Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17.
Malam Pertama, Kesunyian
Langit di luar loji bagai beludru hitam tanpa bintang. Bulan mati telah sempurna, bahkan cahaya kunang kunang terasa enggan menyala. Di halaman, daun daun kering berdesir seperti bisikan tak jelas.
Di dalam ruang depan, Kodasih duduk bersila di atas tikar pandan tua. Selendang hitamnya terhampar, menutupi sebagian lantai ubin kelabu yang dingin. Di hadapannya, mangkuk perak berisi air bunga memantulkan cahaya pelita yang nyaris padam. Asap kemenyan menari-nari tipis, menebarkan bau getir yang menusuk.
Arjo berdiri di sudut ruangan, tidak bicara sepatah kata pun. Matanya memantau, seperti burung hantu kecil yang siap terbang bila keadaan berubah. Ia membawa kantung kain berisi abu kemenyan dan tali benang merah pemberian Mbah Jati, jimat yang katanya mampu menahan roh liar agar tidak masuk ke tubuh manusia.
Kodasih menutup mata. Napasnya panjang dan teratur. Dalam hening itu, setiap bunyi kecil menjadi besar: detak lampu minyak, serak kayu berderit, bahkan suara darahnya sendiri terasa berdengung di telinga.
Di luar, Kang Pono duduk di teras. Ia menggenggam keris kecil, hadiah dari si mbah nya. Tidak boleh bersuara, tidak boleh masuk. Ia hanya menatap pintu ruang depan yang tertutup rapat, seakan dari sanalah nasibnya ditentukan.
Arjo kemudian bergerak pelan mendekat. Dengan isyarat tangan, ia memintanya untuk bersiap. Ritual kesunyian dimulai.
“Ingat, Nyi,” suara Arjo lirih, nyaris tak terdengar. “Mulai sekarang… tidak ada suara manusia lain. Tidak ada nama yang disebut. Tidak ada mantra matra terucap yang membakar langit. Tidak ada jawaban dari mulut yang keluar.”
Kodasih mengangguk. Ia lalu menunduk dalam dalam, bibirnya terkatup rapat.
Arjo menaburkan abu kemenyan mengelilingi Kodasih, membuat lingkaran tipis. Lalu ia menaruh benang merah di atas mangkuk perak. Api pelita menyala besar tiba tiba , lalu mengecil, seperti ditelan kegelapan.
Saat itu, kesunyian mulai terasa bukan sebagai keadaan, melainkan sebagai makhluk. Ruangan seolah mengerut, menyempit, lalu melebar lagi. Udara berubah berat, seperti ada sesuatu yang bernafas bersama mereka.
Tiba-tiba suara gemerisik datang dari sudut ruangan, padahal tidak ada apa pun di sana. Bayangan di dinding bergerak sendiri, terlepas dari tubuh Kodasih. Bayangan itu memanjang ke arah dinding , membentuk sosok samar yang berlutut di bawah foto Tuan Menir, yang tergantung di dinding ruang depan.
Kodasih merasakan kulitnya merinding, tapi ia tetap diam. Matanya tetap terpejam, bibirnya terkunci.
Bayangan itu mulai berbicara, bukan suara manusia, tapi bisikan dingin yang merambat di lantai, naik ke dinding, menelusup ke telinga.
“Kau… memilih jalan sunyi…”
“Kau… ingin bebas tanpa darah…”
“Kau… siap membayar harga?”
Kodasih tetap diam. Dalam hatinya ia mulai membaca doa yang diajarkan Mbah Jati, meski lidahnya terpaksa membatu.
Arjo di sudut ruangan mencengkeram kantung kainnya lebih erat. Ia tahu, ini baru permulaan. Pada malam pertama, roh penuntun hanya menguji kesabaran. Malam kedua dan ketiga akan lebih buruk. Tapi bahkan malam pertama ini… sudah cukup untuk membuat orang biasa kehilangan suara selamanya.
Bayangan itu semakin jelas. Dari samar menjadi mirip seseorang: wajah pucat, mata cekung, mulut tersenyum terlalu lebar. Sosok itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Kodasih.
“Jika kau gagal…
maka aku akan mengambil dia…”
Bayangan itu menoleh, ke arah Pono di teras. Meski pintu tertutup, Kodasih tahu siapa yang dimaksud.
Tangannya gemetar, tapi ia tidak boleh bicara. Ia hanya menggenggam selendang hitamnya erat-erat.
“Dan.. dia.” Suara bayangan itu lagi sambil menoleh ke arah Arjo.
Tiba-tiba pelita mati. Gelap sempurna.
Arjo berbisik dalam hati, “Ini ujian pertama. Bertahanlah, Nyi. Jangan jawab apa pun.”
Di kegelapan itu, suara suara mulai datang: suara ayah Kodasih, suara ibunya, suara Tuan Menir, suara anak anak lapar…, suara anak perempuan kecil... semuanya memanggil namanya. Suara-suara itu menggema di kepalanya seperti teriakan dari sumur.
“Kodasih…”
“Dasih…”
“Nduk …”
“Ibu.…”
Suara terakhir terdengar seperti Pono.
“Nyi… aku di sini… jangan takut…”
Kodasih membuka sedikit matanya, menatap gelap. Bibirnya bergetar. Air matanya menetes, tapi ia tetap tidak bersuara.
Arjo melihatnya. Wajahnya tegang. Ia tahu, roh roh sedang mencoba menjebak Kodasih dengan suara suara yang paling ia kenal.
Waktu berjalan lambat. Di luar, burung hantu berhenti bersuara. Angin tak lagi bergerak.
Lalu tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh bahu Kodasih dari belakang.
Kodasih terlonjak. Jantungnya berdetak sangat kencang.
Suara itu kembali, lebih dekat, tepat di telinganya:
“Jawab aku, Nyi… aku Pono… kita pergi saja dari sini.”
Kodasih hampir membuka mulutnya.
Arjo menggigit bibirnya, matanya terbelalak. Ini saatnya: jika Kodasih menjawab, ritualnya gagal.
Tangan itu dingin seperti embun yang membeku di atas batu nisan. Tapi bukan dingin biasa, ini dingin yang merasuk ke dalam tulang, dingin yang mengingatkan Kodasih pada liang lahat.
Bahunya bergetar. Bibirnya nyaris terbuka.
“Jawab aku, Nyi... aku Pono, kita pergi saja dari tempat ini. Buat apa kamu menghukum tubuhmu sendiri.. kenikmatan bisa kita raih tanpa menyiksamu seperti ini..” suara itu mengulang, lembut, penuh kasih.
Tapi di dalam hatinya, Kodasih tahu: Pono tidak di sini. Pono di teras. Pono tidak bisa bicara. Pono tidak akan pernah melanggar sumpah diam yang mereka sepakati.
Tangannya mulai bergerak, mencari pegangan. Selendang hitamnya masih tergenggam,, satu satunya pengikat antara tubuh dan jiwanya.
Lalu... pelan-pelan, Kodasih meraih tangan dingin di bahunya. Ia tidak menepisnya. Ia genggam erat. Matanya tetap terpejam. Bibir tetap tertutup.
Tangan itu langsung menggeliat seperti ular tersentak. Dari genggamannya, ia merasakan sesuatu: tidak ada nadi. Tidak ada detak kehidupan.
Seketika... suara-suara di kepalanya lenyap.
Bayangan di sudut ruang depan mendesis marah. Sosoknya berubah, kini menjulur panjang seperti asap hitam yang terbakar. Api pelita menyala sendiri, tapi kini cahayanya merah darah.
Arjo maju satu langkah. Di tangannya, ia remas jimat dari benang merah dan abu dupa. Ia bisikkan mantra pelindung tanpa suara, hanya dari napas dan niat.
Bayangan itu merangkak ke langit-langit, menempel seperti kelelawar raksasa, lalu menyusut dan kembali menjadi bayangan biasa. Tapi tetap mengawasi.
Kodasih membuka mata. Matanya basah, tapi tidak merah. Ia masih utuh. Tidak tergoda. Tidak bersuara.
Tangan dingin tadi kini telah menghilang. Di lantai hanya tertinggal jejak air, seperti bekas tapak kaki dari seseorang yang baru keluar dari danau tua.
Arjo menatapnya dalam dalam. Ia mengangguk.
“Selamat, Nyi... malam pertama sudah lewat.”
Kodasih hanya menutup mata dan mengangguk pelan. Tapi dari sudut bibirnya, tampak darah segaris, entah karena gigitannya sendiri, atau karena sesuatu mencoba masuk saat ia hampir goyah.
Di luar loji, angin mulai bergerak lagi. Burung hantu kembali bersuara, tapi kali ini terdengar lebih tenang.
Kang Pono, yang sedari tadi duduk di teras, meremas keris kecilnya lebih erat. Ia tidak mendengar apa-apa. Tapi ia merasakan sesuatu telah lewat di belakangnya, seperti bayangan yang licin dan basah. Ia tidak menoleh.
Di dalam ruang depan, Kodasih mulai bersila kembali. Ia masih punya enam malam lagi. Dan malam-malam selanjutnya… tidak akan menunggu dengan sabar.
Malam pertama telah berlalu. Kodasih berhasil bertahan. Tapi jejak dunia bawah telah menandainya....
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk