NovelToon NovelToon
Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Status: sedang berlangsung
Genre:Dark Romance / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:979
Nilai: 5
Nama Author: khalisa_18

Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.

Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.

Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.

Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hujan yang menyembunyikan rahasia

Hari-hari berikutnya berjalan pelan, seolah waktu sengaja melambat untuk memberi ruang pada luka yang belum kering. Kalea masih menatap hari dengan tatapan kosong, mencoba menata ulang kepingan kenyataan yang sudah terlanjur pecah. Byantara pun tetap memperlakukannya seperti biasa, seperti adik kecil yang harus ia jaga, ia lindungi, ia sayangi. Namun jauh di bawah lapisan itu, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak pernah berani mereka akui, bahkan pada diri mereka sendiri.

Kalea masih memanggilnya "abang."

Byantara masih menjawab dengan nada hangat yang sama.

Tapi ada jeda di antara kalimat, ada ruang sunyi yang tidak pernah ada sebelumnya.

Malam itu, sebelum tidur, Kalea kembali menulis di jurnal coklatnya, buku kecil dengan sampul sudah tergores-gores waktu. Tangannya bergetar saat tinta pena mulai menari.

Terkadang, kebenaran bukan untuk menyakitkan... tetapi untuk membebaskan.

Kalimat itu ditutupnya dengan titik berat. Lalu ia memeluk buku itu erat, seolah di dalamnya tersimpan nyawanya sendiri.

***

Sejak sore, hujan turun tanpa henti. Aroma tanah basah meresap sampai ke dalam dinding asrama perwira itu. Kalea menggulung tubuhnya di balik selimut tipis, menatap jendela yang dipenuhi butiran air. Angin berdesir masuk, membuat tirai putih menari dalam kelelahan. Ia memeluk lututnya, mencoba menahan semua yang menyesakkan dadanya.

Bukan soal latihan fisik, bukan pula latihan karatenya yang makin berat. Itu semua bisa ia hadapi. Yang tak bisa ia lawan adalah satu nama, satu sosok, satu suara yang kini selalu hadir di kepalanya.

Byantara.

Laki-laki itu.

Abangnya.

Atau... mungkin bukan.

Ia menutup wajah dengan telapak tangan, mengerang pelan. Mengingat kembali, betapa sejak kecil ia terbiasa berada di dekat laki-laki itu. Byantara yang menjemputnya pulang sekolah dengan motor trail ayah. Byantara yang selalu menungguinya makan malam. Byantara yang membacakan doa tidur setiap malam. Byantara yang dulu ia kira hanyalah "abang" dalam darah, nyatanya bukan.

Dan sekarang, setelah kebenaran itu terbuka, segalanya berubah... tapi juga tidak berubah. Ia masih memanggilnya "abang." Ia masih merasa aman ketika berada di dekatnya. Hanya saja kini ada sesuatu yang tak bisa dipaksa lagi untuk diam, hatinya.

Ia membuka jurnalnya lagi. Menulis dengan tangan gemetar.

17 April

Hari ini aku duduk lagi di sebelah Bang Byan saat makan malam. Dia cerita tentang rencana latihan tempur minggu depan. Matanya berkilat setiap kali membicarakan strategi, hutan, dan kehormatan. Aku hanya bisa diam mendengarkan. Aku tak berani menatap matanya terlalu lama. Bukan karena marah. Tidak. Tapi karena aku takut jantungku akan melompat keluar dan berlari ke arahnya, memalukan sekali.

Bang Byan... aku tahu aku salah. Tapi bagaimana mungkin perasaan bisa diperintah? Bagaimana mungkin aku menolak sesuatu yang lahir sendiri tanpa izin? Dunia boleh saja menganggap kita sedarah. Tapi kenyataan berkata lain.

Andai kamu tahu... betapa aku ingin kamu melihatku bukan sebagai adik kecilmu, melainkan sebagai seorang perempuan dengan senyum yang hanya ingin kamu jaga.

Dan mungkin semua ini hanya akan jadi surat yang tak pernah terkirim. Surat yang hanya akan tersisa di sini, di balik bantal, sampai suatu hari aku pergi darimu.

Kalea menutup buku itu. Air matanya jatuh satu-satu, membasahi tulisannya sendiri. "Tuhan... apa aku terlalu berdosa mencintai dia?" bisiknya pelan.

Sementara itu, di barak lajang, Byantara duduk sendirian di teras. Rokoknya terbakar separuh, tapi ia tak pernah menghisapnya. Hanya dibiarkan mengepul, lalu mati perlahan. Langit kelabu menutup semua bintang, tapi dadanya jauh lebih gelap.

Ia memandangi lampu jalan yang berjejer rapi. Tangannya menggenggam buku agenda lapangan yang kosong. Dari luar ia tampak tenang, gagah, tegap seperti biasa. Tapi di dalam, pikirannya berantakan.

Bayangan Kalea menghantui tiap inci ruang kosong. Sejak rahasia itu terbongkar, ada jarak yang muncul. Bukan jarak tubuh, karena Kalea masih ada di rumah, masih duduk di meja makan, masih lewat di depannya dengan rambut terurai. Tapi jarak itu terasa seperti tembok tak kasat mata. Dan tembok itu menyiksa.

Ia mencoba menyangkal.

Dia adikmu.

Tapi bukan darahmu.

Kamu yang menjaganya.

Tapi kenapa rasanya ingin lebih dari itu?

Byantara menghela napas kasar. Ia bukan pria yang pandai berkata-kata. Hidupnya lebih sering dipenuhi debu, peluh, dan disiplin ketat militer. Tapi bagaimana mungkin ia bisa bertarung melawan sesuatu yang tidak terlihat? Sesuatu yang bahkan tak bisa ia kalahkan dengan senjata apa pun?

Malam lain, Kalea kembali menulis.

22 April

Tadi aku tak sengaja mendengar Bang Byan menelepon seseorang. Suaranya pelan, ragu. Aku hafal nada itu. Nada yang hanya keluar kalau dia sedang benar-benar bingung.

Dia bilang, "Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Sejak rahasia itu terbongkar, aku nggak bisa pura-pura lagi. Rasanya... nggak bisa kayak dulu."

Jantungku hampir copot. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau. Untuk siapa kalimat itu, Bang? Untukku kah? Atau untuk orang lain yang lebih pantas dariku?

Aku ingin bertanya langsung. Tapi aku pengecut. Aku takut kehilanganmu, bahkan sebelum sempat aku menggenggammu.

Kalea menggigit bibirnya keras-keras. Lembar itu ia tutup cepat, seolah takut kata-kata itu bisa melompat keluar dan didengar dunia.

Byantara, di sisi lain, berusaha melupakan semua yang menghantuinya. Ia memilih tidur di barak, sibuk dengan latihan malam, patroli, bahkan ikut hiburan bersama rekan-rekan perwiranya. Namun setiap kali, rasa kosong tetap mengikuti. Tawa temannya terdengar hambar. Dentuman musik hanya seperti gema hampa. Dan di kepalanya selalu kembali, wajah Kalea, senyumnya, matanya yang memicing saat terkena sinar matahari pagi. Semua itu menolak untuk hilang.

Suatu malam, Byantara pulang larut. Pintu kamar Kalea terbuka sedikit. Cahaya lampu menyelinap keluar, memanggilnya untuk mendekat.

Ia melangkah pelan, bermaksud menutup pintu. Tapi pandangannya tertumbuk pada sosok gadis itu. Kalea tertidur dengan posisi meringkuk, buku coklat terbuka menutupi sebagian wajahnya. Nafasnya teratur, seperti anak kecil yang kelelahan.

Byantara menelan ludah. Matanya jatuh pada buku itu. Ia tahu betapa Kalea menjaganya. Ia tahu, itu lebih dari sekadar buku. Itu rahasia kecil gadis itu.

"Tidak bolehh," bisik hatinya.

Namun jemarinya bergerak sebelum otaknya sempat melarang.

Ia membuka sedikit.

Satu kalimat.

Satu paragraf.

Dan seketika itu pula, dunianya runtuh dalam diam. Ia terhenti, dadanya bergetar hebat. Tapi sebelum matanya menelusuri lebih jauh, ia menutup cepat buku itu. Diletakkannya di meja kecil. Lalu ia keluar, menutup pintu rapat-rapat.

Keesokan pagi, Kalea terbangun. Jurnalnya sudah berpindah tempat. Ia panik. Tangannya langsung meraba halaman terakhir. Ada lipatan kecil, tanda bahwa seseorang telah menyentuhnya.

Darahnya serasa berhenti mengalir. Nafasnya tersengal. Ia tahu siapa pelakunya.

"Bang Byan..." bisiknya lirih.

Hari itu ia berjalan kaku. Gelisah menggerogoti setiap langkahnya. Matanya terus melirik ke arah Byantara yang tetap tampak biasa saja, terlalu biasa. Apakah dia membaca? Apakah dia tahu? Kenapa dia tidak bicara apa-apa?

Malamnya, ketika semua sudah tidur, terdengar ketukan di pintu. Tiga kali, pelan, tapi tegas. Kalea langsung mengenali ritme itu.

"Bang..." suaranya bergetar.

"Apa yang kamu lakukan, Lea?" suara Byantara terdengar datar.

"Hanya... merenung," jawabnya.

Byantara masuk. Mereka duduk di kamar yang remang. Hujan turun lagi di luar, menambah sunyi yang makin berat. Beberapa menit hanya diisi suara jam dinding berdetak.

Byantara mengusap wajahnya. "Abang minta maaf... untuk semua rahasia besar kemarin."

Kalea cepat-cepat mengangguk. "Lea juga, Bang. Maaf..."

Sunyi lagi. Udara makin dingin. Tapi ada sesuatu yang bergetar di antara mereka. Sesuatu yang tak berani muncul sebagai kata.

Kalea menunduk. Byantara menatap lantai. Tak ada yang berani lebih jauh.

Namun keduanya tahu.

Ada perasaan yang menggantung.

Ada jarak yang harus dijaga.

Ada cinta yang belum boleh lahir.

Dan malam itu ditutup begitu saja, dengan rahasia masih terkunci di dada masing-masing.

Kalea berbaring kembali setelah Byantara keluar. Matanya menatap langit-langit, penuh pertanyaan.

Apakah dia membaca tulisanku?

Apakah dia tahu perasaanku?

Atau... dia sengaja pura-pura tidak tahu?

Tangannya meraba jurnal yang kini terasa lebih berat daripada senjata apa pun.

Dan di luar sana, Byantara berdiri lama di depan pintu kamar Kalea. Matanya menatap gelap. Tangannya mengepal. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tersangkut di tenggorokan.

Akhirnya, ia melangkah pergi, membiarkan malam menelan semua yang belum sempat terucap.

1
atik
lanjut thor... semangat 💪
Khalisa_18: Makasih KK, di tunggu update selanjutnya ya
total 1 replies
atik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!