau selalu terbayang (oh nirwana)
Di dalam cintaku (yang telah berlalu)
Kau selalu berharap (berharap)
Di dalam cintaku (kembali)
(GIGI, Yang Tlah Berlalu)
Mereka yang duduk berjejer dalam satu baris terpesona melihat penampilan Dio. Terutama dirinya. Dio bernyanyi sambil memejamkan mata, seolah begitu menghayati tiap liriknya. Terlihat berusaha keras menghilangkan gundah yang ada.
Dan kuterhanyut dalam mimpiku
Oh naungkan rindu
Kuterlingkuh dalam pelukan dirimu
Kau selalu terbayang (oh nirwana)
Di dalam cintaku (yang telah berlalu)
Kau selalu berharap (berharap)
Di dalam cintaku (kembali)'
(GIGI, Yang Tlah Berlalu)
Semakin malam acara nyanyi-nyanyi dan makan-makan semakin seru. Hampir semua tampil. Termasuk mereka, geng cewek-cewek. Entahlah ya seperti apa penampilan mereka, mungkin justru memalukan. Tapi yang penting semua bersuka cita dan tersenyum senang.
Tepat pukul 21.50 acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Alif, satu-satunya anak Lumina yang sebelum masuk Ganapati, merupakan alumni salah satu pesantren terbaik yang ada di Bandung.
Dan ia yang hendak memesan Taxi Online justru ditahan oleh Gerry, "Eh, Ilma, pulang sama siapa?"
"Pakai Taxi Online Kak."
"Wah, jangan," sergah Gerry. "Udah malam. Diantar aja."
"Wah, nggak usah repot-repot Kak," tolaknya halus. "Biasanya kalau habis rapat di kampus trus pulang malam malah pakai angkot," ia tertawa. Kali ini ia harus naik Ojol karena tidak ada angkot yang langsung menuju daerah sekitar rumahnya.
"Nggak repot lah. Iya kan Yo?!" Gerry mengerling kearah Dio yang masih ngobrol dengan Fathir dan Bonni.
"Nih mobil kantor, lu aja yang bawa," lanjut Gerry sambil menyerahkan kunci mobil ke tangan Dio. "Motor lu gua yang bawa."
Dan kini, ia telah duduk di samping Dio, melewati padatnya lalu lintas Dago di malam minggu.
"Bunganya kakak....."
"Silahkan kakak....."
"Bonekanya kakak....."
Puluhan penjual menawarkan barangnya saat mereka berhenti di lampu merah. Ia dan Dio hanya saling melempar senyum ketika mobil yang mereka naiki dikerubuti oleh penjual dengan aneka macam barang.
"Zidni apakabar?" Dio memecah kesunyian setelah mereka melewati lampu merah.
"Baik Mas," ia tersenyum.
"Jadi ambil yang kemana?"
"Applyan belum ada yang lolos. Terakhir yang ke Melbourne belum juga. Mungkin mau kerja dulu. Kemarin sempat interview di beberapa tempat."
Dio mengangguk-angguk. Dan sepanjang sisa perjalanan Dago - Setiabudi yang padat merayap, mereka hanya sesekali bicara basa basi. Selebihnya diam seribu bahasa.
"Nanti enakan lewat Gerhil ya?" tanya Dio ketika mereka sampai di depan Borma Setiabudi.
Ia mengangguk. "Iya Gerhil, nanti lewat gerbang utama aja Mas."
Dio mengangguk-angguk.
Namun begitu Dio membelokkan kemudi ke kiri memasuki Jalan Gegerkalong Hilir, kepadatan tak terhindarkan. Mobil mereka bahkan stuck di tempat tak bisa bergerak sedikitpun.
"Ada apa nih?" Dio menegakkan punggung mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan sana.
Ia mendadak menepuk dahinya teringat sesuatu, "Aduh, aku lupa Mas, maaf."
"Kenapa?"
"Ada pekerjaan galian kabel di depan Telkom. Kayaknya macetnya sampai sini," ia meringis merasa tak enak karena benar-benar lupa. Padahal mereka bisa lewat jalan lain untuk menghindari kemacetan.
"Mana malam minggu pula," keluhnya semakin merasa tak enak karena mobil mereka tak juga bergerak. "Pasti macet."
"Bukannya macet karena pertigaan yang mau ke Cipedes ya?" tebak Dio sambil matanya melihat jauh ke depan.
"Itu juga. Jadi tambah-tambah macetnya," ia meringis.
"Ada jalan lain nggak?"
Ia melihat ke jendela samping, mereka baru sampai di depan Sari Bundo.
"Lewat Gerlong Tengah aja Mas, kalau putar balik nggak mungkin kan."
Dio melirik kearah spion, terlihat antrian mobil mengular di belakang mereka.
"Gerlong Tengah terus DT gitu?" Dio mulai menyalakan lampu sign kanan.
"Iya," ia mengangguk. "Nanti baru ke Pak Gatot....terus Abadi," lanjutnya sambil menyebut alamat rumahnya.
Dio kemudian membelokkan kemudi ke kanan, memasuki Jl. Gerlong Tengah yang sempit. Namun baru sampai di depan Pasar Gerlong, mereka kembali mendapati antrian kendaraan.
"Wah, ada apa ya?" ia mulai gelisah. Merasa tak enak karena hari semakin malam. Diliriknya jam digital di dashboard mobil, 22.30. Aduh, beginilah kalau jalan di Bandung saat weekend, macet bahkan sampai ke jalan-jalan kecil.
"Apa semua orang ini mau ke Lembang?" keluhnya. Untuk daerah Setiabudi keatas, weekend identik dengan kemacetan yang menggila. Saking banyaknya wisatawan yang hendak pergi ke Lembang tiap akhir pekan.
"Malam minggu ada pengajian nggak di DT?" tebak Dio.
"Biasanya malam Jum'at sih yang crowdit," ia semakin gelisah karena laju kendaraan hanya bisa semeter dua meter.
Akhirnya setelah melalui antrian kendaraan yang padat merayap selama hampir 10 menit, sampailah mereka di Jl.Gerlong Girang, yang ternyata justru semakin padat.
Barisan mobil memanjang dari ujung ke ujung sama sekali tak bisa bergerak.
"Maaf Mas, ternyata disini macet juga," ia meringis.
Namun Dio hanya tersenyum, "Nggak papa. Udah dekat ke rumah kamu kan?"
Ia mengangguk.
Ketika mobil mereka tertahan di depan MQ Guest House, Dio membuka kaca jendela dan bertanya kepada satpam yang sedang membantu mengurai kepadatan. "Ada apa macet begini Pak?"
"Ada pemberangkatan jama'ah umroh," jawab satpam tersebut sambil meniup peluitnya memberi aba-aba kepada kendaraan yang menghalangi jalan untuk segera melaju agar kemacetan bisa terurai.
"Sebentar juga selesai A," lanjut satpam tersebut. "Ini lagi padat-padatnya pas kedatangan pengantar jamaah."
Dio mengangguk-angguk.
Hampir 20 menit waktu mereka dihabiskan untuk menyusuri Jl. Gerlong Girang yang padat. Setelah belok ke Jl.Pak Gatot Raya barulah mobil bisa berjalan normal.
"Belok kanan Mas," ujarnya memberi petunjuk saat mobil melewati lapangan KPAD.
Finally, setelah menempuh perjalanan hampir 1 jam lebih dari Dago ke Abadi, sampailah ia di depan rumah.
"Makasih Mas," ia tersenyum mengangguk.
"Sama-sama," balas Dio sambil membuka seat belt yang dipakai.
"E....Mas mau kemana?" ia mengernyit melihat Dio membuka pintu mobil dan keluar.
"Nganterin kamu sampai masuk ke rumah," jawab Dio. "Udah malam begini baru pulang. Nggak dimarahi sama orangtua kamu?"
***
Dio
Ia tersenyum sendiri melihat kemacetan yang mengular sejauh mata memandang. Gelapnya malam justru terasa makin semarak dengan pendaran cahaya warna putih, kuning dan merah yang berasal dari puluhan lampu sorot mobil dan rem yang menyala secara bersamaan.
Sambil menunggu antrian kendaraan yang bergerak pelan, ia mulai mengatur playlist pilihan melalui audio mobil. Dan yang pertama mengalun adalah,
'Hm getaran dirimu hangat terasa
Kau bawa secercah sinar abadi
Dan kuterbuai dalam langkahmu oh
Dan janjimu
Kan tetapi kini kau semakin menjauh
Kau selalu terbayang (oh nirwana)
Di dalam cintaku (yang telah berlalu)
Kau selalu berharap (berharap)
Di dalam cintaku (kembali)
(GIGI, Yang Telah Berlalu)
Apa yang baru saja ia alami membuatnya berpikir, apakah ini yang dinamakan takdir sudah digariskan? Apapun jalan yang dipilih muaranya tetap sama.
Seperti tadi saat ia mengalami kemacetan di Gerhil, lalu memilih melewati jalan alternatif, namun tetap terjebak macet. Ujung-ujungnya melalui waktu tempuh yang hampir sama seperti jika tetap memilih melewati Gerhil.
Sama seperti dirinya. Apapun jalan yang dipilih muaranya tetap sama. Ia dan Anggi tak mungkin bersama. Begitu kah?
Andai dulu ia tak melepaskan Anggi. Andai dulu ia tak mencari Rendra. Andai dulu ia tak menulis note someone needs ur help. Andai dulu ia tak mengatakan "take care of her" kepada Rendra. Andai dulu ia dan Anggi tetap bersama. Meskipun ia lakukan itu semua, ujungnya apakah akan tetap sama seperti saat ini? Mereka tak bersama.
Mungkinkah Rendra ibarat kemacetan yang ia lewati tadi. Meski sudah berusaha menghindari kemacetan namun tetap bertemu kemacetan yang lain. Jadi, meski ia dan Anggi tetap bersama, Rendra pasti akan tetap muncul diantara mereka, bagaimanapun caranya. Begitukah yang dimaksud dengan takdir bekerja? Benar kah?
Sekeras apapun ia berusaha agar selalu bersama Anggi, memilih jalan yang berbeda, namun jika sudah suratan takdir dari Yang Maha Kuasa, manusia bisa apa? Selain menerima semua ketetapan dengan lapang, dan meyakini bahwa ini adalah yang terbaik untuk semua. Untuknya, untuk Anggi, untuk Rendra.
Bibirnya semakin menyunggingkan senyum. Hatinya mulai lega. Sudut-sudut yang sempat goyah, kini semakin menguat. Rasa hampa yang awalnya menguasai, perlahan berangsur sirna. Beban dan penyesalan yang menggelayut, buyar menguap di udara.
Playlist terus bergerak, sementara mobil yang dikendarainya masih merambat pelan menembus gelapnya malam.
'Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang t'lah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku
Selama mata terbuka
Sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu untuk mengenangmu
Darimu 'ku temukan hidupku
Bagiku kaulah cinta sejati
Bila yang tertulis untuk ku
Adalah yang terbaik untukmu
Kan 'ku jadikan kau kenangan
Yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidup mu
Yang t'lah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah'
(Samsons, Kenangan Terindah)
"Selamat tinggal Anggi," bisiknya dalam hati sambil tersenyum lega.
"Bahagialah selalu."
"Bahagiamu, bahagiaku juga."
"Aku baik-baik saja."
***
Keterangan :
Gerhil. : jalan Gegerkalong Hilir
DT. : Daarut Tauhiid, sebuah pesantren yang terletak di jalan Gegerkalong Girang
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu