💔 Dikhianati & Dibangkitkan: Balas Dendam Sang Ibu
Natalie Ainsworth selalu percaya pada cinta. Keyakinan itu membuatnya buta, sampai suaminya, Aaron Whitmore, menusuknya dari belakang.
Bukan hanya selingkuh. Aaron dan seluruh keluarganya bersekongkol menghancurkannya, merampas rumah, nama baik, dan harga dirinya. Dalam semalam, Natalie kehilangan segalanya.
Dan tak seorang pun tahu... ia sedang mengandung.
Hancur, sendirian, dan nyaris mati — Natalie membawa rahasia terbesar itu pergi. Luka yang mereka torehkan menjadi bara api yang menumbuhkan kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali.
Bukan sebagai perempuan lemah yang mereka kenal, melainkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan siap menuntut keadilan.
Mampukah ia melindungi buah hatinya dari bayangan masa lalu?
Apakah cinta yang baru bisa menyembuhkan hati yang remuk?
Atau... akankah Natalie memilih untuk menghancurkan mereka, satu per satu, seperti mereka menghancurkannya dulu?
Ini kisah tentang kebangkitan wanit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Dinginnya Fajar Baru
Natalie menekan tombol daya. Layar monitor yang tadi menampilkan laporan keuangan terbaru Whitmore Group segera meredup. Ruangan itu, yang kini benar-benar menjadi miliknya, diselimuti bayangan yang menenangkan. Udara malam Jakarta yang tebal berhembus melalui celah kecil jendela, membawa serta aroma kemenangan yang terasa dingin di ujung lidah.
Kekuatan, ia menyadari, adalah pedang bermata dua. Ia telah menggunakannya untuk memotong ikatan toksik masa lalu, tetapi kini pedang itu berada di tangannya, berat dan menuntut tanggung jawab.
“Babak balas dendam selesai. Hidupku sebagai CEO dan ibu tunggal yang berkuasa, baru saja dimulai.”
Kalimat itu terngiang, sebuah mantra yang menggantikan setiap janji cinta yang pernah Aaron Whitmore bisikkan. Cinta adalah ilusi yang rapuh; kekuasaan adalah kebenaran yang solid.
Ia menyandarkan punggung ke kursi kulit mahal yang baru. Kursi itu adalah manifestasi fisik dari tekadnya—tidak lagi menyisakan jejak kegagalan, hanya efisiensi yang tanpa cela. Tangan kanannya bergerak, meraih bingkai foto yang diletakkan di sudut meja, jauh dari tumpukan dokumen. Di sana, Kenzo, putranya, tertawa lebar, mata gelapnya bersinar polos.
Untuk Kenzo, ia telah merangkak keluar dari jurang. Untuk Kenzo, ia telah belajar seni perang finansial dan hukum. Dan untuk Kenzo, ia harus belajar seni damai.
Pertemuan Pagi yang Sunyi
Keesokan harinya, fajar menyambutnya di rumah sederhana yang ia beli lima tahun lalu—rumah yang menjadi saksi bisu perjuangannya sebagai single mother tanpa nama. Maya sudah menata sarapan: bubur dan teh hangat.
"Kau yakin dengan keputusan ini, Nat?" tanya Maya, menyendokkan bubur ke mangkuk Kenzo. "Meninggalkan rumah yang baru saja kita menangkan, yang seharusnya menjadi simbol kemewahan Kenzo?"
Natalie memandang Kenzo yang sibuk bermain dengan sendoknya. "Rumah mewah itu, May, adalah kurungan emas. Aaron ingin Kenzo tumbuh manja dan terasing, seperti dirinya. Aku ingin Kenzo tahu bagaimana rasanya naik angkutan umum, bagaimana rasanya menabung untuk membeli mainan, bagaimana rasanya menghargai bukan meminta."
"Dan rumah mewah di Pondok Indah itu?"
Natalie menyesap tehnya. Matanya kini tajam, memancarkan kalkulasi seorang pemimpin. "Itu akan menjadi Whitmore-Ainsworth Foundation Headquarters. Fokusnya, menasihati wanita korban KDRT yang suaminya memegang kendali finansial penuh, dan menyediakan dana hukum. Itu adalah cara kita mengubah racun Aaron menjadi penawar bagi orang lain. Aaron akan melihat kantor pusat yayasan amal milik putranya di bekas rumahnya sendiri. Itu adalah pengingat harian akan kekalahannya."
Maya terdiam, mengangguk perlahan. "Kau tidak hanya membalas dendam, Nat. Kau menciptakan legasi."
"Tidak," koreksi Natalie dengan nada rendah. "Aku menciptakan perisai. Perisai yang terbuat dari keadilan dan reputasi yang tidak bisa ditembus oleh kebencian Aaron."
Kekosongan di Puncak
Dua minggu berlalu. Kehidupan baru Natalie adalah ritme antara ruang rapat Whitmore Group yang dingin dan malam-malam hangat bersama Kenzo. Di kantor, ia adalah CEO yang tanpa kompromi, membersihkan sisa-sisa korupsi Aaron dengan sapuan bersih yang tegas. Ia mengganti hampir semua dewan direksi yang setia pada Aaron, menanamkan darah baru yang berintegritas.
Salah satu tugas pertamanya adalah menelepon Tuan Hadiningrat, penasihat hukumnya yang setia.
"Tuan Hadiningrat, saya ingin Anda segera mengurus transfer seluruh saham mayoritas yang saya miliki di Whitmore Group ke dalam sebuah perwalian yang tidak dapat dibatalkan. Benefisiari tunggalnya adalah Kenzo Ainsworth, dan saya adalah wali perwaliannya hingga ia berusia 25 tahun," perintah Natalie.
"Nyonya, itu adalah total 55% saham perusahaan. Itu adalah kekayaan yang luar biasa," balas Hadiningrat, terdengar terkejut.
"Kekayaan itu bukan milik saya, Tuan. Itu adalah hak Kenzo sebagai pewaris sah. Saya hanya mengamankan tahta. Tugas saya adalah menjaga kursi ini tetap hangat dan kuat hingga waktunya Kenzo mendudukinya. Selain itu, pastikan Aaron menerima laporan bulanan tentang kinerja saham, yang jelas menunjukkan bahwa perusahaannya kini jauh lebih menguntungkan di bawah kepemimpinan saya," tutup Natalie, senyum tipis melengkung di bibirnya.
Ia tidak kembali untuk uang. Ia kembali untuk membuktikan bahwa ia adalah penguasa yang lebih baik.
Pertemuan Tak Terduga
Suatu sore, saat ia sedang meninjau pabrik utama Whitmore, sebuah pesan masuk ke ponsel pribadinya. Nomor yang tidak dikenal.
“Nat, ini aku. Aku tahu kau tidak ingin bicara, tapi aku harus bertemu. Ini bukan soal tuntutan. Ini soal... kita.”
Aaron Whitmore.
Jantung Natalie tidak berdebar, melainkan mengeras. Ia membiarkan ponselnya bergetar di atas meja. Rasa takut, amarah, dan benci—emosi-emosi itu sudah lama ia museumkan, dilapisi kaca tebal. Ia hanya merasakan kekosongan yang diisi oleh tujuan.
Ia membalasnya dengan satu kalimat yang dingin dan efisien:
“Tuan Whitmore. Semua komunikasi resmi harus melalui Hadiningrat & Associates. Subjek: Nafkah Anak.”
Namun, Aaron datang. Malam itu, ia menunggu di luar gerbang rumah sederhana Natalie. Sebuah mobil mewah hitam, yang ironisnya masih menjadi aset yang belum sepenuhnya dibalik nama, terparkir di bawah lampu jalan yang remang-remang.
Ketika Natalie keluar untuk membuang sampah, ia melihat Aaron. Pria itu tampak lebih tua, matanya cekung, dan setelan mahalnya terlihat kusut. Kekalahan telah mencabut aura arogan yang selama ini melindunginya.
"Natalie, kumohon," katanya, mendekat.
Natalie berdiri tegak, membiarkan gerbang besi memisahkan mereka. "Jangan membuat keributan di lingkungan ini, Aaron. Ada batas privasi Kenzo."
"Aku tidak datang untuk Kenzo!" suara Aaron meninggi, penuh frustrasi. "Aku datang untukmu! Kau tahu, Eliza meninggalkanku! Dia mengambil sisa-sisa uang tunai yang tersisa dan pergi. Aku sendirian, Natalie. Aku kehilangan segalanya."
Natalie menatapnya. Ia mencari setitik pun rasa kasihan, tetapi yang ia temukan hanyalah kehampaan. "Dan kau datang padaku? Setelah kau mengancam hidupku, merampas asetku, dan membuangku saat aku mengandung putra kandungmu?"
"Aku salah, Nat! Aku butuh bantuan! Kau bisa mengambil perusahaan itu, kau bisa mengambil segalanya, tapi... jangan biarkan aku sendirian. Kau adalah satu-satunya yang mengerti bagaimana rasanya menjadi Whitmore!"
Natalie tersenyum, senyum yang begitu dingin hingga mampu membekukan udara di antara mereka. "Kau salah, Aaron. Aku bukan lagi seorang Whitmore. Aku adalah Natalie Ainsworth, CEO yang mencopotmu, dan ibu dari Kenzo. Aku tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi Whitmore yang pecundang. Aku hanya tahu bagaimana rasanya menjadi pemenang."
Ia melangkah mundur, siap menutup pintu.
"Apa yang kau inginkan dariku, Nat?" bisik Aaron, putus asa. "Apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkan?"
Natalie memegang gagang pintu, menoleh untuk memberikan pukulan terakhir.
"Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, Aaron. Kau ingin kedamaian? Pergilah. Mulai sekarang, setiap aset yang kau lihat, setiap laporan keuangan yang kau baca, dan setiap sen yang kau transfer sebagai nafkah anak, adalah pengingat dari keadilan yang kau paksakan untuk kuambil."
"Nikmati hidupmu yang tanpa kekuasaan. Karena kekuasaan itu," Natalie menunjuk ke arahnya, "kini adalah milikku, dan akan kuwariskan kepada putraku, tanpa sepeser pun darimu."
Ia menutup gerbang besi itu dengan suara gemerincing finalitas, meninggalkan Aaron Whitmore sendirian, dalam kegelapan yang diselimuti kekalahan total.
Di dalam rumah, ia memandangi siluet Kenzo yang sedang tidur. Balas dendam memang telah selesai, tetapi pembangunan legasi baru, yang didasarkan pada kekuatan dan integritas, baru saja dimulai. Ia bukan sekadar Natalie yang kembali. Ia adalah The CEO.