NovelToon NovelToon
Tuan Valente Dan Tawanan Hatinya

Tuan Valente Dan Tawanan Hatinya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Obsesi / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Pelakor jahat
Popularitas:976
Nilai: 5
Nama Author: Miss Saskya

"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"

"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"

"Kau terlalu berani Signorina Ricci"

"Aku bukan mainan mu"

"Aku yang punya kendali atas dirimu"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kelakuan Gabriel

Mobil hitam itu meluncur mulus melewati gerbang besi tinggi rumah keluarga Ricci.

Aurora menunduk sesaat, merasakan jantungnya berdegup tak beraturan. Tangannya meraih gagang tas di pangkuan, mencoba menenangkan gemetar yang masih tertinggal.

Kairos tetap di kursi setir, tubuhnya tegap, jemari panjangnya masih menggenggam lingkar kemudi. Matanya lurus ke depan, seakan keberadaan Aurora di sampingnya sudah tak lagi penting.

Aurora menoleh.

Menatap wajah pria itu dari samping, profil rahang tegas, sorot mata abu-abu yang dingin, dan ekspresi tanpa celah.

“Terima kasih” ucap Aurora lirih, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk didengar.

Tidak ada balasan.

Kairos tidak menoleh, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Hanya tatapannya yang tetap menusuk ke jalan di depan, seolah gadis di sampingnya hanyalah penumpang sementara yang tidak berhak atas perhatiannya.

Aurora menggigit bibir. Perasaan getir menyesaki dadanya, tapi ia tahu percuma menunggu jawaban. Dengan gerakan hati-hati, ia membuka pintu mobil.

Aurora melangkah keluar, hak sepatunya menyentuh bebatuan halaman rumah.

Begitu pintu mobil tertutup, suara mesin meraung halus.

Mobil hitam itu melaju cepat meninggalkan halaman Ricci tanpa menoleh lagi, meninggalkan debu tipis di udara dan hati Aurora yang terasa semakin sesak.

Aurora menatap punggung mobil itu yang makin jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, antara lega karena akhirnya sampai rumah, dan hampa karena pria itu pergi begitu saja tanpa kata.

Aurora masih berdiri di depan pagar besi bercat hitam yang mulai memudar.

Pintu rumah dua lantai itu berderit terbuka. Dari dalam, langkah tergesa terdengar.

Evelyn muncul lebih dulu, menyusul Gabriel dengan wajah kaku dan mata yang penuh bara. Aurora mengangkat wajahnya dengan senyum tipis, mencoba menyapa

“Mama... Papa...”

Namun yang menyambutnya bukan pelukan atau kekhawatiran. Gabriel langsung menghentak suara seraknya, penuh amarah.

“Anak sia~lan! Kau pikir kau bisa kembali dengan mudah setelah menghilang 2 hari begitu saja?!”

Aurora tertegun, kata-kata itu menusuk dadanya lebih tajam dari belati.

Evelyn melipat tangan di dada, menatap putri sulung tirinya dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan jijik.

Bibirnya melontarkan tuduhan tanpa ampun.

“Kau ke mana saja selama ini, hah? Jangan bilang kau menghilang hanya untuk menjual diri seperti ibumu dulu! Wanita murahan memang menurunkan darah murahan! Kau sama saja, Aurora!”

Aurora terdiam. Kata-kata 'ibumu' membuat hatinya serasa remuk.

Ia mundur selangkah, seakan ingin kabur dari kenyataan. Tapi Gabriel maju selangkah, menuding wajah putrinya sendiri.

“Kau membawa malu ke keluarga ini! Kau tidak pernah layak disebut anak Ricci. Seharusnya kau tidak pernah dilahirkan!”

Aurora berdiri kaku.

Apakah kehadiranku memang tidak pernah diperhitungkan di rumah ini?

Apakah aku benar-benar tidak berharga sampai saat aku menghilang, mereka bahkan tak punya sedikit pun rasa khawatir?

Aku hanya anak sia~lan di mata mereka.

Air mata Aurora jatuh, bukan hanya karena tuduhan itu, tapi karena kegetiran hidup yang tak memberinya ruang untuk bernapas.

Sejenak, dalam pikirannya terngiang kembali wajah dingin Kairos di mobil tadi, mata lelaki itu menatap kosong ke depan, seolah tahu tempat seperti apa yang menunggu Aurora di balik pagar rumah ini.

Aurora ingin bicara, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat.

Air mata lolos dari bibirnya, bercampur dengan rasa hina yang menusuk hingga ke tulang.

Peringatan: adegan berikut mengandung kekerasan fisik dan pelecehan emosional.

Gabriel melangkah cepat, menyingkap lengan Aurora, menariknya hampir kasar, lalu menyeretnya ke dalam rumah menuju gudang kecil di sisi rumah yang selama ini dipakai menyimpan barang-barang tua dan dokumen tak berguna.

Di dalam gudang, udara terasa pengap, kotak-kotak dan bayangan menutup segala jalan keluar. Gabriel menepuk pintu keras lalu membalikkan tubuh Aurora menghadapkan dirinya.

Tangannya gemetar bukan karena kelemahan, tapi karena amarah yang sudah mengendap lama. Kata-katanya kini berubah jadi hujan makian yang tak tertahan.

Gabriel menatap Aurora dengan wajah yang retak oleh dendam lama. Nafasnya memburu, matanya merah, kata-katanya keluar seperti semburan api.

“Dasar anak tak tahu diri! Kau pikir dunia ini berputar untukmu? Aku hancur, dan kau berdiri di sini, menatapku seolah tak bersalah! Anak pembawa sial! Andai kau tak pernah lahir, mungkin hidupku tak sekacau ini!”

Tangannya terangkat lagi, keras menampar wajah Aurora hingga tubuhnya terhempas ke kotak di sudut gudang.

Kayu itu berderit, Aurora tersungkur, wajahnya perih, darah segar merembes dari sudut bibirnya.

“Bangun!” bentak Gabriel, menendang kakinya. “Jangan pura-pura lemah! Kau hanya tahu menangis, seperti ibumu dulu! Dasar beban hidup!”

Aurora menggigil, tubuhnya gemetar, tapi ia tetap mencoba menegakkan diri. Satu langkah saja, tapi Gabriel kembali mendorongnya.

Punggungnya menghantam dinding dingin, nyeri menjalar ke seluruh tubuh.

Pukulan lain mendarat di bahunya, kemudian di perutnya. Napas Aurora terputus, ia memekik, namun suara itu tenggelam oleh makian Gabriel.

“Kau anak tak berguna! Setiap kali kulihat wajahmu, aku hanya teringat kegagalanku! Hutangku, usahaku, semua runtuh—dan kau berani kembali? Untuk apa? Untuk membuatku terlihat semakin hina?”

Air mata Aurora tumpah, bercampur dengan darah. Ia mencoba merangkak, mencari jalan keluar, tapi tangan kasar Gabriel menarik rambutnya, menyeretnya kembali ke tengah ruangan.

“Aku seharusnya mengusirmu sejak dulu! Kau bukan penolong, kau racun! Aku muak, Aurora! MUAK!”

Pukulan berikutnya menghantam wajahnya lagi. Lantai dingin menyambut tubuh Aurora yang terkulai, matanya kabur, telinganya berdenging.

Dalam kabut rasa sakit itu, Aurora hanya bisa berbisik, lirih, hampir tak terdengar, “Aku lelah Bun, aku mau ketemu Bunda."

Lalu tubuhnya terhuyung, ambruk, meninggalkan jejak darah di lantai gudang. Sunyi mendadak mencekam, hanya terputus oleh napas Gabriel yang terengah—dan kebencian yang belum padam di matanya.

Tbc🐼

1
lollipop_lolly
🥰
lollipop_lolly
gimana mansion keluarga Lendro Valente guyss?☺️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!