Entah ini mimpi atau nyata, namun Jenny benar-benar merasakannya. Ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah suaminya setelah dia menikah beberapa jam lalu. Jenny harus dihadapkan dengan sikap asli suaminya yang ternyata tidak benar-benar menerima dia dalam perjodohan ini.
"Aku menikahimu hanya karena aku membutuhkan sosok Ibu pengganti untuk anakku. Jadi, jangan harap aku melakukan lebih dari itu. Kau hanya seorang pengasuh yang berkedok sebagai istriku"
Kalimat yang begitu mengejutkan keluar dari pria yang baru Jenny nikahi. Entah bagaimana hidup dia kedepannya setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Dengan Zaina
"Anak Ibu bahkan pernah bilang jika dia tidak akan pernah mau jatuh cinta lagi dan menikah. Trauma dalam dirinya terlalu besar, sampai membuat dia hampir stres dengan apa yang telah terjadi padanya. Nak Hildan sudah menyakiti hati dan fisik anak Ibu dan sebagai seorang Ibu, tentu saja tidak akan rela anaknya di perlakukan seperti itu!"
Mendengar itu Hildan hanya diam, dia mengerti bagaimana perasaan Ibu yang mengetahui jika anaknya telah di perlakukan tidak baik oleh suaminya sendiri. Mama juga tidak bisa melakukan apapun karena dia juga tidak akan bisa memaksa kehendak Ibu yang jelas sudah sangat kecewa pada anaknya ini.
"Tapi apa bisa untuk pertemukan sekali saja Jenny dan Hildan Bu? Biarkan mereka memikirkan solusi yang akan mereka ambil saat ini. Tidak bisa jika hanya kita yang berunding seperti ini"
"Saya harus tanyakan dulu pada Jenny, karena saya tidak mau memaksa anak saya lagi. Cukup sekali saya melakukan kesalahan, yaitu memaksa Jenny untuk menikah dan berakhir terluka seperti ini"
Di balik pintu kamar, Jenny terdiam. Mendengar percakapan yang ada di ruang tengah. Semuanya terasa semakin membuat bingung Jenny. Dia terdiam dengan memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Zaina sakit Bu, setidaknya izinkan Jenny bertemu dengannya. Dia terus memanggil nama Jenny setiap saat"
Jenny yang mendengar ucapan Mama terdiam. Dia juga merindukan Zaina, namun jika bertemu dengan Zaina maka dirinya juga harus bertemu dengan Hildan. Jenny masih merasa takut dan trauma dengan keadaan yang pernah terjadi diantara dirinya dan Hildan.
Terlalu banyak luka yang membuat Jenny trauma dan takut dengan Hildan. Bagaimana dirinya yang selalu salah di mata Hildan, hingga suaminya itu menyiksanya dengan begitu kasar.
Di dalam ruang tengah, Ibu masih bingung dengan keadaan saat ini. Ibu memilih untuk meminta waktu agar bisa berkomunikasi dengan Jenny.
Dan ketika Ibu masuk ke dalam kamar, dia melihat Jenny yang sedang duduk merenung di atas sofa dekat dengan jendela. Ibu mendekati Jenny dan duduk di sampingnya. "Jen, apa yang akan kamu lakukan saat ini?"
"Entahlah Bu, aku juga bingung. Saat ini aku tidak bisa kembali pada Mas Hildan, tapi aku juga tidak tega saat mendengar Zaina sakit karena aku. Aku juga begitu merindukan"
"Jika mau menemui Zaina, Ibu izinkan tapi untuk kembali lagi pada Hildan. Ibu tidak mau melihat kamu kembali terluka"
Jenny hanya mengangguk, meski dia juga belum kepikiran untuk kembali pada Hildan di saat sekarang dirinya sudah lelah untuk menanti cintanya Hildan selama ini.
Besok paginya Jenny sudah bersiap untuk menemui Zaina. Namun dengan dia meminta Ibu untuk menghubungi Mama agar Jenny bisa menemui Zaina tanpa sepengetahuan Hildan. Jenny tetap peduli pada Zaina karena dia sudah begitu sayang padanya. Dan akhirnya sesuai perjanjian maka Jenny bertemu dengan Mama mertuanya itu di sebuah Villa milik keluarga Hildan di pinggir kota.
Jenny memarkiran mobilnya di halaman Villa dan segera turun dari dalam mobil. Jenny berjalan masuk ke dalam Villa dan dia sudah langsung di sambut dengan teriakan anak sambungnya yang sudah seperti anaknya sendiri. Jenny langsung memeluk Zaina dan menggendongnya. Berjalan ke arah Mama yang sedang duduk di atas sofa dengan tersenyum padanya.
"Apa kabar Ma?" Jenny menyalami Mama dengan sopan, mau bagaimana pun Jenny tetap menghormati Mama sebagai mertuanya.
"Baik Nak, kamu apa kabar?"
"Baik juga Ma"
"Bunda Zaina sangat merindukan Bunda, kenapa Bunda tidak mau menemui Zaina?"
Jenny tersenyum pada anaknya itu, dia mengelus kepala Zaina dan mengecupnya lembut. "Bunda sedang ada urusan Nak, maafkan Bunda ya. Lain kali kalau memang Zaina ingin bertemu dengan Bunda, Zaina bisa mengajak Oma datang kesini dan kita bisa bertemu disini. Tapi tolong jangan memberi tahu Daddy terlebih dahulu ya. Karena Bunda masih belum bisa bertemu dengan Daddy"
Mendengar ucapan Jenny membuat Mama jelas sadar dan melihat bagaimana Jenny yang masih mempunyai rasa trauma akan Hildan yang selalu menyiksanya. Mama bisa mengerti bagaimana perasaan Jenny saat ini.
"Bunda pasti takut Daddy marahin dan pukul Bunda lagi ya? Bunda tenang saja karena Zaina tidak akan bicara pada Daddy jika Zaina bertemu dengan Bunda. Asalkan Zaina bisa bertemu dengan Bunda"
"Iya Sayang"
Mama tersenyum melihat cucunya yang kembali bersemangat meski sebenarnya keadaan Zaina juga masih sedikit demam. "Karena sudah bertemu dengan Bunda, jadi tolong Zaina harus mau minum obat dan harus mau sekolah"
"Iya, kalau Zaina tidak mau sekolah dan tidak mau meminum obatnya, nanti Bunda akan sedih dan tidak akan mau bertemu dengan Zaina lagi"
"Iya Bunda, Zaina tidak akan rewel lagi. Zaina akan rajin sekolah dan mau minum obat"
"Bagus kalau begitu, Nak"
Dan hari ini Jenny benar-benar menemani Zaina. Setelah anak itu minum obat dan Jenny langsung menemaninya untuk tidur. Jenny menatap wajah polos anaknya yang sedan terlelap itu. Mengelus kepalanya dengan lembut.
"Bunda sayang Zaina, apapun yang mungkin terjadi kedepannya. Pokoknya Bunda akan selalu menyayangi Zaina sampai kapan pun"
Jenny mengecup kening anaknya sebelum dia turun dari atas tempat tidur dan berjalan keluar dari kamar di Villa ini. Jenny menghampiri Mama yang sedang menyiapkan makan siang pesanannya di atas meja makan.
"Jen, ayo makan dulu"
"Iya Ma, terima kasih"
Mama menyodorkan makanan untuk menantunya itu. "Zaina tidur ya?"
Jenny menganngguk, dia mulai memakan makanannya dengan tenang. Meski dia juga tidak cukup tenang saat berhadapan berdua dengan Mama seperti saat ini. Pasti Mama akan menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan Hildan.
"Jen, apa kamu sudah yakin untuk bercerai dengan Hildan? Mama tahu kalau kamu pasti sangat terluka dan kecewa pada sikap Hildan padamu selama kalian menikah. Tapi Mama hanya kasihan pada Zaina yang begitu menyayangi kamu dan sudah menganggap kamu sebagai ibunya sendiri. Bukannya Mama menginginkan kamu untuk terus bertahan dengan anak Mama. Tapi, Mama sudah melihat perubahan dalam diri Hildan semenjak kamu meninggalakannya"
Jenny menghela nafas pelan, dia mengambil tisu dan mengelap bibirnya. Menatap Mama dengan tatapan yang sulit diartikan. "Maaf Ma, untuk saat ini Jenny benar-benar belum bisa bersama dengan Mas Hildan. Semua perlakuannya masih berbekas jelas dalam ingatana Jenny. Semuanya tidak mudah untuk bisa Jenny lalui, Ma"
"Mama tahu itu Nak, tapi apa setidaknya kamu bisa menunda dulu perceraian ini karena Mama yakin kalau kamu juga belum benar-benar yakin dengan keputusan kamu ini"
Jenny terdiam, dia juga merasa jika keputusannya ini diambil dengan secara gegabah hanya karena Jenny yang sedang tidak bisa berfikir jernih dengan fikirannya yang sedang benar-benar kacau.
Mama berdiri dan menepuk punggung tangan Jenny yang berada di atas meja. "Fikirkan baik-baik keputusan yang ingin kamu ambil itu"
Jenny terdiam melihat Mama yang berlalu dari ruang makan. Jenny hanya terdiam memikirkan ucapan Mama barusan. Sebenarnya memang benar jika dia juga tidak benar-benar yakin dengan keputusan yang dia ambil. Alasannya hanya karena dia yang masih mempunyai perasaan pada Hilan. Bodoh? Ya, memang dia sangat bodoh!
Bersambung
Kisah Vania judulnya Noda Dan Luka