Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku mencintaimu
Kirana kembali di dalam mobil. Air mata turun deras di pipinya. Kirana terus menaikkan kecepatan. Terdengar suara klakson mobil dari arah belakang.
Tiba-tiba, Mobil dihantam sesuatu dengan keras. Mobil Kirana terpelanting ke udara lalu menghantam tanah dengan keras.
Kepala Kirana membentur sesuatu, darah mulai mengucur dari kepala menutupi pandangan matanya. Badannnya terasa sakit. Dadanya terhimpit badan mobil.
Tiba-tiba benturan keras kembali menghantamnya. Tubuhnya bergoncang.
Kirana berusaha membuka matanya. Ada bayangan samar menghampirinya. Seorang pria. "Kirana! Kirana! Sayang!" teriaknya.
Kirana mencoba memfokuskan pandangannya. Tidak bisa. Siapa dia?
Kirana terus mencoba. Ia harus tahu siapa pria itu. Siapa pria yang memanggilnya sayang.
"Kira... Kira... Bangun!" suara Barra terdengar namun terasa jauh.
"Kira!" terdengar lebih keras.
Kirana perlahan membuka mata. "Mas?"
"Bangun! Kamu mimpi lagi!" Barra menepuk-nepuk pipinya.
"Kenapa kamu tidur di sini? Bu Wulan mana? Kepalamu sakit?"
Kirana menggeleng.
"Mas Barra baru pulang?" orang yang dicari keluar dari kamar mandi.
Bu Wulan melihat jam dinding. Pukul 23.30.
Sudah dua minggu ini Barra pulang larut malam.
"Bu, kenapa Kirana tidur di sini?"
"Bukan tidur Mas. Tapi ketiduran. Tadi kita habis nonton drakor. Iya 'kan Mba?" bu Wulan membela diri.
"Di luar banyak angin. Kamu nanti sakit." Barra kemudian menaiki tangga menuju kamarnya.
Sejak kejadian malam itu di kamar Kirana, nyaris keduanya tidak saling berinteraksi. Barra dan Kirana saling menghindari satu sama lain. Kirana belum siap jika harus menghadapi Barra. Karena, hingga dua minggu kemudian, ia masih belum menemukan jawaban pertanyaan Barra.
Barra akan berangkat sebelum Kirana bangun dan pulang hampir tengah malam, setelah Kirana tidur. Mempermudah Kirana untuk tidak bertemu dengan suaminya.
"Mau pindah ke kamar Mba?" tanya bu Wulan sudah di depan pintu kamar.
"Iya, Bu."
*********
Pagi harinya,
"Mas Bara, Mas," bu Wulan mengetuk kamar Barra.
Kirana memandang ke arah lantai dua. Kenapa bu Wulan manggil-manggil Mas Barra. Apa Mas Barra belum keluar dari kamarnya?
Jam menunjukkan pukul 7.30. Kirana baru keluar dari kamarnya. Biasanya, jam segini Barra sudah berangkat atau sedang sarapan pagi.
Bu Wulan menuruni tangga.
"Ada apa, Bu? Mas Barra belum keluar kamar?" Kirana berjalan ke arah tangga.
"Belum, Mba. Dari pagi belum keluar. Tadi subuh juga tidak ke Mesjid. Saya ketuk-ketuk, enggak ada jawaban." Nada suara bu Wulan terdengar khawatir.
"Aduh, Mas Barra kenapa ya Bu?" Kirana ikut khawatir.
"Ini saya mau telepon Pak Agus dulu. Siapa tahu dia punya kunci cadangan kamarnya Mas Barra."
Bu Wulan setengah berlari menuju kamarnya di belakang.
"Pak Agus, siapa pak Agus?" bisik Kirana.
Kirana melihat anak tangga yang cukup banyak. Ia ingin naik ke atas mengecek keadaan Barra. Ia menghela nafas. Kirana belum pernah menaiki tangga.
Satu demi satu Kirana mulai menapaki anak tangga. Cukup sulit. Ia harus berpegangan dengan kuat dan menarik tubuhnya naik. Keringat mulai membasahi tubuh Kirana.
"Ayo, Kirana! Tinggal tiga lagi," Kirana menyemangati dirinya sendiri.
"Hosh, hosh, sampai!" serunya. Nafas Kirana terengah-engah.
Tok tok tok.
"Mas, Mas Bara. Buka Mas. Ini Kirana. Sudah siang. Mas engga ke kantor?"
Tidak ada balasan dari dalam.
"Mas, Mas Barra..." Kirana masih mengetuk.
"Lho, Mba kok bisa naik ke sini?" Bu Wulan terkejut mendapati Kirana sudah berada di depan pintu kamar Barra.
"Ada kunci cadangannya, Bu?"
"Ada. Pak Agus taruh di kotak dekat mesin cuci."
Bu Wulan memasukkan kunci tapi tidak bisa.
"Kok, gak bisa ya Mba? Duh, gimana nih?" Bu Wulan mulai panik.
"Sebentar, Bu. Kuncinya masih nyantol di dalam." Kirana melepas jepit rambutnya, lalu memasukkannya ke dalam lubang kunci, mencoba mendorong agar kunci di dalam terlepas.
Tring...
Suara kunci terjatuh. Berhasil. Kirana dan bu Wulan saling pandang.
Bu Wulan memasukkan kunci lalu memutarnya. Ceklek. Pintu terbuka.
Kirana mendorong pintu. Barra tergeletak di depan kamar mandi. Menelungkup.
"Mas!!" Kirana berteriak. Tidak sadar berlari ke arah Barra. Duduk di samping tubuh Barra. Dengan kekuatan tubuhnya, Kirana membalikkan tubuh Barra. Dan, menaruh kepala Barra di atas pangkuannya. Kirana merasakan badan Barra panas tinggi.
"Astagfirullah, Mas Barra kenapa?" Bu Wulan menggoncang tubuh Barra.
"Mas, Mas bangun! Kenapa? Mas!" Kirana merasakan rasa takut merayapi tubuhnya.
Kirana melihat bu Wulan keluar. Tidak tahu mau ke mana.
"Mas, tolong bangun Mas! Mas!" Kirana terus menggoncang tubuh Barra. Menepuk-nepuk pipinya.
Bu Wulan kembali masuk. "Saya sudah menelepon dr. Farhan. Sebentar lagi ke sini. Kita harus memindahkan Mas Barra ke kasur. Kira-kira Mba Kirana bisa bantu?"
Kirana mengangguk.
Kirana dan Bu Wulan berdiri. Dengan susah payah, mereka mengangkat tubuh Barra yang cukup besar dan berat itu dan memindahkannya ke atas tempat tidur.
Sambil menunggu dokter datang. Kirana mengompres kening Barra dengan air dingin berharap demamnya bisa turun.
Tak berapa lama, dokter yang dipanggil bu Wulan datang, dr. Farhan, dan satu orang perawat. Keduanya langsung memeriksa kondisi Barra.
Dr. Farhan meminta perawat menyiapkan obat suntik. Dia menyuntikkan cairan obat itu di lengan Barra. Sementara perawat memasangkan selang dan botol infus.
Lalu, dr. Farhan memandang ke arah Kirana. Dia tersenyum hangat. Kirana merasa dr. Farhan sudah mengenalnya sejak lama.
"Aku senang melihatmu sudah mulai pulih, Kirana. Perjuanganmu dari sejak kecelakaan itu sangat berat. Tapi, kamu berhasil. Aku yakin papamu akan sangat bahagia apabila bisa melihatmu sekarang," ujar dr. Farhan. Bibirnya terus tersenyum.
Papa. Dr. Farhan mengenal papa. Apa dia tahu di mana papa sekarang.
Kirana baru akan membuka mulutnya saat bu Wulan berkata, "Mas Barra, kenapa dokter?"
Kirana mengatupkan lagi mulutnya, tidak jadi bertanya tentang papanya.
Nanti saja, yang terpenting sekarang adalah Mas Barra.
"Dari pemeriksaan awal, Barra terkena tifus. Demamnya sangat tinggi hingga tidak sadarkan diri. Saya sudah memberinya obat dan cairan infus agar tidak dehidrasi."
Dr. Farhan lalu memanggil perawat. "Ini suster Fani, dia akan di sini membantu saya memantau Barra. Jika sampai nanti sore, Barra belum bangun, kita harus membawanya ke rumah sakit."
Kirana dan bu Wulan mengangguk. Dr. Farhan pamit. Bu Wulan kembali ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Sementara Kirana masih setia di samping Barra.
"Saya tunggu di luar ya, Bu. Panggil saja kalau ada perubahan mendadak," ucap suster Fani.
Kirana memegangi tangan Barra. Sesekali mengusap keringat Barra dengan handuk kecil.
Setelah dua jam, Barra masih belum sadarkan diri.
Pikiran buruk mendadak menyerang Kirana. Bagaimana kalau Barra tidak bangun?
Kirana tidak akan bisa melihat Barra lagi. Tidak bisa mendengar suara Barra memanggil namanya... tidak bisa mendengar suara tawa Barra lagi... tidak bisa lagi merasakan hangatnya genggaman tangan dan pelukan Barra. Bagaimana ia bisa melalui hari tanpa Barra?
Dalam hitungan detik, Kirana menyadari sesuatu.
Tangis Kirana pecah.
"Mas, bangun Mas. Jangan tinggalkan aku," Kirana menciumi wajah Barra. "Mas, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu," ucap Kirana di sela tangisannya.
Kelopak mata Barra bergerak. Kirana merasakan gerakan halus tangan Barra dalam genggamannya.
"Mas... Mas Barra. Mas bisa dengar suaraku?
Mata Barra terbuka. "Shhh..." rintihnya.
"Tunggu, Mas!"
Kirana segera memanggil suster Fani.
Suster Fani masuk. "Pak Barra, bapak bisa dengar suara saya?"
Barra mengangguk.
Suster Fani lalu mengecek nadi, respons mata dan suhu tubuh Barra.
"Syukurlah, semua berangsur baik. Saya infokan pada dr. Farhan dulu ya, Bu."
Kirana kembali mendekati Barra.
"Mas...," panggilnya.
"Kira...?! Aku di mana?" tanya Barra parau.
"Di kamar Mas Barra. Tadi pagi Mas pingsan. Jatuh di depan kamar mandi."
Barra memijit pelipisnya.
"Mas Barra lapar? Mas belum makan apa-apa sejak tadi malam. Sebentar, aku chat bu Wulan, agar dibawakan makanan ke atas."
Kirana siap mengetik saat Barra mengambil ponselnya.
"Apakah kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu?"
"Ucapanku yang mana?" Kirana mencoba mengambil ponselnya dari tangan Barra.
"Kirana! Lihat aku!" Barra memegangi lengan Kirana. "Apakah kau sungguh mencintaiku?" Barra menatap tajam, hingga menembus hati Kirana.
Pipi Kirana memerah. Ia tidak menyangka Barra akan mendengar ucapannya tadi.
"Katakan, Kirana! Apakah kau sungguh mencintaiku?" ulang Barra sambil mengelus pipi Kirana.
"Iya, Mas. Aku mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu."
Barra terus menatap Kirana. Sorot mata Barra seolah memperlihatkan rasa rindu yang lama ditahannya.
"Kau tahu berapa lama aku menunggumu untuk mengucapkan kata itu?" ucap Barra dengan berkaca-kaca.
masih penasaran sih backstrory kirana seperti apa? sampe dirinya pun merasa asing..masih ada rahasia yang belum terpecahkan