Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Pernikahan
Sebulan setelah lamaran yang menggemparkan di rumah keluarga Wijaya, dilanjutkan dengan tunangan seminggu kemudian, kini pusat aktivitas adalah mempersiapkan pernikahan. Dewi terlihat lebih bersemangat dalam mempersiapkan pernikahan putri sulungnya. Meski tubuhnya semakin kurus akibat efek kemoterapi, mata Dewi berbinar-binar membicarakan pernikahan Syama.
"Syima, coba telepon lagi Syama udah sampai mana?" tanya Dewi yang sudah sampai di butik untuk fitting terakhir gaun resepsi, diantar oleh Syima.
"Aku telepon dari tadi nggak diangkat. Pesan juga nggak dibalas," jawab Syima sedikit kesal sambil menatap ponselnya.
Beberapa hari terakhir Syama terlihat sangat sibuk, alasannya membantu penelitian Pak Hendra. Bahkan sering tidak pulang ke rumah, menginap di kost teman dengan dalih mengerjakan proyek mendadak.
"Syama kemana ya? Padahal dari semalam Ibu udah ngingetin jangan sampai nggak fitting, soalnya ini waktu terakhir buat benerin gaunnya kalau nggak sesuai keinginan Syama," kata Dewi sambil menatap gaun pengantin yang tergantung indah di dalam butik mewah.
Tak lama, sebuah pesan masuk dari Syama. Foto di mana dia sedang mengawasi kuis di kampus mewakili Pak Hendra. Syama pun meminta tolong Syima untuk mencoba gaunnya, karena menurut Syama, ukuran tubuh mereka tidak beda jauh.
Syima langsung berdecak kesal. Ini sudah kesekian kalinya Syama mangkir dari jadwal persiapan pernikahan, dan Syima selalu dikorbankan untuk menggantikannya.
"Syama yang mau nikah, kok jadi aku yang ribet, ya?" gerutu Syima sambil menutup ponselnya tanpa membalas pesan kembarannya.
"Kenapa, sayang?" Dewi bingung melihat Syima begitu kesal.
"Syama lagi ngawas kuis di kampus. Sekarang malah nyuruh aku yang nyobain gaunnya," Syima menghela napas frustrasi. "Dua minggu kemarin aku disuruh tester katering, sampai pilih menunya. Sampai nggak enak aku sama Pak Devan. Jadi kayak aku yang mau nikah."
Syima teringat peristiwa dua minggu lalu yang membuatnya sangat tidak nyaman. Devanka datang ke rumah untuk menjemput Syama mengajak bertemu event organizer membahas menu yang akan disajikan saat resepsi. Tapi Syama malah pergi dengan alasan ditelepon mendadak Pak Hendra untuk urusan kampus yang urgent.
Sedangkan EO sudah tidak bisa di-cancel, Syama malah menyuruh Syima untuk ikut bersama Devanka mewakili dirinya, dengan alasan Syima paling tahu selera Syama.
Sepanjang perjalanan empat puluh menit, Syima begitu canggung semobil dengan Devanka. Apalagi pria itu terlihat kecewa dan marah. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, dan dia tidak menegur Syima sama sekali. Atmosfer di dalam mobil sangat tegang hingga sampai di tempat tujuan, Devanka bahkan menunggu di teras, tidak ikut masuk mencoba menu ataupun menemui EO. Dia hanya menyuruh Syima yang memutuskan menu apa yang akan disajikan nanti. Hingga diantar pulang sampai rumah pun Devanka tidak mengajak bicara. Dan Syima memakluminya.
"Bu, aku nggak ngerti kenapa Syama jadi kayak gini," lanjut Syima sambil duduk di kursi tunggu butik. "Dia yang mau nikah, tapi kok malah sibuk sendiri. Pak Devan juga kelihatan frustrasi, tapi dia nggak bisa ngomong apa-apa."
Dewi menatap putri bungsunya dengan wajah khawatir. "Mungkin Syama lagi gugup sayang. Atau mungkin dia kelelahan dengan semua persiapan ini. Orang tua dulu bilang, masa-masa persiapan pernikahan itu rawan, banyak yang putus di saat seperti ini. Pasangan suka jadi lebih sensitif. Mungkin Syama lagi ada di fase ini."
"Gugup gimana, Bu? Ini kan dirancang sesuai dengan pernikahan impiannya. Harusnya dia semangat, bukan malah menghindar," kata Syima.
"Aku tahu dia sempat bilang belum siap menikah. Tapi kan ini dia sendiri yang mengiyakan pas orang tua Pak Devan melamar. Kalau ragu harusnya ditolak saja, mumpung baru kunjungan keluarga inti doang."
Dewi terdiam menerawang. "Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar ya, Syi." Entah kenapa hatinya begitu cemas.
"Iya, Bu. Acara nikahnya gede banget sampai undang presiden segala. Kalau sampai gak lancar... Pasti malu banget." Syima bergidik membayangkan hal buruk terjadi. "Amit-amit jangan sampai."
Dewi terkekeh melihat Syima heboh sendiri.
"Oh ya Bu, yang paling parah, pas nyobain kue, Syama nggak datang juga. Jadi aku yang harus nyobain puluhan jenis kue sama Tante Sinta."
"Pas nyoba kue nggak datang?" Dewi semakin khawatir.
Syima mengangguk. "Alasannya ada sidang proposal mendadak. Padahal Tante Sinta udah sengaja datang dari Jakarta buat nemenin. Aku ditelepon Syama pas di kampus buat gantiin, untung aja aku lagi nggak ada kelas."
Syima menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sampai malu sama Tante Sinta. Mana dia baik banget, sampai beliin aku baju karena katanya 'calon adik ipar harus cantik juga'." Syima tertawa kecil mengingat pakaian yang dibelikan Sinta, dress selutut berwarna pink dengan motif bunga-bunga. Syima sungkan menerima apa pun yang diberikan.
Dewi terdiam, mencoba memahami perilaku ganjil Syama. Sebagai ibu, dia merasakan ada yang tidak beres dengan putri sulungnya, tapi dia tidak bisa menebak apa.
"Menurut Syima, kenapa Syama jadi begini?" tanya Dewi pelan.
"Gak tahu, Bu. Mungkin dia beneran lagi cemas, atau..." Syima terdiam sejenak, "atau mungkin dia ragu lagi sama keputusannya."
"Ragu?" Dewi terkejut. "Jangan bikin ibu takut dong Syi. Ibu lihat Syama sangat cinta sama Devan."
"Iya emang, tapi cinta itu hal yang berbeda. Soal siap menikah juga itu hal lain," jawab Syima. "Mungkin dia baru sadar kalau menikah itu tanggung jawabnya besar. Apalagi sama keluarga seperti keluarga Pak Devan."
Sebelum Dewi bisa merespon, asisten butik menghampiri mereka.
"Maaf, Bu. Apakah putrinya sudah siap untuk fitting?" tanya wanita paruh baya itu dengan ramah.
"Eh, sebenarnya..." Dewi bingung harus menjelaskan bagaimana.
"Saya yang akan mencoba gaunnya mewakili kakak saya," kata Syima sambil bangkit dari kursi. "Dia sedang ada urusan kampus yang urgent."
"Oh, baik. Tidak masalah. Tapi nanti kalau ada yang perlu disesuaikan, kakaknya harus datang lagi ya," kata asisten itu.
"Tentu."
Syima masuk ke ruang ganti dan mulai mengenakan gaun pengantin yang sangat indah. Gaun berwarna broken white dengan detail renda yang rumit di bagian dada, lengannya panjang dengan payet mutiara-mutiara, dan ekor panjang yang juga dipayet dengan tangan. Ketika dia keluar dari ruang ganti, Dewi langsung terpesona.
"Ya Allah, cantik banget," bisik Dewi sambil meneteskan air mata. "Kalau Syama pakai ini, pasti sama cantiknya. Kamu kayak putri, sayang."
Syima menatap pantulan dirinya di cermin besar. Untuk sesaat, dia membayangkan bagaimana rasanya menjadi pengantin, ditatap dengan penuh cinta oleh seseorang yang akan menjadi pendamping hidupnya.
"Gimana rasanya ya jadi pengantin?" gumam Syima tanpa sadar.
"Pasti semangat sekaligus gugup," jawab Dewi sambil menyeka air matanya. "Ibu dulu juga begitu pas mau nikah sama Bapak."
"Ibu nggak ragu?"
"Ragu pasti ada. Tapi kalau udah cinta, ragu itu jadi hal yang wajar." Dewi tersenyum. "Yang penting yakin sama pilihan kita."
"Bu, seandainya suatu hari aku menikah. Ibu yakin nggak kalau aku akan bahagia?" tanya Syima tiba-tiba.
"Tentu saja Ibu yakin. Asalkan kamu menikah dengan orang yang tepat, yang mencintai kamu apa adanya," jawab Dewi. "Kenapa nanya begitu?"
"Nggak, cuma penasaran aja."
Syima mengangguk sambil terus menatap pantulannya. Tanpa sadar, dia membayangkan wajah seseorang, tapi bukan wajah calon suami, melainkan wajah Gama sahabat yang selalu ada di setiap situasi.
Selesai fitting, Syima keluar dari ruang ganti, dia melihat Dewi sedang menelepon seseorang dengan wajah khawatir.
"Iya, Nak. Syama memang lagi sibuk banget dengan urusan kampus. Iya, nanti Ibu suruh dia telepon kamu. Makasih ya sudah mengerti, Nak Devan."
"Pak Devan?" tanya Syima.
"Iya. Dia nanyain Syama. Kayaknya dia juga khawatir dengan sikap Syama akhir-akhir ini," jawab Dewi.
"Emang Pak Devan gak ketemu di kampus?" tanya Syima heran.
"Syama udah gak ada di kampus, mungkin udah pulang atau ada janji lain mungkin"
Syima menaikan kedua alisnya agak heran. Secepat itu Syama pergi setelah mengawasi kuis.
"Syima, tolong ya nanti bicara sama kakakmu. Ibh khawatir ada apa-apa."
"Nanti aku coba bicara sama dia."
Dalam perjalanan pulang, Syima terus memikirkan perilaku aneh Syama. Sebagai kembar, dia merasakan ada yang tidak beres dengan saudaranya. Tapi dia tidak bisa menebak apa.
Yang dia tahu, kalau Syama terus seperti ini, bukan hanya Devanka yang akan terluka, tapi seluruh keluarga akan terkena dampaknya. Apalagi kondisi Ibunya yang masih dalam masa pengobatan.
Syima hanya berharap, apapun yang sedang dialami Syama, kembarannya bisa menyelesaikannya sebelum terlambat. Karena waktu terus berjalan, dan hari pernikahan semakin mendekat.
love you..../Heart//Heart//Heart//Heart//Heart//Rose//Rose//Rose/
di tunggu gaya bucin pak Devan ....pasti konyol istriya tomboy suami ya kaya kanebo ga ada expresi... di tunggu update selanjutnya thor/Heart//Heart//Heart//Heart//Heart/