di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 3
Selesai meracik ramuan, Valerian menatap puluhan botol kaca di hadapannya.
Cairan di dalamnya berkilau lembut di bawah cahaya siang, seolah menyimpan rahasia tersembunyi.
“Kira-kira, harganya akan mahal tidak ya?” gumamnya sambil menopang dagu.
Ia berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu kecilnya.
Tanpa banyak bicara, Valerian mengambil keranjang dari sudut ruangan dan mulai meletakkan satu per satu botol ramuan ke dalamnya dengan hati-hati.
Setelah itu, ia membuka satu botol kecil berisi cairan bening kehijauan.
Ramuan penambah stamina -racikannya sendiri.
Sekali teguk, cairan itu langsung mengalir di tenggorokannya, meninggalkan sensasi panas menyebar ke seluruh tubuh.
“Tubuhku terasa penuh energi.”
Valerian membawa keranjang itu keluar dapur. Di depan pintu, Alaric sudah berdiri menunggu dengan sikap sopan.
“Anda sudah selesai, Pangeran?”
“Sudah. Tolong bawakan ini ke kamarku,” jawab Valerian datar.
Alaric menerima keranjang itu dengan kedua tangan, lalu sedikit menunduk.
“Baik, Pangeran. Sebaiknya Anda beristirahat.”
Mereka berjalan menyusuri koridor sunyi Istana Utara.
Udara di dalam bangunan itu lembab, tapi suasana hati Valerian sedang bagus hari ini — pikirannya dipenuhi rencana dan angka.
“Jika di dunia lamaku aku tak perlu bersusah payah menjual ramuan…” batinnya.
“Tapi sekarang, uang adalah senjata pertama yang harus kupunya.”
Sesampainya di kamar, Valerian duduk di kursi tua yang berderit pelan.
Alaric meletakkan keranjang di meja kecil.
“Alaric, siapkan air mandiku. Rasanya panas sekali di sini.”
“Baik, Pangeran,” jawab Alaric sebelum pergi.
Ruangan kembali sunyi.
Valerian menatap buku lusuh di meja — buku peninggalan mendiang ibunya, Ratu Serephina.
Ia membuka halaman demi halaman sampai matanya berhenti pada satu bagian yang disertai peringatan:
“Untuk membuka segel darah, gunakan liontin hitam dan darahmu sendiri. Namun berhati-hatilah, karena bayangan yang terbangun mungkin tidak lagi sepenuhnya milikmu.”
Valerian tersenyum miring.
“Ternyata kekuatan ini begitu besar hingga harus disegel… menarik.”
Ia mengambil liontin hitam dari saku dan meletakkannya di telapak tangan.
Cahaya redup dari jendela memantul di permukaannya yang berkilau kelam.
Dengan cepat, ia mengambil pisau kecil, lalu melukai ujung jarinya.
Tetesan darah merah tua menetes ke liontin itu.
Hening.
Lalu…
Wusshh—
Cahaya hitam menyelimuti tubuhnya, berputar seperti pusaran kabut.
Dada Valerian terasa seperti ditusuk ribuan jarum panas, darah keluar dari mulutnya.
“Ukh—s-sakit…”
Tubuhnya bergetar hebat, lututnya goyah hingga ia jatuh ke lantai.
Nafasnya tersengal, tangan kanannya bergetar hebat saat mencoba meraih meja.
Pintu kamar terbuka keras.
“Pangeran!” seru Alaric yang langsung berlutut di sisi Valerian.
Ia melihat darah di lantai dan cahaya gelap yang perlahan memudar.
“Apa yang terjadi pada Anda?!”
Valerian hanya bisa terengah, matanya setengah terbuka, bibirnya berlumuran darah.
“S-sakit…” rintihnya lemah.
“Bertahanlah, Pangeran!”
Alaric segera menekan tangannya di dada Valerian, mengalirkan sihir penyembuh.
Cahaya hijau lembut muncul, menyelimuti tubuh sang pangeran.
Namun bahkan dengan sihir penyembuh tingkat tinggi, napas Valerian masih berat.
Di antara kesadarannya yang mulai kabur, ia sempat berpikir getir:
“Sial… tidak tertulis kalau prosesnya akan sesakit ini.”
Cahaya hitam akhirnya menghilang sepenuhnya, menyisakan ruangan yang sunyi dan udara yang terasa berat.
Alaric terus memanggil nama pangerannya, sementara Valerian perlahan kehilangan kesadaran —
tapi di balik tubuh lemah itu, sesuatu telah terbangun.
Kelopak mata Valerian perlahan terbuka.
Cahaya senja menembus jendela, menyinari ruangan yang kini dipenuhi aroma obat dan darah kering.
Di samping tempat tidurnya, Alaric duduk dengan mata sembab, menatapnya lega.
“Pangeran, akhirnya Anda sadar,” ucapnya cepat, suaranya terdengar lega sekaligus khawatir.
Valerian menatap Alaric dengan pandangan tenang, meski tubuhnya masih terasa berat.
“Berapa lama aku pingsan?”
“Sekitar tiga jam, Pangeran,” jawab Alaric, menunduk hormat.
Valerian tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk perlahan, merasakan rasa sakit samar di dada dan lengan.
“Aku ingin mandi.”
“Baik, Pangeran. Saya bantu Anda untuk—”
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” potong Valerian pelan namun tegas.
Alaric menunduk dan menyingkir.
Valerian berjalan masuk ke kamar mandi, membuka pakaiannya yang berlumuran darah kering. Setiap lipatan kain terasa berat, seolah menempel di kulitnya.
Air hangat memenuhi bak kayu, uapnya mengembun di udara.
Valerian perlahan masuk ke dalamnya, menutup matanya sesaat.
Sensasi hangat itu membuat otot-ototnya rileks, tapi di dalam tubuhnya… ada sesuatu yang berdenyut aneh.
Ia menatap telapak tangannya di atas air.
Di sana — seberkas api biru kecil muncul, menari pelan seperti kehidupan baru yang belum stabil.
Cahayanya lembut tapi memberi rasa panas yang menggigit.
Valerian memandang api itu lama, lalu menambahkan sedikit sihir kegelapan yang mengalir dari inti tubuhnya.
Api itu membesar, warnanya makin pekat, berubah dari biru lembut menjadi biru tua dengan semburat hitam di tepinya.
Panasnya meningkat drastis.
Valerian meringis pelan dan cepat-cepat mencelupkan tangannya ke dalam air.
Uap mengepul, permukaan air berdesis.
“Kegelapan, ya…” gumamnya pelan.
“Aku tidak semudah itu untuk dikendalikan.”
Ia menatap pantulan dirinya di air yang beriak pelan — mata emasnya kini tampak lebih tajam, dengan bayangan hitam samar di sekeliling irisnya.
Untuk sesaat, Valerian tersenyum kecil.
“Tapi cepat atau lambat… aku yang akan menguasaimu.”
Air di bak berguncang ringan, seperti merespons sumpahnya.
Dan di luar kamar mandi, Alaric menatap pintu tertutup itu dengan wajah tegang.
Ia bisa merasakan hawa dingin dan tekanan sihir kuat yang merembes keluar dari balik kayu.
“Kekuatan itu… bukan sihir biasa,” bisiknya cemas.
Valerian menghela napas panjang, kesunyian memenuhi seluruh ruangan.
Matanya menatap kosong ke arah jendela, di mana angin malam meniup lembut rambut peraknya yang berkilau dalam cahaya redup.
Sejak ia sadar kemarin, tak ada satu pun anggota keluarga kerajaan yang datang menjenguk.
Tidak sang ayah, tidak pula saudara-saudaranya.
Hal itu cukup untuk menunjukkan betapa diabaikannya pemilik tubuh ini.
“Bahkan setelah hampir mati pun… tak ada yang peduli,” gumamnya pelan.
Valerian juga tak banyak tahu tentang keluarga kerajaan Velthoria.
Ingatan yang tertinggal dari pemilik tubuh ini sangat sedikit — hanya potongan samar tanpa wajah yang jelas.
Suara pintu terbuka memecah keheningan.
Alaric masuk membawa nampan berisi makan malam. Ia meletakkannya di atas meja kecil dan menunduk hormat.
Valerian membuka penutup nampan dan mulai makan dengan tenang.
“Alaric, besok kita akan pergi keluar. Aku ingin menjual ramuan yang sudah kusiapkan.”
Alaric menatap pangerannya, sedikit terkejut namun segera menunduk.
“Baik, Pangeran. Saya akan ikut dengan Anda.”
Valerian menyendok sayur ke mulutnya, mengunyah perlahan.
“Apa orang-orang di luar tahu wajahku?”
Alaric terdiam sejenak, lalu menjawab hati-hati.
“Tidak, Pangeran. Baik rakyat maupun bangsawan tak mengenal wajah Anda. Sejak Anda diasingkan ke Istana Utara, Yang Mulia Raja mengumumkan bahwa Anda telah meninggal karena diracun oleh musuh.”
Sendok di tangan Valerian berhenti. Ia menatap kosong ke arah makanan, lalu tersenyum tipis — senyum getir tanpa emosi.
“Mati, ya… padahal aku masih hidup.”
“Ah, sudahlah. Siapkan saja keperluan untuk besok. Kau tahu tempat yang tepat untuk menjual ramuan, bukan?”
“Saya mengenal satu toko penjual obat di kota bawah, Pangeran. Pemiliknya orang baik, pasti akan menyetujui.”
Valerian mengangguk pelan, kembali menyendok makanannya dengan tenang.
Namun pikirannya sudah jauh — tentang dunia luar yang belum pernah ia lihat, dan tentang kekuatan yang mulai bangkit di dalam dirinya.
Setelah makan malam, Alaric keluar untuk membawa nampan ke dapur.
Valerian duduk bersandar di kursi, menghirup udara malam yang masuk lewat jendela terbuka.
Udara dingin menusuk kulitnya, tapi rasa dingin itu terasa menyenangkan.
“Waktu yang tepat untuk berlatih,” gumamnya lirih.
Ia bangkit dan melangkah keluar kamar, berjalan menuju taman belakang Istana Utara.
Langit malam terbentang luas — tak berbintang, hanya kegelapan yang dalam.
Tidak ada siapa pun di sana.
Valerian berdiri di tengah taman, mengangkat tangannya, dan memusatkan fokusnya.
Udara di sekitarnya mulai bergetar.
Bayangan dari pepohonan bergerak aneh, mengikuti irama detak jantungnya.
Api biru kecil muncul di telapak tangannya — bergetar, tak stabil.
Ia menambahkan sedikit sihir kegelapan, dan api itu berubah bentuk seperti pusaran, memanjang lalu padam tiba-tiba.
Panas terasa membakar telapak tangannya, tapi Valerian tak menghentikan diri.
Keringat membasahi wajahnya, napasnya berat, namun matanya memantulkan tekad yang keras.
“Kalau kau ingin menjadi milikku…” gumamnya rendah, suaranya hampir seperti bisikan.
“...maka tunduklah padaku.”
Udara di taman bergetar sesaat, seperti menjawab tantangannya.
Di antara bisikan angin malam, api biru kembali menyala — kali ini lebih tenang, lebih jinak, tapi auranya lebih pekat.
Dan di balik kegelapan taman, sesuatu yang tak terlihat seolah menatap Valerian dengan diam.
Valerian berhenti melatih sihirnya. Tubuhnya terasa berat, keringat menetes di pelipis, dan napasnya memburu. Ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap langit yang mulai memucat menjelang fajar.
Sudah cukup untuk malam ini, batinnya. Ia berbalik menuju kamar, menutup pintu perlahan. Ada rencana yang harus dijalankan besok—dan untuk saat ini, ia perlu mengisi tenaga kembali.
Keesokan paginya, sinar mentari menyusup melalui celah jendela istana utara. Valerian berdiri di depan meja, mengenakan pakaian sederhana berwarna gelap. Rambut peraknya disembunyikan di balik tudung jubah hitam.
Pintu kamar terbuka. Alaric masuk, juga mengenakan tudung.
“Apakah Anda sudah siap, Pangeran?” tanyanya sopan.
Valerian mengangguk. “Sudah. Mari kita pergi.”
Ia mengambil gulungan teleportasi dari meja dan merobeknya perlahan. Cahaya lembut menyelimuti tubuh mereka, membuat udara di sekitar bergetar. Saat cahaya itu memudar, keduanya telah tiba di tempat yang sama sekali berbeda.
Suara pedagang berteriak, langkah kaki saling bersahutan, dan aroma rempah serta roti panggang memenuhi udara. Pasar ibu kota Elyndor terbentang luas, hidup dan penuh warna.
“Apakah ini... pasar?” tanya Valerian kagum.
“Benar, Pangeran. Ini pasar ibu kota,” jawab Alaric sambil menatap hiruk pikuk di sekeliling mereka.
“Jangan panggil aku Pangeran. Di luar, cukup panggil Valerian.”
“Tapi—”
“Kita tidak sedang di istana,” potongnya lembut.
Alaric akhirnya mengangguk. “Baiklah... Valerian.”
Mereka berjalan menyusuri jalan batu yang ramai. Pedagang menawarkan buah, kain, dan berbagai ramuan, sementara anak-anak berlari kecil membawa bunga liar. Valerian memperhatikan semuanya dengan rasa ingin tahu yang jarang ia tunjukkan.
Suatu hari nanti, aku ingin mencicipi semua makanan di sini, pikirnya sambil tersenyum tipis.
Namun langkahnya terhenti saat melihat banyak orang berkerumun di ujung jalan. Suara panik terdengar di antara teriakan pedagang yang berhenti berjualan.
“Alaric, ada apa di sana?”
“Sepertinya seseorang pingsan, Tuan—eh, Valerian.”
Tanpa pikir panjang, mereka berjalan mendekat. Di tengah kerumunan, seorang pria paruh baya berpakaian bangsawan tergeletak. Wajahnya pucat, napasnya tersendat. Para ajudannya panik.
“Tuan, biarkan aku memeriksanya,” ujar Valerian datar.
Seorang ajudan menatapnya sinis dari atas ke bawah. “Kau? Bocah seperti kau mau apa? Pergi sana!”
Valerian menatapnya dengan sorot tajam. “Jika kalian tak ingin tuan kalian mati, maka diamlah.”
Nada suaranya dingin namun penuh otoritas, membuat semua orang tanpa sadar menyingkir.
Ia berlutut di samping pria itu, memeriksa denyut nadi, lalu mengendus aroma samar dari leher korban.
“Racun daun Silvertide...” gumamnya pelan.
Valerian mengeluarkan sebotol kecil dari saku jubahnya dan menuangkan cairan kehijauan ke mulut pria itu. Beberapa orang menahan napas, menatap dengan ragu. Namun sesaat kemudian, tubuh pria itu bergetar ringan, diselimuti cahaya hijau, dan napasnya kembali normal.
Perlahan, matanya terbuka. Ia menatap Valerian lama — bola matanya sedikit membesar, seolah mengenali sesuatu.
Rambut perak... mata emas... mustahil salah.
Namun alih-alih bereaksi, sang pria tersenyum kecil. “Terima kasih, anak muda. Aku merasa jauh lebih baik sekarang.”
Suara lembutnya membuat para ajudan terdiam.
“Tidak perlu berterima kasih. Anda diracuni, tapi racunnya sudah saya netralkan. Pastikan Anda beristirahat,” jelas Valerian datar, kemudian berdiri.
Sang bangsawan—seorang duke ternama di Elyndor—mengulurkan sekantong uang. “Ambillah ini, sebagai rasa terima kasihku.”
Valerian sempat hendak menolak, tapi tatapan tenang pria itu membuatnya menerima dengan sopan. “Baiklah. Terima kasih.”
“Semoga takdir membawa kita bertemu lagi,” ucap duke itu dengan nada bermakna.
Valerian mengangguk ringan dan berjalan pergi bersama Alaric. Orang-orang di sekitar berbisik kagum, sebagian bahkan mencoba mengejar untuk membeli ramuan darinya.
“Valerian, ramuan Anda benar-benar hebat,” puji Alaric.
Valerian hanya tersenyum samar. “Ramuan yang tepat di waktu yang tepat. Itu saja.”
Di toko obat, pemilik toko—seorang wanita tua berhidung mancung—menatap ramuan buatan Valerian dengan mata berbinar.
“Anak muda, ini kualitas terbaik yang pernah kulihat! Aku akan membelinya semuanya.”
Valerian menyerahkan ramuan itu satu per satu. Setelah menerima kantong uang tebal, ia dan Alaric berjalan keluar toko.
Udara sore mulai turun perlahan, membawa aroma manis bunga kering. Valerian menatap sekantong uang di tangannya. “Cukup untuk hari ini,” gumamnya.
Namun jauh di belakang, dari atas balkon sebuah penginapan, sang duke berdiri diam menatap mereka pergi.
Angin menerpa jubah hitamnya, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Pangeran ketiga... ternyata kau masih hidup,” bisiknya pelan, “dan lebih berbahaya dari yang kuduga.”