Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drop!
Langit sore tampak kelabu, menggantung di atas atap sekolah. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga dari taman belakang. Suasana koridor mulai lengang, siswa-siswi sudah banyak yang pulang, tapi langkah Margaret justru terasa semakin berat.
Sejak siang tadi, tubuhnya mulai terasa ringan—terlalu ringan seperti melayang. Pandangannya kabur, suara-suara di sekitarnya seperti berputar cepat dan perlahan dalam waktu yang sama.
“Mar, lo gak papa?” tanya Karin, menahan lengan Margaret yang sempat terseret mundur beberapa langkah.
Margaret mengangguk lemah, meski keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Gue… cuma butuh air. Pusing aja.”
Karin mengerutkan kening. “Udah dari tadi lo pucat. Sini, gue anter ke UKS.”
Tapi sebelum Margaret sempat menjawab, matanya mulai gelap. Seluruh dunia seperti runtuh tanpa suara.
Bruk!
Tubuh Margaret jatuh di lantai koridor. Beberapa siswa yang masih ada langsung menjerit panik. Karin berlutut cepat, mengguncang bahunya, “MARGARET!”
Prince dan teman-teman nya yang sedang berjalan di koridor langsung membalikkan badan saat mendengar suara itu. Begitu melihat tubuh Margaret tergeletak tak bergerak dengan darah segar di hidung nya, darahnya serasa berhenti mengalir.
“YANG!!!”
Ia berlari, lututnya menghantam keras lantai saat berlutut di samping Margaret. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat tubuh kekasihnya ke dalam pelukannya dan berlari menuju UKS, tanpa peduli semua mata yang menatap, tanpa peduli siapa pun yang berteriak menyuruhnya berhenti.
“BERTAHAN YANG, JANGAN TIDUR!” suara Prince parau, gemetar menahan kepanikan.
Di dalam UKS, suasana kacau. Suster panik, memanggil ambulans karena napas Margaret mulai memburuk. Prince menggenggam tangan Margaret erat, wajahnya pucat.
“Gue gak bisa kehilangan lo, Yang… tolong, jangan tinggalin gue,” bisiknya dengan mata basah.
Margaret membuka matanya perlahan, samar. Bibirnya bergetar.
“Prince…”
“Iya, gue di sini. Ayang di sini. Jangan ngomong, ya. Lo bakal baik-baik aja.”
Tapi sebelum sempat menjawab, mata Margaret kembali menutup. Monitor detak jantung mulai mengeluarkan suara peringatan.
Di Rumah Sakit…
Ruangan putih menyambut keheningan yang menyesakkan. Selang infus kembali tertancap di lengan Margaret. Hidungnya terpasang selang oksigen. Di kursi samping ranjang, Prince duduk mematung, menunduk dalam diam.
Perawat Siska melangkah masuk, menatap Prince dan menghela napas.
“Dia drop lagi,” ucapnya pelan. “Kondisinya menurun cepat. Kita harus mulai pertimbangkan perawatan lanjutan di ruang isolasi.”
Prince tidak menjawab. Tatapannya terpaku pada wajah pucat Margaret.
“Kenapa bukan gue aja yang sakit… kenapa harus dia…” gumamnya lirih.
Tangannya menggenggam tangan Margaret yang dingin. Di balik dinding kaca, Karin berdiri sambil menangis, ditemani Arkan yang menatap kosong ke arah Margaret… dengan ekspresi sulit ditebak.
Sudah hampir lima jam sejak Margaret dilarikan ke rumah sakit. Prince belum beranjak dari kursi itu. Tangannya tetap menggenggam tangan Margaret seolah takut jika ia melepaskannya, maka gadis itu akan menghilang begitu saja.
Hanya suara detak monitor dan alat bantu pernapasan yang menjadi saksi keheningan mereka.
arkan masuk kedalam ruangan tatapan nya dingin menatap Prince yang tertidur lalu menatap Margart yang masih tak sadarkan diri.
Arkan mengusap lembut wajah Margaret jari-jari nya terus mengusap wajah pucat itu.
“Gue pastikan Lo gak dilukai lagi, Mar. Gue mau Lo… tetap hidup. Dan bahagia. Sama dia" Arkan menghentikan ucapan nya menatap Prince sejenak.
"Atau... kalau enggak bisa... sama Gue.” ujar nya tersenyum bukan senyum manis melainkan senyum yang mengandung makna yang dalam.
___________________
Langit sore tampak mendung. Di ujung koridor lantai dua, seorang pemuda duduk bersandar pada dinding dekat jendela terbuka. Angin lembut berhembus, menggoyangkan rambut hitam legam Arkan yang tampak begitu tenang... dan asing.
Tatapannya tertuju ke arah lapangan, namun jelas pikirannya tidak berada di sana.
Tak ada yang tahu pasti siapa Arkan sebenarnya. Ia masuk sekolah itu tanpa banyak bicara, tanpa banyak teman. Namun anehnya, nilai akademiknya sempurna, kehadirannya tak pernah tercatat absen, dan tak pernah ada satu pun guru yang menyalahkannya.
Beberapa siswa mengaku pernah melihatnya berada di tempat yang seharusnya mustahil: di perpustakaan tengah malam, di ruang OSIS saat sedang terkunci, bahkan berjalan di lorong belakang saat lampu sekolah padam total.
Namun setiap ditanya, Arkan hanya akan tersenyum tipis dan mengalihkan pembicaraan.
Hari itu, ia menggambar sesuatu di buku sketsanya. Goresan tangan Arkan tampak lincah dan teratur. Namun jika ada yang melihat lebih dekat, mereka akan menyadari—gambar itu bukan sekadar bentuk acak, melainkan simbol yang sama dengan yang ditemukan di luka-luka para siswa yang koma.
Dia berhenti menggambar saat suara tawa Margaret terdengar samar dari lantai bawah. Pandangannya berubah. Matanya menggelap sejenak.
“Margaret...” bisiknya lirih.
Senyumnya muncul lagi. Tipis. Tidak menyenangkan.
Di tangannya, simbol yang baru saja selesai digambar—samar-samar mulai bersinar dengan cahaya redup
Pertama kali Arkan melihat Margaret—hari itu langit gerimis dan sekolah tampak lebih sunyi dari biasanya. Ia berdiri di lorong lantai atas, memandangi halaman dengan tangan bersilang di dada, saat langkah cepat Margaret melintas di bawahnya, tanpa menyadari bahwa sedang ada sepasang mata yang mengawasinya dari ketinggian.
Rambut Margaret basah karena hujan, seragamnya kusut, dan wajahnya lelah. Tapi... saat dia tersenyum tipis pada sahabatnya yang menyusul dari belakang—di sanalah sesuatu dalam diri Arkan seperti terhenti.
Dia tak tahu namanya waktu itu. Tapi sejak hari itu, Arkan mulai memperhatikan gerak-geriknya. Cara Margaret menyentuh rambutnya ketika gugup. Cara dia tersenyum, meski matanya tampak sayu. Cara dia berpura-pura kuat padahal tubuhnya semakin hari semakin melemah.
Arkan tidak jatuh cinta dalam arti biasa. Ia tertarik... lebih dari itu. Margaret punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain—cahaya. Tapi bukan cahaya biasa. Cahaya yang hanya bisa dilihat oleh Arkan.
Dia menyebutnya “jiwa yang melawan takdir.”
Dan itu membuat Arkan penasaran.
Setiap luka yang tersembunyi di balik senyum Margaret seperti berbicara padanya. Arkan bukan penyelamat. Dia bukan pahlawan. Tapi entah mengapa, keinginan untuk... memiliki cahaya itu, memilikinya sepenuhnya—mulai tumbuh seperti akar di dalam dada.
Sejak hari itu, Arkan selalu memastikan dirinya ada di mana pun Margaret berada.
Tanpa suara.
Tanpa jejak.
Hanya mata gelapnya yang terus mengamati dari bayang-bayang, menyimpan satu pertanyaan: