Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengembalian Jaket
Bel pulang berdentang nyaring, memecah kesunyian sore dan menggema di seluruh koridor. Guru menutup buku pelajaran, mengakhiri hari dengan senyum ramah, lalu bergegas keluar. Satu per satu, bangku-bangku dikosongkan. Para murid serempak bangkit, tas sudah terpasang di punggung, langkah mereka bergegas seolah tak sabar meninggalkan sekolah.
Rin berdiri dari kursinya. Jantungnya berdebar kencang. Setelah menimbang-nimbang sepanjang hari, tekadnya kini bulat. "Hari ini… aku harus bicara padanya", gumamnya dalam hati.
Ia menoleh pada sahabatnya, Hana, yang juga siap untuk pulang.
“Hana, maaf ya. Kayaknya hari ini aku nggak bisa pulang bareng.”
Hana mengerutkan dahi, menatap Rin dengan heran.
“Loh, kenapa? Kamu mau pulang sama siapa? Bus ke arah rumah kita cuma sisa dua, lho. Kalau kelewat, kamu bisa jalan kaki sampai rumah!” Nada suaranya terdengar cemas.
Rin tersenyum, berusaha meyakinkan.
“Tenang aja, kalau ketinggalan aku bisa minta jemput Ayah. Nanti kalau sudah sampai rumah aku kabari. Oke?” Ia menepuk lembut pundak Hana.
“Ya sudah, kalau gitu aku duluan bareng Aika sama Souta. Hati-hati di jalan ya!” Hana melambaikan tangan, lalu bergabung dengan teman-temannya di pintu kelas.
Rin menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan untuk menenangkan debaran jantung. Kelas kian lengang, hanya menyisakan dirinya dan satu orang lagi. Haruki masih sibuk merapikan buku-buku di mejanya, sama sekali belum beranjak.
Rin melangkah pelan, setiap tapak kakinya seolah memompa debaran di dadanya. Semakin dekat ia, semakin kencang debaran itu terasa.
“Ha… Haruki?” sapanya ragu, suaranya nyaris bergetar.
Haruki menoleh, tatapannya tenang.
“Iya? Ada apa, Rin?”
Rin menelan ludah, memaksakan keberanian. “Apa… kamu orang yang dulu meminjamiku jaket di malam Natal?”
Haruki terdiam, sejenak terkejut.
"Jadi, benar… dia gadis itu", batinnya. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia mengangguk pelan.
“Ya, itu aku. Kamu Rin, kan?”
“Iya…” Pipinya seketika merona. Ia buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah itu.
“Maaf… aku nggak sempat menghubungimu. Nomor teleponmu hilang waktu itu.”
“Jangan dipikirin, aku nggak apa-apa kok.”
Haruki tersenyum, senyum yang menghangatkan hati Rin.
Rin menggenggam erat tali tasnya, mengumpulkan sisa keberanian.
“Kalau begitu… bagaimana kalau kamu ke rumahku sekarang? Jaketmu masih ada di sana.”
Haruki sedikit terkejut, namun matanya memancarkan binar.
“Ke rumahmu? Tentu. Tapi… di mana?”
“Kompleks Misaki,” jawab Rin, suaranya lembut. “Mungkin lebih gampang kalau kita pulang bareng.”
Haruki menggaruk tengkuknya, sedikit salah
tingkah.
“Pulang bareng…? Tapi aku bawa motor sendiri. Gimana kalau aku antar kamu pulang aja? Sekalian mampir ke rumahmu.”
Rin terdiam, pipinya semakin panas. "Naik motor… berdua dengannya?" bisik suara hatinya, membayangkan betapa dekatnya mereka nanti.
“Gimana?” tanya Haruki lagi, memastikan.
Rin menunduk, lalu mengangguk pelan.
“I-iya… aku ikut.”
Mereka berjalan menuju area parkir motor. Udara sore terasa hangat, kelopak-kelopak bunga sakura beterbangan, menari-nari diembus angin sepoi.
“Tiiin!” Haruki membunyikan klakson motornya. “Ayo naik.”
Rin berpura-pura menoleh ke samping, lalu dengan langkah ragu ia mendekat.
“Iya…” ucapnya lirih. Ia naik ke jok belakang, lalu dengan gugup melingkarkan tangannya di pinggang Haruki.
Kehangatan itu membuat jantung mereka berdua sama-sama berdebar.
Motor melaju perlahan, membelah jalanan yang dipenuhi karpet kelopak sakura. Mereka tak banyak bicara, hanya diam dalam kecanggungan yang anehnya terasa nyaman.
“Sudah sampai,” bisik Rin saat motor berhenti di depan sebuah rumah bergaya sederhana dengan halaman penuh bunga.
“Aku pulang!” seru Rin, suaranya ceria saat membuka pintu.
Dari ruang tengah, seorang wanita menyambutnya dengan senyum hangat.
“Selamat datang kembali, Sayang.”
Haruki menatap takjub ke halaman rumah. Sebuah pohon sakura berdiri anggun di sisi kanan, sementara bunga-bunga melati putih bermekaran di sisi kiri, menebarkan aroma manis. Halaman itu terasa begitu damai dan asri.
“Silakan masuk, Haruki,” ajak Rin.
Haruki melepas sepatunya di teras. Wanita yang menyambut Rin tadi kini mendekat dengan senyum ramah.
“Kamu temannya Rin, ya? Salam kenal, saya ibunya Rin, Aozora Shina.”
“Salam kenal, Bu. Saya Shinamura Haruki,” jawab Haruki, membungkuk sopan.
“Oh, jadi kamu yang dulu meminjamkan jaket itu?” Ibu Rin menatapnya dengan rasa terima kasih yang tulus.
“Terima kasih banyak sudah menolong Rin. Maaf kalau jadi merepotkan.”
Haruki menggelengkan kepalanya.
“Tidak kok, Bu. Justru saya yang salah waktu itu, sampai menumpahkan kopi ke bajunya.”
Tak lama kemudian, Rin kembali dari kamarnya dengan jaket yang sudah dilipat rapi.
“Ini… terima kasih sudah meminjamkannya,” ucapnya sambil menyerahkan jaket itu.
Matanya sedikit menunduk.
“Maaf aku nggak sempat menghubungimu.”
“Tidak masalah,” balas Haruki, tersenyum hangat. Senyum itu membuat wajah Rin kembali merona. Ia buru-buru berbalik.
“Aku… aku buatkan teh dulu,” katanya, lalu bergegas menuju dapur.
Haruki mengangkat alisnya, heran dengan tingkah Rin yang malu-malu.
Sementara itu, ibu Rin terkekeh pelan.
“Dia memang begitu, gampang gugup kalau di depan orang yang disukainya. Tapi dia gadis yang baik. Waktu pulang dari festival Natal, dia sempat cerita tentangmu. Katanya, ‘Andai saja dia sekelas denganku.’ Dan ternyata benar, ya.”
Hati Haruki seketika menghangat. Di balik rasa hangat itu, ia juga merasa kikuk, tak menyangka Rin ternyata memikirkannya.
Di dapur, Rin panik. Ia menyalakan kompor, tapi api tak kunjung keluar.
“Hah?! Gasnya habis!” Ia menggigit jarinya,
berjalan mondar-mandir tak karuan, kepalanya dipenuhi pikiran kalut.
Ibunya yang merasa aneh karena Rin tak kunjung kembali, menyusul ke dapur.
“Rin? Kok lama sekali?”
“Bu, gasnya habis! Aku coba pasang, tapi gagal terus. Ayah juga belum pulang,” keluh Rin, suaranya frustrasi.
“Ibu juga nggak bisa. Bagaimana kalau minta tolong Haruki saja?”
Mata Rin membelalak.
“Ibu! Jangan merepotkan tamu!”
“Tapi kalau tidak, kita nggak bisa minum teh,” jawab ibunya santai, tahu persis bagaimana cara membuat putrinya luluh.
Dengan enggan, Rin kembali ke ruang tamu. “Ha-haruki…” panggilnya, merasa sangat malu.
“Bisa bantu sebentar? Gasnya habis.”
Haruki segera berdiri. “Tentu.”
Beberapa menit kemudian, ia mengambil tabung gas cadangan di bawah meja. Dengan cekatan, ia memasangnya.
“Coba nyalakan sekarang,” katanya.
"Ceklek." Api menyala. Rin menepuk tangannya girang.
"Nyala! Terima kasih banyak, Haruki!”
Tak lama kemudian, mereka bertiga duduk bersama di ruang tamu. Secangkir teh hangat menemani obrolan ringan yang mengalir lancar hingga senja berganti menjadi malam.
Saat Haruki hendak pulang, ibu Rin melambaikan tangan dari pintu.
“Terima kasih sudah mampir. Datang lagi kapan-kapan, ya.”
Rin mengantar Haruki sampai ke halaman. Di bawah cahaya lampu teras, wajahnya terlihat berseri-seri.
“Haruki, boleh kita tukar nomor telepon? Supaya gampang kalau mau hubungi.”
“Boleh,” jawab Haruki. Ia mengeluarkan ponselnya, dan dengan cepat mereka bertukar nomor.
“Terima kasih. Nanti aku kirim pesan, ya,” ucap Rin, tersenyum cerah.
Haruki menyalakan motornya. “Kalau begitu, aku pulang dulu.”
Sepanjang perjalanan pulang, senyum tak kunjung lepas dari bibirnya.
“Kenapa aku merasa senang sekali, ya? Padahal cuma ambil jaket.”
Sementara itu, Hana yang tinggal di rumah sebelah, menatap curiga dari jendela kamarnya.
“Wah, sepertinya Rin sudah punya pacar,” gumamnya. "Besok aku godain, ah. Hehehe.”
Malam semakin larut. Haruki sudah selesai belajar dan bersiap untuk tidur. Ponselnya bergetar, menampilkan notifikasi dari Rin.
Rin: Halo, aku Rin.
Haruki: Iya, terima kasih, ya, sudah mampir ke rumahmu.
Rin: Kamu lagi apa?
Haruki: Aku habis belajar. Kalau kamu lagi ngapain?
Rin: Aku lagi nonton film, nih.
Haruki: Wah, pasti seru!
Rin: Oh, ya, ngomong-ngomong rumahmu di mana? Boleh aku mampir?
Haruki: Rumahku ada di pertigaan Habanaoka, sedikit menanjak.
Rin: Wah, lumayan jauh, ya. Kamu tinggal sama siapa di rumah?
Haruki mengetik perlahan.
Haruki: Aku tinggal sama Ibu. Ayahku sudah tiada.
Rin: Benarkah? Maaf, ya, sudah bertanya yang enggak-enggak.
Haruki tersenyum melihat pesan dari Rin. Ia tidak merasa terganggu. Justru, ia merasa ada sesuatu yang istimewa dari perhatian kecil Rin.
Saat jam menunjukkan pukul sembilan, Haruki mengakhiri percakapan.
Haruki: Maaf, ya, aku tidur dulu.
Rin: Iya, aku juga. Selamat malam, Haruki ❤️
Haruki terkejut melihat emoji hati itu. Sebuah senyum merekah di bibirnya, dan ia tak bisa menyembunyikan rasa senang di dadanya. Dengan senyum yang masih membekas, ia mematikan lampu. Perlahan matanya terpejam, membiarkan bayangan Rin menemani malamnya.
Di kamar sebelah, Rin juga tengah tersenyum di balik selimut. Hatinya dipenuhi rasa bahagia. Ia berharap hari esok cepat datang agar bisa kembali bertemu dengan Haruki di sekolah.
Angin malam berhembus kencang, menembus jendela yang sunyi. Namun di balik keheningan itu, ada dua hati yang berdebar tak sabar, menanti pagi yang akan membawa mereka kembali bersama.
(Bersambung….)