NovelToon NovelToon
Janda Melati

Janda Melati

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.

jangan lupa like dan komentar
salam autor

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jm 18

Arga berangkat kerja dengan wajah kosong dan langkah berat. Sesekali telepon genggamnya bergetar—nama Mawar berkali-kali muncul di layar. Namun, ia hanya melirik sekilas tanpa mengangkatnya. Padahal, ketika Melati masih menjadi istrinya, suara Mawar selalu membuatnya bersemangat.

🎵 “Andaikan kau datang kembali…” 🎵

Suara lagu kenangan itu mengalun lirih dari tape mobilnya. Alunan musiknya mengiris telinga, membuat dada Arga terasa sesak. Ia menatap jalanan yang basah selepas hujan, kaca depannya dipenuhi sisa titik air yang berkilauan. Sambil melajukan mobil dengan kecepatan sedang, bayangan Melati datang bertubi-tubi di benaknya—seperti potongan film yang terus diputar ulang.

“Aku harus memikirkan keluargaku sendiri,” batinnya, jari-jarinya meremas setir hingga memutih. “Aku lakukan ini demi Ibu, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Ibu sudah baik masih mau menerim kamu jadi istriku. Apa salahnya Ibu menginginkan Mawar, Apa Salahnya dengan poligami toh tidak ada larangan dalam agama dan Negara jugakan” Arga berusaha meyakinkan dirinya. Namun, dadanya tetap terasa sesak, seolah pikiran dan perasaannya berada di medan perang. Pikiran menganggap keputusannya benar, tapi hatinya menolak menerima.

Sampailah Arga di tempat kerja. Aroma kopi panas yang biasa menenangkan pagi malah terasa getir di hidungnya.

“Kenapa kamu kusut sekali, Ga?” tanya Roni sambil menyipitkan mata, jemarinya masih menekan-nekan papan ketik.

Arga menghempaskan tubuhnya ke kursi, tas kerja diletakkan di atas meja. “Semalam aku menceraikan Melati,” ucapnya lirih.

Roni menghentikan aktivitasnya, menurunkan kacamata, lalu menatap Arga tajam. “Kenapa wanita secantik dan sebaik itu kamu ceraikan?”

Arga menarik napas panjang, membetulkan dasinya yang terasa mencekik leher. “Dia nggak mau dipoligami.”

Roni menghela napas berat. “Ya, begitulah penyakit laki-laki berduit. Punya lebih sedikit, maunya kawin lagi.”

Arga memutar-mutar pensil di tangannya, matanya kosong. “Emang salah kalau aku menikah lagi atas perintah Ibu?”

“Sudah benar itu,” kata Roni datar. “Tapi apa kamu sudah memberi pengertian pada Melati? Apa selama ini kamu sudah meratukan Melati? Sudah adil sama dia?”

Rentetan pertanyaan itu bagai jarum yang menusuk kepala Arga. “Aku pusing banget. Di sisi lain aku masih mencintai Melati, tapi aku juga nggak bisa lepas dari Mawar. Lagian Mawar adalah kriteria ideal Ibu.”

“Hmm… kamu sudah berumur 27 tahun, Ga. Sudah bekerja. Seharusnya kamu bisa memutuskan kehidupanmu sendiri. Setahuku, Melati itu wanita baik. Kamu pernah cerita padaku, kan? Saat keluargamu mengabaikanmu hanya karena kamu jadi ojek online, satu-satunya yang berdiri tegak di sampingmu itu Melati.” Suara Roni menusuk lebih dalam, menyayat masa lalu Arga. “Dan Mawar itu kan wanita yang hampir saja membuatmu bunuh diri. Ibarat kata, kamu sudah sembuh berkat Melati. Setelah sembuh, kamu malah menginginkan sakit lagi.”

Arga terdiam. Suara mesin pendingin ruangan mendengung samar. Kata-kata Roni berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin pening.

“Sudahlah, Ga. Fokus kerja dulu,” ucap Roni akhirnya, nada suaranya melembut. “Maaf, sebagai teman aku cuma mengingatkan.”

Tangannya kembali menari di atas papan ketik, sementara matanya menatap layar monitor tanpa berpaling lagi.

Arga ikut menyalakan komputer di mejanya. Mencari tombol daya saja terasa sulit. Jemarinya bergetar pelan, seolah setiap gerak harus memaksa diri yang kehilangan arah. Layar komputer menyala, tapi matanya kosong menatap pantulan dirinya sendiri di layar.

Sementara itu, di rumah sederhana peninggalan orang tuanya, Melati sedang sibuk menyapu sarang laba-laba di sudut langit-langit. Kata orang, sarang laba-laba bisa menghalangi rezeki—dan entah mengapa, ia ingin menepis kesialan itu hari ini.

Kaos putihnya ia lilitkan menutupi hidung dan mulut. Setiap kali sapu lidi menyentuh atap, debu beterbangan, menari di cahaya matahari yang menembus ventilasi kecil di dinding.

Setelah bagian plafon tampak bersih, Melati berjongkok menyapu lantai, menumpuk debu dan helai rambut di satu sisi sebelum membuangnya ke tempat sampah. Keringat menetes di pelipis, menimbulkan rasa gatal di kulit yang lembap.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar ketukan di pintu depan. Melati mengerutkan dahi. Seingatnya, belum satu pun tetangga tahu ia sudah pindah ke rumah orang tuanya.

Ia berjalan ke arah kamar mandi, membasuh tangan dengan air dingin yang menetes pelan dari kran tua. Suara ketukan kembali terdengar, disusul suara perempuan mengucap salam dengan lembut namun berulang-ulang.

“Siapa, ya?” tanya Melati sambil melangkah mendekat ke pintu. Ia membuka kunci pelan-pelan.

“Waalaikumsalam,” sahut Melati sambil menarik daun pintu.

Matanya langsung membulat. “Mbak Sumi?”

“Melati,” jawab Sumi dengan senyum lembut. Kali ini ia tak memakai daster seperti biasa, melainkan celana panjang rapi, kemeja putih, dan blazer hitam yang menambah wibawanya.

“Ayo, Mbak, masuk,” ucap Melati cepat-cepat.

Sumi melangkah ke ruang tamu, duduk di kursi rotan yang sudah mulai kusam dimakan waktu.

“Mau minum apa, Mbak?” tanya Melati sopan.

“Tidak usah repot-repot. Aku sudah bawa minuman sendiri,” jawab Sumi sambil mengangkat botol kecil dari tasnya.

Melati tersenyum getir. Dia baru sampai di rumah orang tuanya dan belum melangkapi rumah itu dengan perabotan seperti televisi dan kulkas

“Melati, aku dengar kamu sudah cerai?” suara Sumi pelan tapi tegas.

Melati tertegun. Ia tak pernah menceritakan itu pada siapa pun. “Dari siapa, Mbak?” tanyanya hati-hati.

“Ibu Mega yang memberi tahu aku tadi,” jawab Sumi sambil menatap Melati penuh rasa ingin tahu.

Melati menghela napas panjang. “Sepertinya mertuaku bangga aku bercerai,” ucapnya lirih, matanya menatap lantai.

Sumi menggeleng pelan. “Sayang sekali, Melati. Mereka pasti menyesal melepaskanmu.”

“Tidak, Mbak. Justru itu yang mereka inginkan,” jawab Melati tenang, meski suaranya bergetar.

Sumi mengulurkan tangan, menggenggam jemari Melati. “Sabar, ya.”

“Terima kasih, Mbak.” Hati Melati terasa hangat. Bohong kalau ia tidak terpukul, tapi genggaman tangan itu seperti menyalakan sedikit cahaya dalam hatinya.

“Melati,” ucap Sumi lagi. “Di kampusku ada lowongan staf administrasi. Kalau kamu berminat, bisa melamar ke tempatku kerja.”

Melati terdiam beberapa saat. Tatapannya kosong ke arah jendela. “Mbak, selama tiga bulan ini aku nggak akan keluar rumah dulu. Setelah itu, baru aku pikirkan.”

Sumi tersenyum tipis, matanya teduh. “Kamu wanita yang kuat, Melati.”

“Baiklah, Melati. Jangan sungkan menghubungiku kalau kamu butuh bantuan,” ucap Sumi sambil menyodorkan secarik kertas berisi nomor teleponnya.

“Baik, Mbak. Terima kasih, ya.”

Melati mengantar Sumi sampai ke depan pintu. Angin sore berhembus lembut, menyingkap ujung kerudungnya yang basah oleh keringat. Begitu Sumi melangkah pergi, Melati memandangi punggungnya yang menjauh dengan rasa hangat sekaligus sepi.

“Sepertinya aku harus membeli kulkas,” gumamnya pelan, menatap ke arah dapur yang sunyi.

Ia kemudian membuka ponsel, jari-jarinya menggulir layar mencari kulkas bekas di aplikasi jual-beli. Cahaya layar ponsel memantul di wajahnya yang lelah tapi tetap tegar. Di luar, suara burung gereja mulai berkurang digantikan desir angin sore yang membawa aroma tanah basah.

Waktu berlalu. Langit sore berangsur redup. Arga duduk di ruang kerjanya tanpa semangat, menatap kosong laporan yang belum selesai.

Sejak Melati pergi, hidupnya terasa hambar. Dulu, ketika Melati masih menjadi istrinya, ia justru sering pulang larut malam. Entah nongkrong bersama teman-temannya, atau sibuk menemani Mawar. Kini, semua itu seperti tak berarti.

Arga berdiri pelan, bahunya menurun. Ia melangkah menuju parkiran dan masuk ke mobil. Hujan mulai turun rintik-rintik, membasahi kaca depan dengan pola acak seperti air mata yang jatuh tanpa arah. Ia menyalakan mesin, melajukan mobil dengan kecepatan pelan.

Di perjalanan, bayangan Melati muncul lagi—senyum lembutnya, caranya menyambut Arga dengan teh hangat, atau sekadar bertanya apakah Arga sudah makan. Semua terasa menyesakkan dada.

Mobil berhenti di depan rumah. Gerbang tampak sepi. Biasanya, Melati akan berdiri di sana, menjemur pakaian sambil tersenyum kecil. Sekarang, yang tersisa hanya tali jemuran kosong bergoyang diterpa angin.

Hujan turun semakin deras. Arga keluar dari mobil, menatap halaman rumah yang basah dan becek. Tiba-tiba suara nyaring ibunya terdengar dari dalam rumah.

“Tika—Tika! Andai langit runtuh pun kamu tidak akan peduli!” teriak Ibu Mega dengan nada kesal.

Beberapa detik kemudian, Arga melihat ibunya keluar rumah sambil mengomel, menyapu lantai teras dengan gerakan kasar.

“Ibu repot sekali tanpa Melati,” ucap Arga dalam hati dan bergegas turun dari mobil. membantu ibunya mengepel lantai

1
partini
ini bisa ujungnya main 🐴🐴 ma kakak iparnya
partini
sehhh langsung aja 100jt ,,jodoh ini
partini
busehhhh kaka ipar nasfu bungtt,,hemmmm bisa kena ini kena jebakan KK ipar obat perangsang biasanya di pakai
Isranjono Jono
mati aja bu jangan lama2 hidup nanti dosanya segunung 😄😄
Isranjono Jono
wanita bodoh kau lapar tapi makanan mu kau kasih mertua sungguh bodoh maaf thor aku jadi setan hari ini🤭
Isranjono Jono
lawan2 kalau aku iparku gak ada yang berani sama aku coba kalau berani aku hancurkan dapur menyala kan aku thor🤭🤭
Desi Belitong
balas jangan bodoh hanya diam ujung2nya nangis
partini
good story
partini
👍👍👍👍👍
santi damayanti
ini harusnya rumah Risma
santi damayanti
ini harusnya rumah risma
SOPYAN KAMALGrab
ini. saya ga ngertii
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!