Neil sudah meninggal, suami yang terobsesi padaku, meninggal dalam senyuman... menyatakan perasaannya.
"Jika aku dapat mengulangi waktu, aku tidak akan membiarkanmu mati..." janjiku dalam tangis.
Bagaikan sebuah doa yang terdengar, kala tubuh kami terbakar bersama. Tiba-tiba aku kembali ke masa itu, masa SMU, 11 tahun lalu, dimana aku dan Neil tidak saling mengenal.
Tapi...ada yang aneh. Suamiku yang lembut entah berada dimana. Yang ada hanya remaja liar dan mengerikan.
"Kamu lumayan cantik...tapi sayangnya terlalu membosankan." Sebuah penolakan dari suamiku yang seharusnya lembut dan paling mencintaiku. Membuatku tertantang untuk menaklukkannya.
"Setan! Aku tau di bagian bawah perutmu, tepat sebelum benda pusakamu, ada tahilalat yang besar!" Teriakku padanya. Membuat dia merinding hingga, menghentikan langkahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengikuti
Ada yang namanya sifat kedewasaan, itulah yang disadari olehnya. Bianca bukan merupakan saudara kandungnya. Tapi merupakan anak adopsi, sebagai rasa terima kasih, mendiang ayah Bianca telah bersedia mendonorkan jantungnya pada Dirgantara (ayah Cheisia).
Pada kehidupan sebelumnya, sebelum waktu terulang, dirinya berpura-pura tegar, berpura-pura bersifat dewasa. Tapi Bianca selalu melemparkan tuduhan bahwa Cheisia menganiaya Bianca.
Tapi, sekarang tidak lagi, waktu akan berputar terbalik.
Manipulatif... itulah yang dipelajari oleh Cheisia. Untuk apa sok tegar?
"Ibu..." pinta Cheisia lagi memelas.
"Tidak!" Tegas Sela."Lihatlah Bianca, apa dia pernah meminta macam-macam pada ibu!?"
"Ibu ... tolong aku janji tidak akan minta macam-macam lagi. Tolong ya?" Cheisia memijat bahu ibunya, berpura-pura menjadi anak yang manis dan manja.
"Kakak, tidak seharusnya kamu begitu pada ibu. Merengek hanya karena seorang pria. Dia bukan pria baik, kak Hazel---" Kalimat Bianca disela.
"Hazel? Hazel menjemputmu tadi siang! Hazel menyukaimu, kamu fikir aku tidak tau. I...ibu, aku patah hati..." Cheisia kembali merengek mengadu bagaikan anak kecil."Jika ibu tidak mengijinkan aku pindah sekolah. Aku akan bunuh diri!" Tegasnya menaiki tangga dengan cepat.
"Cheisia! Cheisia! Cheisia! Cheisia!" Teriak Sela mengejar putrinya, tidak ingin sang putri bertindak gegabah.
"Kakak sedang emosi, biar aku yang bicara pada kakak." Bianca tersenyum menghela napas kasar.
"Baik, ibu mengandalkan mu. Cheisia memang sering membuat masalah." Gerutu Sela.
Tapi apa benar Cheisia tidak menyadarinya? Gadis itu mendengar segalanya dari lantai dua, segera masuk ke dalam kamar setelah memastikan Bianca naik ke lantai dua.
Senyuman menyungging di wajahnya. Inilah saatnya untuk memutar balik keadaan.
Sedangkan Bianca, membuka pintu kamar Cheisia dengan kasar beberapa saat kemudian."Mati saja sana! Lagipula tidak akan ada yang peduli padamu."
"Ada! Ibu peduli!" Cheisia tertunduk sembari merengek, padahal sejatinya merekam semua yang dikatakan Bianca menggunakan handphonenya.
"Peduli? Ayah dan ibumu lebih menyayangiku yang sudah jelas-jelas berprestasi. Bukan sepertimu yang tidak punya otak. Bahkan Hazel sekalipun lebih menyukaiku bukan? Walaupun kamu yang mendonorkan hati untuknya, tapi Hazel lebih mencintaiku." Bianca tersenyum mendekat menjambak rambut Cheisia.
Sedangkan Cheisia hanya dapat tertawa dalam hati. Hazel mencintai Bianca? Tidak! Dirinya menyadari dalam kehidupan sebelumnya, Hazel menyukai Bianca hanya karena kebohongannya saja. Bianca yang mengaku-ngaku mendonorkan hatinya untuk Hazel.
Gila! Bahkan luka pasca operasi di perut Cheisia masih terkadang perih hingga kini. Tapi Bianca malah memanfaatkan situasi.
Namun, sekarang bukan saat yang tepat mengungkapkan segalanya."Ibu! Bianca menjambak rambutku!" Teriak Cheisia, menangis lebih keras.
Bianca membulatkan matanya, kemudian berpura-pura jatuh tersungkur di lantai. Berpura-pura menunduk sembari menangis.
Dengan cepat Sela naik ke lantai dua. Menatap kedua orang remaja yang menangis bersamaan.
"A...apa yang terjadi?" Tanya Sela. Biasanya Bianca yang dianiaya dan dikucilkan oleh Cheisia, setidaknya begitulah yang ada di mata Sela. Tapi sekarang mengapa putri kandungnya ikut menangis?
"I...ibu, kakak tidak sengaja mendo---" Belum sempat Bianca menyempurnakan dramanya.
Cheisia menangis semakin kencang, berlari ke pelukan Sela."Bianca menjambak rambutku. Lihat! Beberapa helai bahkan ada di tangannya. Aku tidak mau tau, ibu aku ingin ke salon. Bagaimana jika aku jadi botak?"
Kata demi kata bagaikan seorang remaja lugu. Tapi menusuk tepat sasaran. Membuat Bianca bungkam sesaat berusaha membuat alasan."Cheisia mendorong---"
"Aku kan sudah janji akan damai denganmu jika ibu mengijinkan aku pindah sekolah. Tapi kamu malah menarik rambutku. Ibu..." Cheisia memelas bertambah terlihat manis dan manja dari waktu ke waktu.
"I...ibu kakak..." Kalimat Bianca terhenti kala Sela menghela napas kasar.
"Bianca, ada rambut Cheisia di jari tanganmu. Lebih baik kamu instrospeksi diri. Dan Cheisia, kamu tidak serius akan mencoba bunuh diri kan?" Sela menggenggam jemari tangan putrinya.
"Aku tidak serius, hidup masih panjang. Lagipula aku ingin pindah bukan karena pria yang baru pertama kali aku temui. Aku ingin pindah karena di sana ada ekstrakurikuler teater dan piano. Ibu tau kan aku suka main piano. Nanti aku buatkan lagu khusus untuk ibu, jika ibu mengijinkanku pindah." Jika sudah seperti ini bagaimana Sela tidak akan luluh? Sang putri yang memeluk ibunya erat.
"Seharusnya kamu konsentrasi belajar seperti Bianca. Jika kamu bercita-cita menjadi artis, siapa yang akan meneruskan perusahaan?" keluh sang ibu.
"Masih ada Bianca..." Kalimat Cheisia membuat Bianca diam-diam tersenyum.
Tapi.
"Oh! Aku salah bicara! Aku tidak pintar dalam akademis, mungkin aku akan mencari suami yang pintar, diktator dan kompeten untuk menangani perusahaan. Lalu mewariskan semuanya pada cucu-cucu ibu. Agar perusahaan tidak diambil oleh orang yang tidak memiliki hubungan darah." Lanjut Cheisia. Kata demi kata yang membuat Bianca mengepalkan tangannya.
Perusahaan, keluarga, dan Hazel semuanya adalah miliknya. Cheisia yang bodoh tidak pantas untuk segalanya.
"Dasar!" Tidak ada bantahan dari sang ibu."Sini biar ibu sisir rambutmu..."
Cheisia hanya mengangguk sembari tersenyum. Manja? Berpura-pura tidak mengetahui tentang dunia? Itulah cara terbaik mengendalikan hati orang tuanya.
Meninggalkan Bianca yang menunduk. Biasanya dapat dengan mudah mengendalikan situasi. Dirinya hanya tinggal menangis dan menunjuk ke arah Cheisia. Tapi sekarang Cheisia ikut menangis?
*
Tidak seperti di kehidupannya yang lalu, sebelum waktu terulang. Ibu yang membencinya, selalu berprasangka padanya. Bahkan ibunya lah yang membuat dirinya dan Neil berpisah.
Rasa kasih? Bagaikan berkurang dan membeku. Tapi ibu memang satu-satunya tempat untuknya berlindung.
"Coba kamu ceritakan Neil seperti apa? Orang yang membuatmu ingin pindah sekolah?" Tanya sang ibu, menyisir rambut putrinya.
"Dia...aku tidak tau. Yang jelas saat bertemu ibu tidak akan menyukainya. Omong-ngomong nanti kita membuat brownies untuk ayah dan Bianca ya?" Ucap Cheisia tersenyum.
"Kamu boleh pindah..." Keputusan sang ibu, mungkin dengan ini, putri kandung dan adopsinya akan akur.
"Aku sayang ibu!" Sang putri yang memeluk ibunya erat.
Di kehidupannya yang lalu sebelum waktu terulang. Cheisia akan mengurung diri, kecewa pada orang tuanya yang lebih membela akting Bianca. Tapi tidak sekarang, hati ayah dan ibunya adalah miliknya.
Walaupun samar, saat kebakaran terjadi. Dirinya mendengar suara sang ibu yang menangis dari bagian luar bangunan yang terbakar. Cheisia dapat keluar dari kebakaran saat itu melalui jalur yang ditunjukkan Neil sebelum kematiannya, tapi dirinya lebih memilih mati bersama Neil. Sebuah tangisan dan pernyataan rasa kasih serta penyesalan dari sang ibu.
"Cheisia! Cheisia! Ibu mencintaimu! Lepaskan aku! Putriku terbakar di dalam sana! Biarkan aku menyelamatkannya. Cheisia! Ibu tidak akan menghalangi kebahagiaanmu lagi! Cheisia jangan mati! Cheisia!" Kurang lebih itulah yang diteriakkan ibunya dari luar sana, di kehidupan lalu. Sebelum waktu terulang.
Kalimat demi kalimat yang membuatnya yakin betapa besar cinta sang ibu sejatinya. Tapi sayangnya berselimut dusta dan tuduhan Bianca padanya.
Cheisia mengepalkan tangannya, akan merebut segalanya dari Bianca kali ini.
*
Pindah secepatnya! Dirinya ingin pindah keesokan harinya. Ingin cepat-cepat keluar dari sekolah sebelumnya, dimana lingkungannya telah dikuasai Bianca. Sekolah lama dimana dirinya selalu tersisihkan, sebab tuduhan tidak berdasar Bianca.
Kini dirinya menghirup napas panjang. Kala mobil mengantarnya berhenti di tempat parkir sekolah.
Sekolah yang cukup elite, dimana penghuninya terdiri dari putra dan putri pengusaha, pejabat, serta seniman ternama. Ada dua jalur untuk memasuki tempat ini, kamu terlalu kaya, atau terlalu pintar.
Jalur beasiswa prestasi terbuka, maupun jalur umum. Kala itu Cheisia masih merupakan murid baru, matanya menelisik melihat ada beberapa orang yang mengamati tempat parkir khusus yang aneh.
"Maaf, aku siswa baru disini." Cheisia menyapa salah seorang siswi.
"Orang tuamu bekerja sebagai apa?" Tanya siswi yang disapanya. Mungkin ingin mengukur status sosial, berhati-hati dalam berteman.
"Ayahku Dirgantara Muller." Jawaban dari Cheisia membuat sang siswi bersedia berkenalan.
"Oh! Rupanya pemilik perusahaan kelas menengah. Jika begitu kamu aman, perkenalkan aku Jessie ayahku memiliki jabatan yang cukup tinggi di BUMN." Jessie memperkenalkan diri.
"Biar aku perkenalkan tentang sekolah ini terlebih dahulu. Ada sistem kasta yang harus kamu ketahui. Kasta pertama anak konglomerat yang kekayaannya di luar nalar. Kasta kedua, putra-putri pengusaha dan pejabat seperti kita. Dan kasta terendah anak dokter, jaksa, pengacara dan penerima beasiswa." Jelas Jessie membuat Cheisia hanya mengangguk.
Bukankah ini juga mirip dengan di luar sana, dimana sistem kasta berdasarkan kekuasaan? Entahlah, yang penting bertemu dengan Kakanda...
Kriet...
7 kendaraan masuk beriringan. Mobil dengan supir pribadi, ada pula yang mengendarai mobil sport. Benar-benar pamer kemewahan.
Tapi salah satu diantara 7 kendaraan yang baru masuk tersebut terdapat motor sport berwarna merah. Kala sang pemilik membuka helmnya, wajah rupawan itu terlihat.
Tidak ada wanita yang berani mendekat padahal mereka tertarik setengah mati.
"Kakanda! Adinda kangen!" Teriak Cheisia melambaikan tangannya.
Neil melirik dari jauh dengan wajah pucat pasi. Kemudian berjalan cepat agar tidak bertemu dengan wanita ekstrim yang terlalu mendebarkan.
"Orang gila itu lagi! Stalker!" Geram Neil dalam hati, tapi masih dengan raut wajah dingin. Bagaikan tidak peduli.
gedeq sm enric dan nail..