Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangkitnya Pendekar Tua
Namun saat satu dari anak buah perampok menyerang dengan golok, Shantand tampak seperti tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya membungkuk seperti hendak menghindari serangan secara reflek.
Brak! Ughh!!
Kakinya yang tampak tak sengaja menjejak tanah, justru menyentuh tumit lawan. Anak buah itu tersandung dengan mulut mengumpat, dan sebelum ia sempat bangkit,
Plak! Plak! Kaiing!! Haduuh..!
Pantatnya dihajar tongkat bambu oleh Shantand. Lumayan keras, tapi cukup membuatnya terjungkal ke lumpur dan pantatnya pedas.
“Hei, dasar bajingan!” umpatnya.
Shantand menoleh ke arah penduduk desa dan berteriak sambil tertawa, “Ayo! Siram mereka dengan air comberan! Jangan takut!”
Warga desa awalnya ragu. Tapi suara tawa Shantand entah kenapa menular, dan seperti arus listrik menjalar ke semangat mereka. Beberapa pemuda mulai berlari ke belakang rumah mengambil ember. Ada yang berisi air bekas cucian tahu, ada yang benar-benar air got!
Crot! Byuur!
Satu per satu para penindas itu mandi “berkat” dari warga. Bau busuk menyeruak, dan pasukan perampok kehilangan wibawa seketika.
Ada yang mengeluh, ada yang marah sambil mengusap wajah, tapi mereka tidak bisa berkutik karena… mereka dikeroyok oleh emak-emak dengan centong panas, dan bapak-bapak dengan kayu jemuran!
Shantand sendiri hanya menghindar kiri-kanan, menggunakan tongkat bambu dengan gerakan santai. Seperti sedang menari dengan irama alam. Sekali tongkat itu menyentuh pundak musuh, tubuh mereka roboh seperti kehilangan tulang.
Pemimpin pasukan itu mengamati semua dengan mata melotot. “Apa yang kalian lakukan?! Mereka cuma petani! KALIAN PASUKAN TERLATIH!”
Shantand menoleh, wajahnya tetap tenang.
“Pasukan terlatih, ya? Tapi sayang hati kalian tidak terlatih.”
Amarah Ki Warok Kuriman sudah di ubun-ubun. Pemimpin pasukan yang dikenal kejam itu kini berdiri dengan urat leher menegang, menyaksikan tujuh anak buahnya tergeletak babak belur di tanah, wajah penuh sayur lodeh basi, tubuh penuh lumuran lumpur comberan.
“Penduduk desa rendahan berani-beraninya menghina pasukanku!” raungnya.
Ia menghunus cambuk panjang yang tersampir di pinggangnya. Suara ledakan mulai menggema ketika cambuk itu diayunkan dengan kekuatan penuh.
Cetar! Bletar! Pyarrr!
Udara terbelah. Suara cambuk meledak seperti petir. Tanah bergetar. Warga yang sempat tertawa mendadak terdiam.
Cambuk itu menyambar ke kiri, ke kanan. Pohon bambu patah. Sebuah kendi yang dilempar asal-asalan oleh Shantand melayang di udara. Ki Warok Kuriman menghantamnya dengan cambuk…
Duar!
Isi kendi meledak tepat di wajahnya. Warok itu kaget karena ternyata kendi itu berisi air tinja!
Warga yang awalnya kaget, kini menyaksikan air tinja dari kendi pecah itu mengguyur tubuh Ki Warok Kuriman dari kepala sampai dada. Bau menyengat langsung menyeruak. Cairan kental itu menetes dari kumisnya.
Shantand menutup hidung, menahan tawa.
Ki Warok Kuriman mematung, wajah merah padam—antara jijik, malu, dan marah yang tak tertahankan. Perutnya mual… lalu—
“HOOEEEKK!!”
Ia muntah di tempat, tubuhnya limbung.
Seluruh penduduk desa tak bisa lagi menahan. Sorak sorai meledak seperti petasan di hari panen.
“Hidup Shantand!” “Hidup Sukagabut!” “Hidup tahu dan comberan!”
Ki Warok Kuriman tertatih. Nama besarnya hancur seketika. Pasukan yang dulu ditakuti kini menjadi bahan olok-olok. Sementara itu, Shantand berdiri di tengah kerumunan, tongkat bambu di tangan, senyum kecil di wajahnya—dan tak ada satu pun yang menyadari bahwa pemuda sederhana itulah penyulut revolusi kecil hari itu.
Namun, ada satu sosok di atas pohon trembesi tua, duduk seorang lelaki uzur dengan rambut perak kusut, mengenakan baju lusuh dan celana goni yang tahu itu semua adalah ulah Shantand si Pemuda sederhana itu.
Di tangan kirinya sebatang tembakau linting masih mengepul perlahan. Ia menghisapnya dalam-dalam sambil mengamati kericuhan yang berakhir dengan gelak tawa penduduk dan cambuk kehormatan Ki Warok Kuriman yang kini jadi selimut tinja.
Mulutnya tersenyum.
Namun… di ujung matanya, setetes air mata mengalir jatuh.
“Bocah itu… dengan tongkat bambu… bisa mengguncang hati banyak orang,” gumamnya pelan, suaranya serak seperti gesekan batu tua.
Namanya Ki Welat kuning. Dulu ia dikenal di Daerah utara sebagai Pendekar Pring kuning, karena kehebatannya menundukkan para penjahat menggunakan senjata tongkat bambu kuning. Tapi putus cinta menghancurkan jiwanya. Sejak ditinggal kekasihnya yang memilih pria kaya, ia memilih jadi bayang-bayang di antara pepohonan, menyepi dan tak peduli dengan dunia yang perlahan membusuk oleh keserakahan.
Namun kini…
Hatinya terasa diguncang kembali. Bocah bernama Shantand itu—dengan wajah lugu, pakaian sederhana, dan tanpa pamrih—sanggup menggugah hati para petani dan penggembala untuk berani melawan penindasan. Terutama senjata yang digunakan berupa tongkat bambu seadanya seolah ikut memukul kesadarannya dengan telak!
“Seandainya dunia masih punya anak muda seperti dia… mungkin keadaan belum benar-benar rusak,” gumamnya lagi.
Ia menarik napas dalam, mengisap tembakaunya satu kali lagi, lalu mematikannya di batang pohon. Berdiri dengan perlahan, tubuhnya masih kuat meski renta karena dia tetap tak lupa melatih ilmu silatnya. Kini Matanya bersinar lain.
“Sukagabut akan kulindungi… jika keparat-keparat itu berani kembali.”
Matanya menyorot kan ucapan terimakasih kasih yang tanpa sengaja telah membangkitkan semangat hidupnya kembali.
Daun-daun trembesi gugur pelan ketika ia melompat turun, seolah langit pun menyambut tekad baru yang lahir kembali dari hati yang lama tertidur.
***
Usai kejadian kacau itu, desa Sukagabut bagai sarang lebah yang terbalik. Penduduk, tua muda, lelaki dan perempuan, semuanya bergerak cepat membersihkan sisa-sisa pertarungan dan kerusakan. Genteng pecah, warung ambruk, dan jalanan becek karena air comberan yang tadi digunakan sebagai senjata rakyat, kini mereka tangani bersama dengan wajah-wajah lega dan penuh tawa.
Shantand pun ikut serta. Ia memanggul genteng, menyapu halaman, bahkan membantu seorang nenek mengganti bambu pagar yang roboh.
Melihat kesungguhan anak muda ini, Pak Sutahu—kepala dusun yang berkumis tebal dan tubuh gempal—menepuk bahunya dengan ramah.
"Shantand, anak muda pemberani… ikutlah ke rumah kami.
Kami ingin menjamu orang yang telah membuka mata kami," ujarnya.
Di rumah panggung sederhana namun bersih itu, Shantand disuguhi makanan yang membuat perutnya langsung keroncongan: tahu goreng krispi dengan saus kecap irisan cabai, tahu kukus dengan taburan bawang daun, serta tahu isi sayur yang masih mengepul.
Ia menyuap satu… lalu matanya menyipit nikmat. “Wah… ini tahu terenak yang pernah kumakan sepanjang hidup.”
Pak Sutahu tertawa bangga. “Itu karena kami tidak hanya membuat tahu… kami merawatnya seperti anak sendiri! Dan karena kau telah menyelamatkan kami, aku akan membagikan rahasia tahu Sukagabut ini padamu.”
Pak Sutahu lalu membawa Shantand ke dapur belakang, menunjukkan proses fermentasi yang unik menggunakan air rendaman daun randu, pemilihan kedelai dari panen awal, dan perendaman dalam air sumur tua yang diyakini memiliki mineral khusus.
“Inilah rahasia kami: Tahu harus dibuat dengan melibatkan hati, bukan hanya tangan,” kata Pak Sutahu sambil tersenyum bijak.
Tak lupa sebagai bentuk Terima kasih, Shantand diberi bekal berbagai macam olahan Tahu oleh para penduduk Desa Sukagabut.
Shantand mengangguk, matanya berbinar penuh Terima kasih. Di tengah perjalanan hidupnya yang penuh pertarungan dan rahasia kitab kuno, ternyata dunia masih menyimpan rasa damai dan kehangatan yang tulus seperti ini.
Dan di dalam labu tuak, Bhaskara sang Tahu Ajaib ikut terharu dengan langkah yang telah diambil muridnya untuk menyelamatkan penduduk desa Sukagabut, bahkan hal ini belum pernah dia lakukan sewaktu dulu masih jadi Manusia Sakti...
Hal seperti itulah yang makin membuatnya bangga telah memilih Shantand menjadi muridnya.