Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Insiden
"Ia pergi ke bar seorang diri. Sudah kupastikan tidak ada pengawal yang mengikutinya, karena ia akan melakukan pertemuan rahasia di sana."
"Aku ingin kau membunuhnya."
"Hati-hati, ia cerdik dan pandai berkelahi. Kelemahannya ada pada perut bagian kiri, karena ia pernah mengalami luka tusuk yang dalam di sana."
Seseorang yang duduk di salah satu sofa bar terlihat sedang berkomunikasi melalui intercom¹. Ia menyesap anggurnya, namun matanya masih terus mengawasi pergerakan seorang lelaki yang duduk tak jauh darinya bersama seorang pria.
Lelaki itu sedang melakukan transaksi jual beli barang ilegal. Pakaiannya sangat tertutup dengan memakai jaket, topi, dan celana berwarna hitam. Jaket yang ia gunakan menutup hingga sebagian wajahnya, sehingga wajah lelaki itu tak sepenuhnya terlihat.
Sepuluh menit kemudian, dua manusia itu terlihat berjabat tangan. Lelaki berpakaian serba hitam itu segera meninggalkan bar. Di saat yang bersamaan, seseorang yang mengamati tadi langsung melaporkannya melalui intercom.
"Dia sudah keluar dari bar."
***
Di sebuah jalanan sempit yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu neon yang berpendar di trotoar basah akibat hujan yang baru reda. Kian baru saja keluar dari bar, karena melakukan pekerjaan ilegalnya.
Udara terasa dingin, tetapi ada sesuatu yang lebih menusuk dari itu. Instingnya memberitahu bahwa dia sedang diikuti.
Saat Kian melewati gang kecil, suara langkah kaki yang mengikuti dari belakang tiba-tiba menghilang. Hening. Sampai rasanya terlalu hening bagi Kian.
Kemudian, terdengar suara gesekan logam—sebuah belati berkilat di bawah cahaya lampu jalanan.
Tak ada senjata api, tentu saja karena Jepang sangat sensitif dengan suara bising. Ia pasti akan membunuh Kian dengan senyap, namun sayangnya Kian lebih dulu menyadari keberadaannya.
Kian berhenti melangkah, matanya menyapu bayangan di sekelilingnya. Tiba-tiba, dari sisi kanannya, seorang pria bertopeng hitam menyerang dengan belati, mengarah tepat ke lehernya.
Sontak saja Kian melompat ke belakang dengan gesit, menghindari serangan pertama, matanya tajam menatap pria bertopeng itu. "Sialan. Aku tidak suka kejutan di negeri orang."
Pria bertopeng itu tetap diam, hanya menggeram pelan, lalu menyerang lagi dengan belati, kali ini mengincar perut Kian. Sepertinya pria itu tahu, kelemahannya ada di perutnya.
Namun, Kian berhasil menangkis dengan lengannya, meski ujung belati itu sempat menggores bajunya, meninggalkan sayatan tipis di kulit. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya penuh kemarahan..
Kian menyeringai, melirik bekas luka di lengan jaketnya yang mahal. "Kau harus membayarnya, bajingan!"
Pria bertopeng itu kembali menyerang, tetapi Kian sudah lebih dulu bereaksi. Dengan cekatan, dia menghindar, menangkap pergelangan tangan pria itu, dan memutarnya dengan paksa.
Krek!
Suara itu terdengar, diikuti teriakan tertahan.
Pria bertopeng tersebut menggertakkan gigi, dan berusaha melepaskan diri. "Tch—!"
Mata Kian menyipit, ia masih menggenggam erat pergelangan lawannya. "Siapa yang mengirimmu?" tanya Kian dengan suara dingin.
Pria bertopeng itu berusaha menarik diri, tetapi Kian menekannya lebih keras, membuatnya berlutut kesakitan.
Dia menggeram, lalu tiba-tiba menarik sesuatu dari sakunya—sebuah kapsul kecil. Sebelum Kian bisa mencegahnya, pria itu menggigit kapsul tersebut dan dalam hitungan detik, tubuhnya mulai kejang-kejang.
Kian mengumpat, melepaskan cengkeramannya, menyaksikan mulut pria itu yang perlahan mengeluarkan busa. "Sial! Benar-benar profesional. Lebih memilih mati daripada berbicara."
Kian mundur selangkah, mengamati tubuh pria itu yang akhirnya diam, tak bergerak. Darahnya berdesir, bukan karena ketakutan, tetapi karena kemarahan. Siapa yang menginginkannya mati? Dan kenapa di Jepang? Apakah ini peringatan dari rival bisnisnya? Ataukah... ada kaitannya dengan kesepakatan yang baru saja ia buat dengan Takeshi?
Udara malam di Tokyo semakin dingin. Jalanan sepi itu kini terasa semakin mencekam setelah pria bertopeng pertama tewas dengan busa di mulutnya. Kian tidak punya waktu untuk berpikir panjang.
Namun, suara langkah kaki yang mendekat dari dua sisi gang membuatnya waspada kembali.
Dua orang pria berbadan kekar muncul dari bayangan, satu membawa pisau panjang, yang lain memegang pentungan besi. Mata mereka tanpa ekspresi, dingin, dan terlatih.
Kian menggeram dalam hati. Ini bukan serangan acak. Mereka memang sedang mengincarnya.
Kian mundur selangkah, mengamati posisi mereka. Punggungnya sudah menempel ke dinding batu. Sepertinya sudah tak ada lagi jalan keluarnya. Pilihannya hanya satu, melawan lagi atau melarikan diri.
Namun, sepertinya Kian tak bisa menghindarinya.
Kian menyeringai meski tubuhnya tegang.
"Ternyata aku cukup populer di Tokyo." Ucapnya dengan tersenyum miring.
Pria dengan pentungan bergerak cepat, menyerang dari samping. Kian berhasil menunduk, tetapi pria satunya sudah mengayunkan pisau tajam ke arah punggungnya.
*S*rek!
Tubuh Kian terhuyung. Rasa sakit menjalar cepat dari punggungnya, napasnya tertahan. Ia bisa merasakan kehangatan darah mulai merembes di balik jaketnya.
Namun, ini bukan pertama kalinya dia diserang. Rasa sakit adalah bagian dari hidupnya.
Kian mendesah kasar, menatap mereka dengan tatapan tajam. "Kalian lebih baik dari yang tadi, tapi masih lamban."
Dengan cepat, dia berputar, menendang pria dengan pentungan tepat di perutnya. Pria itu terhuyung ke belakang. Kian segera berlari menerobos celah sempit di antara mereka.
Pria berpisau berusaha menyerang lagi, tetapi Kian lebih cepat. Dia menyambar tong sampah di tepi gang dan melemparkannya ke arah mereka, menciptakan gangguan sesaat.
Darah terus mengucur dari punggungnya, tetapi Kian tidak berhenti. Dia berlari secepat mungkin, menembus gang-gang kecil Tokyo, hingga akhirnya menemukan jalan utama yang ramai.
Mata para pejalan kaki menatapnya dengan curiga—bagaimana tidak? Seorang pria asing berdarah dengan jaket yang robek, napas tersengal, dan tatapan tajam penuh kemarahan.
Setelah berhasil melarikan diri dari serangan di gang sempit Tokyo, Kian akhirnya terhuyung ke sebuah sudut jalan yang lebih sepi. Napasnya masih tersengal, jaket hitamnya sudah bercampur warna merah dari darahnya di bagian punggung.
Lampu-lampu kota berpendar di sekelilingnya, tetapi penglihatannya mulai kabur karena kehilangan darah.
Lalu, sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya.
Pintu terbuka, dan seorang pria tua dengan tatapan dingin namun penuh wibawa keluar dari dalamnya—Kaneshiro Takeshi.
Kian yang masih bertahan dengan sisa kesadarannya mengangkat wajah, lalu menyipitkan mata saat melihat Takeshi melangkah mendekat dengan langkah tenang.
Takeshi menatap Kian dengan ekspresi tak terbaca. "Begini caramu menjalankan bisnis di Jepang, Marchetti? Berdarah-darah di jalanan seperti preman rendahan?"
Mendengar itu, Kian terkekeh pelan meski tubuhnya jelas kesakitan. Ia berusaha berdiri tegak, meski gagal. "Kau harusnya tahu, Tuan Kaneshiro… orang sepertiku tidak akan mati semudah itu."
Takeshi mendengus, lalu memberi isyarat pada seorang pria bersetelan hitam di belakangnya. "Bawa dia masuk ke mobil."
Kian berdecak, mencoba menolak, tapi rasa sakit di punggungnya mulai menusuk-nusuk.
Ia mengerang pelan, tapi tetap mempertahankan nada sinisnya. "Kau selalu suka ikut campur urusan orang lain, ya?"
Takeshi menatapnya datar, ia memilih menyalakan rokoknya lalu mengisapnya pelan. "Aku hanya tidak ingin darah orang Italia mengotori jalanan Tokyo."[]
***
¹Intercom : sistem komunikasi elektronik yang digunakan untuk berinteraksi antar ruangan atau bangunan.
seruny......
nyesel klo g baca karya ini