Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Bab 2: Antara Kewajiban dan Kesehatan
Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kamar Ning Azzahra, membangunkan gadis itu dari tidurnya yang tidak nyenyak. Tubuhnya masih terasa lemas dan kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Namun, semangatnya untuk mengikuti kegiatan di pesantren tidak surut sedikit pun.
Setelah melaksanakan shalat Subuh dan sarapan pagi, Ning Azzahra bergegas menemui Abahnya, Kyai Ahmad Ghozali. Ia ingin menyampaikan pendapatnya tentang usulan pengurangan kegiatan pesantren.
"Abah, Azzahra dengar dari Umi kalau Abah akan bicara dengan Ustadz dan Ustadzah untuk mengurangi kegiatan Azzahra di pesantren," ucap Ning Azzahra dengan nada sedikit memohon.
Kyai Ghozali menghela napas pelan. Ia sudah menduga bahwa anaknya akan menolak usulan tersebut. "Iya, Ning. Abah khawatir dengan kesehatanmu. Kamu harus istirahat yang cukup supaya cepat sembuh," jawab Kyai Ghozali dengan lembut.
"Tapi, Abah, Azzahra tidak mau ketinggalan pelajaran dan kegiatan di pesantren. Azzahra sudah janji sama teman-teman untuk ikut serta dalam persiapan lomba hadroh," bantah Ning Azzahra.
"Ning, kesehatan itu lebih penting daripada apapun. Kalau kamu sakit, kamu tidak bisa melakukan apa-apa," nasihat Kyai Ghozali.
"Azzahra janji akan menjaga kesehatan. Azzahra akan istirahat yang cukup dan tidak akan memaksakan diri," pinta Ning Azzahra dengan mata berkaca-kaca.
Kyai Ghozali terdiam sejenak. Ia melihat keteguhan hati dan semangat yang membara di mata anaknya. Ia tahu bahwa Ning Azzahra adalah gadis yang bertanggung jawab dan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik.
"Baiklah, Abah izinkan kamu untuk tetap mengikuti kegiatan di pesantren. Tapi, kamu harus janji untuk menjaga kesehatan dan tidak memaksakan diri. Kalau kamu merasa tidak enak badan, kamu harus segera istirahat," ucap Kyai Ghozali akhirnya.
"Azzahra janji, Abah!" seru Ning Azzahra dengan wajah berseri-seri. Ia mencium tangan Abahnya dengan penuh rasa terima kasih.
Setelah mendapatkan izin dari Abahnya, Ning Azzahra segera bersiap-siap untuk pergi ke pesantren. Ia mengenakan seragam pesantrennya yang rapi dan menyemprotkan sedikit parfum ke tubuhnya. Meskipun masih merasa lemas, ia berusaha untuk tetap tampil segar dan bersemangat.
Berita tentang kepulangan Ning Azzahra karena sakit menyebar dengan cepat di kalangan santriwan dan santriwati. Banyak santri yang merasa prihatin dan khawatir dengan kondisi Ning Azzahra. Mereka mendoakan agar Ning Azzahra segera sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
Namun, di antara rasa prihatin itu, ada juga beberapa santriwan yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekati Ning Azzahra. Mereka berusaha untuk masuk ke ndalem dengan berbagai alasan, mulai dari ingin menjenguk, mengantarkan makanan, hingga menawarkan bantuan untuk mengerjakan tugas sekolah.
Salah satu santriwan yang paling bersemangat adalah Raffa, seorang santri kelas 11 yang sudah lama menyimpan perasaan pada Ning Azzahra. Ia dikenal sebagai santri yang cerdas, rajin, dan pandai bergaul. Ia juga memiliki suara yang merdu dan sering menjadi imam shalat di masjid pesantren.
Raffa, sudah lama mengagumi Ning Azzahra. Ia terpesona dengan kecantikan, kecerdasan, dan kesalehan Ning Azzahra. Ia juga kagum dengan kemampuan Ning Azzahra dalam menghafal Al-Quran dan memimpin grup hadroh.
Raffa sudah beberapa kali mencoba untuk mendekati Ning Azzahra, namun selalu gagal karena terhalang oleh para kakak laki-laki Ning Azzahra yang sangat protektif. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan hati Ning Azzahra, ia harus berusaha lebih keras dan mencari cara yang cerdik.
Pada suatu sore, Raffa memberanikan diri untuk datang ke ndalem dengan membawa sebuket bunga mawar merah. Ia berharap bisa bertemu dengan Ning Azzahra dan menyampaikan rasa prihatinnya secara langsung.
"Assalamualaikum," ucap Raffa sambil mengetuk pintu ndalem.
"Waalaikumsalam," jawab seorang mbak dari dalam. Pintu pun terbuka, dan mbak tersebut menatap raffa dengan tatapan curiga.
"Ada apa, Mas Raffa?" tanya mbak tersebut.
"Saya mau menjenguk Ning Azzahra, Mbak. Saya dengar Ning Azzahra sakit," jawab Raffa dengan gugup.
Mbak tersebut terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Raffa adalah salah satu santriwan yang mengagumi Ning Azzahra. Ia juga tahu bahwa para kakak laki-laki Ning Azzahra tidak suka jika ada santriwan yang mendekati adik perempuan mereka.
"Maaf, Mas Raffa. Ning Azzahra sedang istirahat dan tidak bisa menerima tamu," ucap mbak tersebut dengan sopan.
"Tapi, Mbak, saya cuma ingin menyampaikan rasa prihatin dan memberikan bunga ini untuk Ning Azzahra," pinta Raffa dengan memelas.
Mbak tersebut merasa iba dengan Raffa. Ia tahu bahwa Raffa memiliki niat yang baik dan tulus. Namun, ia juga tidak ingin melanggar aturan dan membuat masalah dengan keluarga Kyai.
"Baiklah, Mas Raffa. Saya akan sampaikan bunga ini kepada Ning Azzahra. Tapi, Mas Raffa tidak bisa bertemu dengan Ning Azzahra," ucap mbak tersebut akhirnya.
Raffa mengangguk kecewa. Ia menyerahkan buket bunga mawar merah kepada mbak tersebut dan mengucapkan terima kasih. Ia kemudian berpamitan dan meninggalkan ndalem dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, ia merasa senang karena bisa memberikan bunga untuk Ning Azzahra. Di sisi lain, ia merasa sedih karena tidak bisa bertemu dengan Ning Azzahra dan menyampaikan rasa prihatinnya secara langsung.
Raffa bertekad untuk tidak menyerah. Ia akan terus berusaha untuk mendekati Ning Azzahra dengan cara yang baik dan sopan. Ia yakin bahwa suatu saat nanti, ia akan bisa mendapatkan hati gadis yang ia cintai itu.