NOTE!
-Mengandung beberapa cerita dewasa/adult romance. Mohon bijak!
-Kalau cerita mulai tidak jelas dan dirasa berbelit-belit, sebaiknya tinggalkan. (Jangan ada komentar buruk di antara kita ya) Hiks!
Pantaskah seorang pria dewasa atau terbilang sudah matang, jatuh cinta dengan gadis di bawah umur?
Dia Arga, saat ini usianya sudah menginjak 26 tahun. Dia pria tampan, penuh kharisma dan sudah mapan. siapa sangka, pria sekeras Arga bisa jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih berumur 15 tahun?
simak kelucuan dan kemesraan mereka!
Writer : Motifasi_senja
Mohon maaf jika ada kesamaan beberapa nama tokoh yang sama. 🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Motifasi_senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Album kenangan
“Apa malam ini nyonya akan istirahat disini?” tanya bodyguard nya.
“Iya, Ini sudah larut malam jika harus pulang ke rumah, mungkin mereka juga sudah tidur.” Jawab Meri. Ia melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Kau boleh keluar.”
“Baik Nyonya.” Bodyguard nya mengangguk kemudian keluar dari apartemen Meri.
Meri belum berencana untuk tidur. Matanya masih terasa sulit untuk di pejamkan. Ia berdiri dari posisi duduknya, menghampiri satu barisan buku yang tertata rapi di rak kayu besar. Ia menarik jari telunjuknya, mengurut dari ujung kanan hingga berhenti di tengah. Berhenti pada sebuah buku album berwarna merah marun. Meri menarik nya keluar dari barisan, membawanya duduk di tengah ranjang. Kaki nya bersila, dan jemarinya mulai membuka lembaran pertama. Wajahnya tersenyum ketika matanya langsung tertuju pada satu foto dimana Ia masih memakai seragam SMA. Foto yang sangat lama sekali.
Meri membuka lembaran ke dua. Disana terlihat saat dirinya tampil cantik dan elegan saat menjadi ratu sehari di dalam pernikahannya. Kala itu saat bahagia, apalagi semua sahabatnya datang untuk memeriahkan acara itu. Dan di situlah Meri mulai menitikkan air mata. Beberapa hari setelah pernikahannya, usaha Suaminya tiba tiba saja bangkrut. Semua harta benda di sita karena tuduhan telah menggelapkan beberapa uang perusahaan.
Sampai di lembaran ke enam, Meri mengusap nya lembut dengan telapak tangan. Sebuah foto terakhir sebelum berpisah dengan sahabat baiknya.
“Kau bawalah ini, kau sangat membutuhkan nya.” Ucap sahabat nya. 3 gepok uang ratusan ribu rupiah Ia letakkan di telapak tangan Suami Meri. Uang yang jumlahnya terbilang lumayan banyak, dan itu sangat cukup untuk membuka usaha dan biaya hidup beberapa bulan di sana.
“Tapi, ini terlalu banyak.” Jawab Meri berusaha mengembalikan uang itu. Di sampingnya sudah ada 2 koper untuk di bawa untuk memulai hidup baru di luar Negri.
“Tidak, sekarang kau lebih membutuhkan uang itu, bawalah! Aku ikhlas.” Pintanya lagi.
“Tapi Rik, Aku takut merepotkanmu.” Ucap suami Meri pada Erik.
“Balas lah jika Kalian sudah sukses kembali.” Erik tersenyum memandang mereka bergantian.
Erik menggenggam lengan Susi istrinya yang juga ikut andil dalam uang itu.
“Iya Kak, bawalah, Kalian sangat membutuhkan uang itu.” Ucap Susi.
Semua itu tak akan pernah Meri lupakan. 5 tahun hidup di negara orang sudah membuatnya sukses kembali. Setidaknya sudah bisa memiliki perusahaan sendiri walaupun belum sebesar perusahaan lain.
Meri menutup buku album kenangan itu. Ia letakkan di atas meja, lalu berbaring menarik selimut menutupi tubuhnya yang lelah.
“Seandainya Kalian masih hidup, Mungkin Kita bisa menjodohkan cucu kita, tapi sayangnya aku tidak tahu kabar keluargamu setelah kepergianmu dan istrimu, Aku hanya dengar bahwa kau punya cucu perempuan.”
Meri mendesah. Nafasnya teratur dengan mata terpejam. Pertemuan dengan seseorang tadi belum membuahkan hasil. Tapi setidaknya informasi tentang alamat perusahaan Erik sudah di ketahui letaknya.
“Kau menelepon, aku langsung kemari. Jadi langsung bicara saja.” Perintah Meri. Ia duduk dengan memangku ke dua telapak tangannya.
Di depannya sudah berdiri seseorang yang terlihat seumuran dengan nya. Wajahnya masih terlihat gagah, apalagi di padukan dengan tampilannya yang sangat elegan dengan setelan jas berwarna ungu gelap. Ia tersenyum ramah, lalu duduk di kursi kosong.
“Apa Kau tidak mau menanyakan kabarku terlebih dahulu?” ucapnya lembut. Senyum khas nya masih terlihat sama dari 30 tahun yang lalu.
“Aku buru-buru, dan sangat sibuk.” Sepertinya Meri masih cuek. “Cepatlah Tian! Aku sudah jauh jauh datang kemari. Aku tak mau basa basi.”
Namanya Tian. Itu yang di sebut Meri. Dengan senyum getir akhirnya Tian mendesah. Sifat cuek Meri pada diri nya tak berubah masih sama seperti dulu.
“Aku akan membantumu, tapi kau tetap cuek padaku. Itu sangat tidak sopan.” Hardik Tian berharap Meri akan lebih lembut.
“Ya baiklah.” Desah Meri. “ sekarang ceritakan pada Ku apa yang Kau tahu.” Meri sudah menoleh menatap Tian.
“Perusahaan itu sekarang di pimpin oleh Agus. Ya... sekitar 3 bulan yang lalu, tak lama setelah kecelakaan itu terjadi.” Jelas Tian.
Ucapannya lirih pada kata terakhirnya. Kalau mengingat kejadian itu, rasanya sangat terpukul. Mereka berdua adalah anak kesayangan Erik yang sangat di banggakan untuk menjadi penerus perusahaannya. Tapi siapa yang tahu, hidup mereka berakhir dengan sangat tragis.
“Agus? Siapa Agus?” Meri berkerut dahi. Sepertinya tak kenal dengan nama itu.
“Ipar dari Joanda, atau suami dari adik istri Joanda.”
“Kenapa berbelit sekali.” Keluh Meri. Ucapan Tian sangat membingungkan dirinya.
“Lalu aku harus menjawab bagaimana? Memang seperti itu.”
“Ya oke.” Meri mengangguk. “Lalu bagaimana caranya supaya Aku bisa masuk ke perusahaan itu tanpa di curigai?” Meri mengharap solusi.
“Kau tak perlu bertanya itu padaku, kau kan cerdas, Kau tak perlu usul atau ide dariku.” Papar Tian. Ia berdiri. “Ya sudah, Aku balik. Senang bertemu denganmu lagi.” Tian membungkuk lalu berpaling dan masuk ke dalam mobil.
Meri menghela nafas. Tian sudah pergi. Kini otaknya harus memutar untuk mencari cara untuk masuk tanpa di curigai oleh pemilik Joanda Group yang sekarang.
Pertemuan nya dengan Tian siang tadi, setidaknya bisa menghapus rindu dan membuka peluang untuk segera menemukan cucu dari Erik.
***
Ting tong!
Bel rumah berbunyi. Minah yang sedang menyapu lantai langsung buru buru membuka pintu. Satu pintu sudah terbuka, Ada seseorang yang berdiri disana. Badannya tinggi sekitar 170 cm, rambutnya pendek di atas leher jenjangnya, hanya bagian poni yang sedikit gondrong. Ia memakai kaos berbalut jaket kulit di padukan dengan celana jeans model sobek.
“Maaf Anda siapa, tuan?” tanya Minah.
Si tamu tersenyum. “Maaf Saya perempuan.”
Minah terpekik. Ia kembali mengamatinya dari atas ke bawah. Sepertinya matanya tidak rusak.
Benarkan dia seorang wanita?
Mata Minah terhenti di bagian tengah. Terlihat ada 2 gundukan yang tak terlalu menonjol disana. “Benarkah ini wanita?” batin Minah lagi.
“Lalu siapa nama anda?”
“Fani.”
Betul! Suaranya memang jelas wanita.
“Mau bertemu dengan siapa Nona?”
“Mona, Ada?”
“Ada, Silahkan masuk, saya panggilkan.”
Fani masuk ke dalam. Duduk di sofa ruang tamu menunggu Mona. “Besar sekali rumah nya.” Gumam Fani.
“Siapa dia, Minah?” tanya Santi. Ia melihatnya dari balik rak kaca. Jemari kanannya masih memotong kuku kelingkingnya.
“Teman Nona Mona, Nyonya...”
Teman? Apakah dia pacar Mona? Sepertinya tampan. Tapi tunggu! Mona belum cukup umur untuk berpacaran.
Santi meletakkan pemotong kuku yang di pegangnya di atas rak lalu menghampiri Fani yang tengah duduk dengan kaki sedikit terbuka khas anak lelaki.
“Maaf, kau siapa?” tanya Santi.
“Pagi Bibi...”
Tunggu! Kenapa suaranya terdengar seperti perempuan?
“Perkenalkan nama saya Fani, teman Mona.”
Santi menutup mulutnya. Tampilan gadis ini sungguh membuatnya terkejut.
“Oh I...iya, Mona sedang di panggil, Ka... kau tunggu saja dulu.” Ucap santi terbata bata. Ia kembali masuk ke dalam.
“Kau ini kenapa? Seperti habis melihat hantu saja.” Tanya Hutomo ketika melihat Santi yang baru saja duduk dengan mulut di tutup sementara bola mata membulat besar.
“Disana ada teman Mona, kau lihat saja sendiri.” Jawab Santi.
“Oh, ya sudah biarkan dia menunggu Mona.”
Santi sepertinya masih syok dengan apa yang baru saja Ia lihat. Bahkan Ia bergidik ngeri hingga membuat Hutomo bingung.
“Pagi Ayah, Ibu...” Sapa Mona.
“Pagi sayang, Kau mau pergi?” tanya Santi.
Mona terlihat sangat rapi. Badannya juga sudah wangi. Backpack kecil pun sudah menempel di punggungnya.
“Iya Ibu, ini kan hari minggu, Aku ingin jalan jalan, Boleh kan?” ucap Mona.
“Sarapan lah dulu, ajak temanmu ikut makan.”
“Baik Bu...”
Ada ada saja memang tampilan wanita jaman sekarang. Kenapa bisa begitu ya? Bahkan wajahnya terlihat tampan. Santi bergidik kembali, Lalu menyuap makanannya.
“Pagi Paman, Bibi...” sapa Fani. Mona sudah membawa nya masuk ke ruang makan.
Mulutnya berhenti mengunyah. Mata Hutomo terpaku dengan tampilan teman Mona. Dia sudah tahu Dia seorang wanita. Terdengar jelas dari suaranya yang melengking.
Kau kaget kan hai Suami Ku? Apa lagi Aku.
“Pagi... Mari duduk, Ikut sarapan.”
“Ayo Fani! Kita makan dulu.” Mona menarik kursi, Menarik Fani untuk duduk.
“Ah Iya.”
Dentuman sendok dan piring berbunyi teratur. Tak ada yang bicara disana. Mereka hanya menikmati sarapan pagi ini. Hanya saja Hutomo terkadang melirik gadis yang duduk di samping Mona.
Tunggu! Dia bulan LGBT kan?
Hutomo menyimpulkan sesuatu. Pikirannya sampai kemana mana hanya karena teringat berita heboh di TV tentang hubungan terlarang sesama wanita yang pernah di ceritakan Santi pada nya.
“Pagi.” Sapa Arga. Ia datang mendekati meja makan. Tangan kananya mengambil satu butir buah apel.
“Pagi sayang.” Jawab Santi.
Hutomo sudah selesai makan. Ia berdiri dan masuk ke kamar lagi. Hari ini Ia akan pergi menemui Meri di apartemennya. Entah ada urusan apa tapi sepertinya sangat penting.
“Ibu Aku pergi dulu, Ayo Fani kita pergi.” Mona berdiri menarik lengan Fani yang masih mengunyah makanan. Pundak nya sempat menyerempet Arga.
“Makananmu belum habis sayang!” teriak Santi. Tetapi mereka berdua sudah tak terlihat.
Minah yang mengetahui ada apa dengan Mona hanya geleng kepala. Lalu membereskan sisa makanan Mona dan Fani di atas meja.
“Kau tidak kemana mana hari ini?” tanya Santi pada Arga.
“Tidak.” Arga duduk di sofa ruang keluarga. Apelnya hanya tinggal satu gigitan lagi.
“Oh iya Bu, Nenek dimana?” tanya Arga.
Hutomo yang sudah rapi dengan baju kemeja dan celana hitam menjawab. “Nenek di apartemen, semalam tidur di sana.”
“Aku pergi dulu.” Hutomo mencium kening Santi yang masih setia dengan makanannya di atas piring.
Santi mencium punggung telapak tangan Hutomo. “Hati hati.”
Hutomo sudah berlalu.
“Ayah pergi kemana Bu? Ini kan hari minggu.”
“Pergi menemui Nenekmu.”
“Oh.”
Ponsel di sakunya bergetar. Arga merogohnya. Menggeser layar. Terlihat gambar seseorang yang sudah tak asing lagi.
“Ada apa?!”
“Temui Aku di restoran biasanya.” Jawab Dion.
Arga menghela nafas. Menyenderkan tubuhnya di sofa. “Ada perlu apa? Aku malas.”
“Cepatlah! Aku tunggu.”
Sambungan telpon terputus begitu saja. Arga mendengus kesal. Rencananya hari ini Ia akan bermalas malasan di rumah. Tapi pengganggu tiba tiba datang dan mengharuskannya untuk segera bangkit dan keluar dari rumah. Dengan memalas Arga masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower mode hangat. Ia hanya mandi sekitar 3 menitan saja. Menjambret handuknya di gantungan lalu masuk ke ruang ganti.
Ponselnya sudah bergetar beberapa kali di sana setelah keluar dari saku celana. Arga tak menggubris. Ia menyisir rambutnya yang mulai sedikit memanjang. Memberi pewangi sedikit.
Arga sudah siap dengan baju santainya. Kaos berwarna hitam dan celana jeans selutut. Penampilan itu membuatnya lebih terlihat seperti rakyat biasa dan jauh dari kata CEO muda. Setelah mengambil kunci mobil Arga langsung ke luar kamar. Pamit pada Santi mencium pipinya lalu pergi cepat.
“Mau kemana dia? Buru buru sekali.” Gumam Santi yang sedang membaca majalah di sofa ruang tamu bersama Radit.
“Kakak mau kemana?” tanya Radit.
“Entahlah.” Santi angkat bahu.
Sesampainya di tempat tujuan, Arga langsung masuk ke dalam setelah memarkirkan mobilnya. Matanya menyapu setiap ruangan mencari sesosok yang membuatnya harus keluar rumah di hari minggu. Bola matanya terhenti di satu meja no 4.
“Kau lama sekali.” Ucap Dion. Disampingnya ada Tora yang sedang menikmati 1 gelas jus jeruk.
Arga menggeser kursi dan duduk di samping Tora. “Kau juga di sini?”
Tora mengangguk. Dua jarinya sedang memutar mutar sedotan di dalam gelas minumannya.
“Ada apa Kau memanggilku kemari? Kalau tidak penting, awas Kau!” jemarinya sudah menunjuk Dion dengan pelototan.
“Yang harusnya kau bentak itu dia buka Aku.” Dion menunjuk Tora dengan bola matanya.
Arga menoleh. “Kau?”
“Iya. Aku mau membicarakan sesuatu hal yang penting pada Mu.” Ucap Tora.
“Apa?”
“Ku dengar Kau akan bekerja sama dengan Joanda Group?” tanya Tora. Minuman di gelasnya sudah kosong.
“Iya, lalu? Apa ada masalah?”
“Tidak. Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu hal tentang nya.” Tora memandang serius wajah Arga. Dion lebih memilih untuk diam dan bermain dengan ponselnya. Berbicara pun tak akan nyambung. Lebih baik diam saja.
“Sepertinya hal serius?”
“Tentu saja.”
Setelah di tugaskan Santi untuk memantau kegiatan keluarga Agus, Tora sekarang jadi bisa tahu bagaimana licik nya lelaki itu. Dan Tora mendengar Arga akan bekerja sama dengan perusahaan Agus, Tora langsung mengajak Arga untuk ketemuan dan membicarakan masalah ini. Sebelum semuanya terlambat pikir nya.
“Jelaskan!” pinta Arga.
“Lebih baik Kau urungkan niat bekerja sama dengan Agus, Aku tak yakin dengan perusahaan itu.” Jawab Tora.
Dion yang semula cuek, akhirnya mendongak dan ikut mendengarkan apa yang di bicarakan mereka berdua.
“Tunggu dulu.” Sela Dion. “Tak yakin bagaimana? Setahu Ku perusahaan itu sangat besar dan di minati banyak orang. Kenapa harus di batalkan?”
Wajah ketiganya menjadi serius. Arga sudah tahu perusahaan itu memang sangat bagus. Akan tetapi niatnya bekerja sama juga bukan karena ingin meraih keuntungan. Tapi untuk menyelidiki perusahaan itu yang sebelumnya milik Ayah Mona.
“Aku tahu rencanamu.” Tora menatap Arga.
“Tapi, lebih baik jangan, itu saranku.”
“Beri alasan. Aku akan mempertimbangkan nya lagi.” Jawab Arga.
“Dia itu sangat licik! Aku tahu semua tentang kebusukannya. Kalau bukan karena Ibumu, mungkin Aku juga tidak tahu tentang watak dan kelakuannya.”
“Ibu?”
“Ya. Ibumu menyuruhkulu menyelidiki tentang keluarga Agus, lengkap dan harus detail. Itu Karena Mona, Kau tahu kan?”
“Mona? Tunggu! Siapa Mona?” timbruk Dion lagi. Sepertinya hanya dirinyalah yang tak paham dengan isi dari pertemuan ini.
“Kau diam dulu. Biar Aku jelaskan pada Bosmu!” ucap Tora dengan menepuk meja dengan tangannya.
Dion mendengus. Lalu mengamati mereka berdua bergantian.
“Dia itu sangat licik! Apa kau tahu? Kabarnya kedua orang tuanya kecelakaan itu karena ulah Agus.”
“Maksudmu?” Arga semakin serius.
“Dari info yang Ku dapat, kecelakaan ke dua orang tua Mona itu karena ulah Agus. Mereka memanipulasi segalanya sehingga kasus pun di tutup. Dan kasusnya pun tak ada kabarnya lagi sampai sekarang.”
Arga manggut manggut. Jadi seperti itu kah ceritanya? Kasihan sekali Mona. Jadi mereka itu lebih kejam dari yang Arga kira. Arga tiba tiba saja teringat kejadian semalam saat diri nya membentak Mona hanya karena membuka ponselnya.
“Saranku, jangan Kau lanjut kerja sama itu.”
“Baiklah. Nanti Aku pikirkan lagi.”
***