Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Far Away
Dio
Usai Subuh ia memutuskan untuk mencari keringat dengan mengambil sepeda kesayangan, kemudian mulai mengayuhnya menyusuri sepanjang Jalan Kampus yang masih lengang, dengan ditemani pendaran lampu jalan, yang menimbulkan refleksi warna warni di sepanjang aspal yang basah karena bekas hujan semalam.
Sesampainya di pertigaan ia memilih belok kiri, menyusuri Jalan HR. Boenyamin. Melewati gedung Perpustakaan Pusat, kemudian kantor Rektorat Universitas tempat Ayah Bunda pernah mengabdi, terus ke bawah melewati deretan toko yang banyak membentang di sepanjang jalan, yang kesemuanya masih tutup. Sesekali sepedanya disalip oleh pemotor dengan muatan penuh, sepertinya baru pulang belanja dari pasar atau bahkan baru akan menggelar lapak dagangan.
Setelah melewati lapangan Bancarkembar, ia memilih belok kiri, lalu menghentikan sepedanya di depan Pasar Glempang. Yang sepagi ini sudah padat dipenuhi oleh hiruk pikuk pembeli. Kebanyakan ibu-ibu yang sedang berbelanja kebutuhan dapur dan rumah tangga.
Dari pintu utama ia memilih belok kanan, tempat dimana banyak mangkal penjual kembang atau bunga tabur untuk nyekar. Ia pun mendekati mbah-mbah sepuh yang paling sepi dagangannya.
"Tumbas kembange sekawan Mbah (beli bunganya empat Mbah)."
"Sing pintenan (yang berapa harganya)?"
"Wontene pintenan (adanya berapa saja)?"
"Tigangewu angsal, gangsalewu nggih onten (tiga ribu boleh, lima ribu juga ada)."
"Ingkang gangsalewuan mawon Mbah (yang lima ribuan saja Mbah)."
"Ndamel sekawan (buat empat bungkus)?"
"Nggih (iya)."
Dengan cekatan Mbah penjual kembang meracik pesanannya. Menyusun bunga mawar merah, mawar putih, potongan daun pandan wangi, dan kenanga di atas pincuk daun pisang. Dalam waktu singkat empat pincuk kembang pesanannya telah selesai.
"Maturnuwun Mbah (terima kasih Mbah)," ujarnya sambil mengangsurkan sejumlah uang dan langsung pergi.
"Lho Mas, niki jujule dereng (Lho Mas, ini kembaliannya belum)," Mbah penjual kembang memanggilnya.
Ia tersenyum sambil mengangguk, "Mboten usah jujul Mbah (nggak usah kembalian Mbah atau ambil saja kembaliannya)."
Mbah penjual bunga sempat tertegun sebentar sebelum akhirnya berkata tulus, "Maturnuwun sanget Mas. Mugi-mugi sing diparingi sehat, seger waras, rezeki melimpah saking Gusti Allah (Terima kasih banyak, Mas. Semoga diberi sehat, segar bugar, rezeki melimpah dari Allah)."
"Aamiin," ia kembali mengangguk kemudian bergegas pergi. Sebelum melangkah jauh sempat terdengar obrolan Mbah penjual kembang dengan penjual lapak di sebelahnya.
"Jan Alhamdulillah, esuk-esuk wis olih rezeki (Alhamdulillah, pagi-pagi sudah dapat rezeki)."
"Nopo Mbah? Saking Mas e mangkeniki (Apa Mbah? Dari Mas yang barusan)?"
"Iya. Wis bocaeh bersih, ngganteng, apikan maning. Wong tuwane mesti seneng banget nduwe anak kaya kae (Iya. Sudah anaknya bersih, tampan, baik hati lagi. Orangtuanya pasti bahagia punya anak seperti dia)."
Dari Pasar ia mengayuh sepeda ke arah utara, kembali menyusuri Jalan HR. Boenyamin. Setelah melewati kios angkringan ia lalu mengambil kanan, belok ke Jalan Gunung Muria. Menyusuri jalan tak terlalu lebar sepanjang hampir 1 km yang mulai ramai oleh aktivitas warganya juga anak-anak kost, yang banyak terdapat di sepanjang jalan tersebut. Ada yang sedang membersihkan halaman, berjalan berkelompok untuk olahraga pagi, atau sekedar jalan berdua mencari sarapan. Sementara itu matahari sudah mulai bersinar cerah di ufuk timur.
Sampai di ujung Jalan Gunung Muria, ia belok ke kiri ke Jalan DR. Soeparno. Disini suasana lebih ramai dengan kendaraan bermotor yang mulai banyak berseliweran. Kemudian belok kanan masuk ke Jalan A Jaelani. Setelah mengayuh beberapa ratus meter ia kembali belok kiri ke Jalan Perintis. Lalu belok kanan lagi, sampailah ia di jalan beraspal yang lebarnya kurang dari 2,5 meter. Melewati deretan rumah warga dan kebun sayuran. Barulah sampai di tempat tujuan, yaitu TPU tempat dimakamkannya Ayah Bunda.
Setelah mencabuti rumput liar yang mulai banyak tumbuh, ia pun menaburkan dua pincuk kembang yang tadi dibelinya ke makam Ayah, kemudian dua lagi ia taburkan ke makam bunda. Selanjutnya ia mulai berdoa.
"Dua minggu lagi Ade mau pergi jauh Yah, Bun," bisiknya pelan.
"Mungkin lama nggak bisa nengok makam Ayah Bunda."
"Allahummaghfìrlahu war hamhu wa 'aafìhìì wa'fu anhu, wa akrìm nuzuulahu wawassì' madholahu, waghsìlhu bìl maa'ì watssaljì walbaradì, wa naqqìhì, mìnaddzzunubì wal khathaya kamaa yunaqqatssaubul abyadhu mìnad danasì."
"Wabdìlhu daaran khaìran mìn daarìhì wa zaujan khaìran mìn zaujìhì. Wa adkhìlhul jannata wa aìdzhu mìn adzabìl qabrì wa mìn adzabìnnaarì wafsah lahu fì qabrìhì wa nawwìr lahu fìhì."
Dari makam, begitu tembus di Jalan Dr. Soeparno, harusnya ia belok kanan untuk pulang ke rumah. Namun insting alami membelokkannya ke sebelah kiri. Melewati gedung kampus FIB, Fapet, Faperta, gedung Pasca, ia masih terus melaju. Hingga melewati Rumah Sakit Gigi dan Mulut, kakinya masih saja mengayuh.
Hembusan udara segar pagi dengan pancaran sinar mentari yang hangat mulai menerpa kulitnya. Menimbulkan sensasi menyenangkan sekaligus menyegarkan. Dan ia pun terperanjat demi melihat bayangan dirinya sendiri di depan sana. Sedang mengayuh sepeda dengan sedikit kesusahan karena beban di atas rangka sepedanya.
"Aku berat ya?"
"Enggak, ringan."
"Buktinya kamu keberatan."
"Kuat kuat."
"Udah dibilang aku naik angkot."
"Lama nunggu angkot, keburu waktu habis."
Ia kembali mengayuh sepeda dengan semangat 45. Sambil berusaha menenangkan Anggi yang terus saja mengoceh, "Ntar balik ke sekolah aku naik becak aja deh."
Ia tak sempat menanggapi kalimat Anggi yang terakhir, karena sibuk menata degup jantung yang berdetak liar. Sebagai akibat dari ujung rambut Anggi yang beterbangan tertiup angin kemudian menyapu wajahnya.
Dua jam pelajaran terakhir hari itu adalah kimia, yang entah mengapa, baru kali itu terjadi, hampir sebagian besar anak-anak di kelas lupa membawa dan mengumpulkan tugas membuat tabel periodik mekanika kuantum dan mengerjakan soal-soalnya. Termasuk Anggi, Inne dan Bayu.
"Ibu kasih waktu sampai jam dua seperempat," setelah dibujuk oleh seisi kelas akhirnya Bu Nourma bersedia memberi perpanjangan waktu.
"Lebih dari jam dua seperempat, dianggap tidak mengerjakan, nilai minus 5," lanjut Bu Nourma tenang.
Membuat seisi kelas gaduh, ribut, sekaligus panik. Yang rumahnya dekat dengan sekolah bisa sedikit lega karena waktu 45 menit jelas waktu yang sangat luang, memungkinkan untuk pulang ke rumah guna mengambil tugas, lalu kembali ke sekolah lagi untuk mengumpulkan tugas. Namun bagi yang rumahnya jauh, wah, alamat terlambat.
"Ya ampuun, nilai asli aja udah ngap-ngap an gimana minus lima," Inne yang rumahnya paling jauh jelas merasa sangat terancam. Tapi Bayu selalu datang di waktu yang tepat. Dengan meminjam motor Chris, Bayu melesat pulang ke rumah untuk mengambil tugas sekaligus mengantar Inne. Tinggallah Anggi yang menunggu angkot dengan gelisah di halte depan sekolah -waktu itu belum musim ojek online-.
Tanpa berpikir ia bergegas menuju halte lalu menarik tangan Anggi, "Kita naik sepeda."
"Eh," Anggi jelas terkejut. "Rumahku jauh."
"Gatsu - Arca masih bisa pakai sepeda."
Entah kebetulan apa yang sedang menaungi mereka, siang itu angkot jurusan kompleks rumah Anggi tak kunjung muncul, becak yang biasanya banyak mangkal di sepanjang Jalan Gatsu juga tak terlihat satu pun. Membuat Anggi mau tak mau menerima tawarannya.
DIN DIIIIIIINNN
Suara klakson memekakkan telinga mengagetkannya, membuyarkan semua lamunan dan bayangan sepasang remaja berseragam putih abu yang tertawa-tawa di atas sepeda.
Membuat laju sepeda yang dikayuhnya oleng ke kiri, keluar dari jalan beraspal, menginjak kerikil dan rerumputan di pinggir jalan. Namun ia kembali dapat menguasai laju sepedanya. Sambil menghela napas ia membelokkan setang ke kiri, ke sebuah gapura bertuliskan Gran Ruby Regency.
"Wih, Mas Dio, apa kabar Mas?" sapa satpam perumahan yang berjaga di gerbang. Satpam paling senior, sejak ia duduk di bangku SMU sudah berjaga disini. Masih ingat rupanya.
"Alhamdulillah baik Pak Agus," ia berhenti sejenak untuk bersalaman dengan Pak Agus. "Apakabar Pak? Masih seger aja nih."
Pak Agus tertawa senang, "Ya begini ini Mas...masih betah disini."
Setelah berbasa-basi sebentar, ia kembali mengayuh sepeda menuju blok D No. 23, tempat yang dihapalnya luar kepala.
"Assalamualaikum...," ia melongok ke dalam, pintu gerbang besi warna hitam itu terbuka lebar. Dengan sebuah mobil warna hitam yang terparkir di carport, masih agak basah sepertinya habis dicuci.
"Assalamualaikum...," ia kembali memberi salam. Kali ini memberanikan diri masuk ke halaman, lalu memarkir sepeda tepat di depan mobil. Suara burung perkutut bersahut-sahutan dari arah teras.
Ia baru hendak kembali mengucap salam ketika dilihatnya seseorang sedang menyiangi tanaman di halaman samping rumah.
"Pagi, Om," sapanya. Seseorang yang ia panggil Om langsung menoleh, sempat tertegun sebentar sebelum akhirnya menjawab riang, "Diooo....apa kabar?" kemudian memeluknya erat.
"Alhamdulillah baik Om," lalu menunjuk deretan tanaman yang berbaris rapih. "Makin subur aja cabenya Om."
Papah Anggi tergelak, "Iya. Dulu kamu to yang pertama bantu Om nanam cabe."
Ia tersenyum mengangguk.
"Sekarang udah nambah daun bawang, bawang merah, jambu merah, sereh, tuh ada juga labu."
"Wah, jadi apotik hidup Om."
Lalu mereka berdua tertawa.
"Masih disini to?" Papah Anggi menepuk-nepuk bahunya. "Om kira sudah berangkat ke Amerika."
Ia tersenyum, "Belum Om, masih siap-siap dulu di sini."
"Semoga lancar semuanya," ucap Papah Anggi sembari terus menepuk bahunya.
Ia pun mengangguk, untuk kemudian bertanya canggung, "Adit ada Om?"
Untuk pertama kalinya, datang ke rumah yang sangat familiar, rumah yang menjadi favoritnya selama bertahun-tahun, namun kali ini untuk mencari nama yang berbeda. Sedikit aneh sekaligus menyesakkan.
"Lho, Adit tadi pamit main futsal ke GOR sama teman-temannya."
"Oh...."
"Yo ndak papa...wong udah sampai sini....ayo masuk dulu....."
Ia menurut masuk ke dalam. Ke ruang tamu yang menyisakan tawa ceria di tiap sudutnya.
"Ya ampun, soal ada berapa sih?!" Anggi mendadak panik.
"Kalau nggak salah dua puluh, kenapa?"
"Ya ampuuuun!!!!" Anggi menutup wajah dengan kedua tangannya kesal. "Aku baru ngerjain sepuluh soal. Kirain yang sepuluh lagi nggak dijadiin tugas. Aduh, gimana dong...."
Ia melirik jam dinding, tepat pukul 13.45. Masih ada 30 menit sampai batas waktu terakhir mengumpulkan tugas.
"Kita kerjain sekarang."
"Apa?!" Anggi melotot. "Mana sempat, nggak mungkin keburu?!"
Ia hanya tersenyum dan mulai mengambil bolpen yang selalu disimpan di saku kemeja seragam sekolah, "Minta kertas buat coret-coretan."
"Kamu....mau ngapain?!?"
"Bantuin kamu ngerjain lah," sambil menunjuk jam dinding. "Masih ada 15 menit buat ngerjain, 15 menit buat balik ke sekolah. Pasti keburu."
Namun Anggi justru meringis, "Jujur....aku belum paham sama soal yang ini," lalu menatapnya dengan penuh penyesalan. "Aku nggak ngerti sama sekali. Aku nggak bisa ngerjain. Nggak ngerti caranya. Dan nggak mungkin kamu yang ngerjain, emangnya aku apaan tugas dikerjain orang lain."
Ia tertawa melihat kepanikan Anggi, "Kita kerjain bareng...."
"Wah, ada nak Dio....," sebuah sapaan hangat kembali membuyarkan lamunannya. Ia pun bangkit untuk menyalami Mamah Anggi.
"Sehat Tante?" sapanya sambil mencium takzim tangan orang yang sempat dikira akan menjadi ibu mertuanya itu.
"Alhamdulillah, sehat....sehat...cuma kemarin agak kecapekan pas habis pulang dari Balikpapan...."
1, 2, 3.....selama beberapa detik ruang tamu mendadak hening. Tak ada yang bersuara, semua seakan terpana dalam pikiran masing-masing. Dan baru terpecahkan oleh suara keras yang berasal dari teras,
"Assalamualaikum...," Adit muncul dengan wajah bersimbah keringat sambil mempermainkan bola futsal di tangan kanannya.
"Eh, ada Mas Dio....," dan langsung gembira begitu melihatnya sedang duduk di sofa. "Tunggu bentar ya Mas....aku mandi dulu."
Ia mengangguk. Saat menunggu Adit selesai mandi, Papah Anggi mengajaknya ngobrol tentang kabar kedua kakak dan keluarga besarnya. Sementara Mamah Anggi menghidangkan sepiring singkong goreng keju yang terlihat lembut dan lezat. Serta secangkir teh manis hangat.
"Tante belum masak," ujar Mamah Anggi sambil kembali menaruh sepiring pisang goreng yang masih mengepulkan asap. "Baru bikin ini."
"Oh, iya Tante....ini juga udah banyak banget....," ia tersenyum.
"Monggo...Monggo....(silahkan, silahkan)," Mamah Anggi memintanya untuk mencicipi hidangan.
"Nggih, maturnuwun (Baik, terimakasih)."
"Rencana berapa lama disana?" Papah Anggi kembali bertanya sambil menyesap teh manis.
"Kalau lancar dua tahun Om. Mohon doanya."
"Ya semoga lancar, sehat, selamat."
"Aamiin."
"Terus pulang atau gimana?"
"Kalau di jadwal harusnya pulang dulu Om, minimal selama dua semester. Tapi nggak tahu nanti. Rencana kalau udah selesai mau langsung ambil Phd. Semoga bisa sekalian."
"Oh iya, mumpung udah disana, biar nggak bolak balik."
"Betul Om. Tapi nggak tahu nanti bisa atau enggak. Selama ini rata-rata harus pulang dulu mengabdi, baru bisa lanjut."
"Ya, semoga bisa. Atau ambil di tempat lain mungkin bisa?"
"Itu salah satu solusinya Om. Tapi saya belum tertarik di tempat lain."
Papah Anggi manggut-manggut. Lalu pembicaraan dilanjutkan membahas hal lain. Begitu Adit selesai mandi, Papah dan Mamah Anggi masuk ke dalam.
"Hari Rabu aku udah ke Bandung, buat beberes. Kamu bisanya kapan? Biar dilihat dulu suasana kost nya," ujarnya ke arah Adit.
"Kalau weekend gimana Mas?"
"Oke."
"Kayaknya aku juga mau ajak temen boleh Mas? Dia mau ke Ganapati juga, cuma ambil yang ujian mandiri."
"Boleh."
"Enaknya naik kereta atau bis?"
"Sama aja sih. Kalau nggak mau macet ya naik kereta. Ntar kujemput di Kircon."
"Siiip," Adit mengangguk setuju.
Saat ia hendak pamit pulang, Mamah Anggi sempat berbisik di sampingnya, "Kalau Tante punya anak perempuan satu lagi, udah Tante kasih ke kamu buat dinikahi."
"......"
"Tante doakan kamu cepet dapet jodoh yang baik dunia akhirat. Jangan mikirin sekolah terus, nanti keburu kelewat."
Ia hanya tersenyum malu, "Aamiin. Iya Tante...doanya saja."
Esok harinya ketika ia sedang berkemas untuk berangkat ke Bandung, Pakde dan Bude Pin bertandang ke rumah sambil membawa sebuah kardus besar.
"Ini....ada titipan dari Budemu."
Ia mengernyit heran, "Wah, berat Pakde. Apa isinya?"
"Makanan kering," Bude Pin yang menjawab. "Rendang, kering kentang, kering tempe, abon, bumbu pecel, sambal, ada semua."
"Buat bekal kamu di sana. Kalau kangen rumah, nggak usah susah nyari-nyari," lanjut Bude Pin sambil tertawa. "Ini udah nanya Argo, katanya makanan sebanyak ini bisa stok buat tiga bulan lebih."
Ia tertawa senang, "Waduh, Bude sampai repot-repot segala. Maturnuwun sanget Bude (terima kasih banyak)."
"Ya iya....lha wong kamu mau nyebrang samudra jauh ndak ada keluarga. Bude nggak bisa bawain apa-apa De. Cuma bisa kirim doa sama bawain makanan begini ini."
"Kan ada Mas Tio Bude," ia mengingatkan.
"Lho ya nggak lama lagi to Tio pulang," Pakde Pin seperti mengingat sesuatu. "Udah mau selesai to?"
Ia mengangguk sambil tertawa. "Iya Pakde."
"Lha ya jadi judule kamu datang kesana, malah Tio pulang. Wes tah slisiban (sudah lah berselisih jalan)...."
Kemudian mereka bertiga pun tertawa. Namun ketika Bude Pin berkutat di dapur memasak sesuatu untuk makan malam mereka, Pakde Pin menepuk bahunya pelan, "Katanya kemarin kamu pergi ke rumah Pak Mulyo?"
Ia mengangguk.
"Kalau Pakde boleh saran, jangan lagi lah kamu bertamu kesana..."
"Kenapa?" ia mengernyit. "Kemarin cuma nemuin Adit buat....."
"Orang lain nggak akan tahu tujuan kamu sebenarnya kesana. Orang lain juga nggak tahu kalau kemarin itu kamu nyari Adit."
"Yang orang lain tahu....kamu pergi ke tempat seseorang yang sudah menikah, sudah jadi istri orang lain. Itu nggak pantes, ora ilok, saru."
"Orang pasti mikir kalau kamu masih berharap, masih menyimpan perasaan, masih belum ikhlas."
"Jangan begitu lah De."
"Jaga nama baik keluarga."
"Bocah wadon (anak perempuan) bukan cuma anaknya Pak Mulyo."
"Masih banyak yang lain, yang jauh lebih baik dari anaknya Pak Mulyo itu."
"Pakde harap kemarin terakhir kalinya kamu pergi kesana. Jangan pernah kesana lagi."
'This time, this place misused, mistakes
Too long, too late, who was I to make you wait?
Just one chance, just one breath
Just in case there's just one left
Cause you know'
'That I love you, I have loved you all along and I miss you
Been far away for far too long
I keep dreaming you'll be with me and you'll never go
Stop breathing if I don't see you anymore'
(Nickelback, Far Away)
***
Keterangan :
Nyekar. : tradisi ziarah kubur, biasanya dengan menaburkan bunga diatas pusara makam.
Kircon. : stasiun Kiaracondong, salah satu stasiun yang ada di kota Bandung.
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu