Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. KEPUTUSAN
Ruangan besar itu masih dibungkus keheningan setelah kata-kata mengejutkan keluar dari mulut Van der Capellen. Kalimatnya bagaikan palu godam yang menghantam kesadaran semua orang yang hadir.
'Aku mengangkat perempuan ini menjadi wanitaku.'
Kalimat itu terus terngiang, membuat para pejabat yang duduk berderet kaku tak tahu harus berbuat apa. Beberapa mulut ternganga, sebagian lagi berbisik pelan dalam bahasa Belanda, suaranya terdengar getir bercampur cemooh.
Aruna sendiri berdiri terpaku. Hatinya bergejolak antara terkejut, bingung, dan sedikit takut. Apa maksud gubernur dengan sebutan wanitanya? Aruna bukanlah orang Belanda, tidak memahami sepenuhnya istilah-istilah mereka untuk kedudukan perempuan di sisi penguasa. Namun, jelas sekali kata-kata itu bukan main-main.
Willem, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, melangkah maju dengan wajah serius.
"Tuan Gubernur, apakah Anda sungguh-sungguh?" tanya Willem dalam bahasa Belanda, namun rautnya seolah tidak percaya. Ia tahu, Van der Capellen selalu menjaga jarak dari urusan pribadi, apalagi perkara perempuan.
Van der Capellen menoleh perlahan, menatap sahabat lamanya itu dengan sorot mata yang mantap. "Aku tidak pernah bermain-main dalam hal keputusanku, Willem. Kau pun tahu itu."
Jawaban itu semakin membuat semua pejabat resah. Mereka menoleh pada Aruna dengan pandangan yang semakin merendahkan, ada yang menganggapnya oportunis, ada pula yang menyebutnya penyihir yang berhasil memikat sang gubernur. Jelas kebencian pada pejabat Belanda itu semakin tinggi kepada diri Aruna.
Salah seorang pejabat Belanda berusia setengah baya, dengan janggut tipis dan suara serak, berani mengangkat suaranya. "Tuan Gubernur, dengan segala hormat, keputusan ini tidak pantas. Bagaimana mungkin seorang perempuan pribumi, seorang asing, diangkat menjadi wanita yang mendampingi Anda? Apa kata Dewan Hindia nanti? Apa kata rakyat Eropa yang tinggal di Batavia?"
Nada bicaranya tidak hanya keberatan, melainkan juga penuh penghinaan yang terselubung.
Aruna mengepalkan tangannya. Ia ingin sekali menjawab, tetapi Van der Capellen lebih cepat.
"Dewan Hindia berada di bawahku," ujarnya tegas, suaranya menggema memenuhi ruangan. "Dan aku tidak butuh izin siapa pun untuk menentukan siapa yang layak berada di sisiku. Perempuan ini bukan hanya berani, tapi juga memiliki pemikiran yang melampaui kebanyakan dari kalian. Kalian hanya tahu menghitung keuntungan dan mengumpulkan pajak. Sedangkan dia ..." Van der Capellen menunjuk ke arah Aruna, "... dia tahu bagaimana membuat rakyat kecil hidup layak. Sesuatu yang seharusnya juga menjadi perhatian kita."
Kata-kata itu membuat wajah para pejabat memerah, sebagian karena malu, sebagian lagi karena marah. Namun, tak seorang pun berani membantah lebih jauh. Tentu Gubernur adalah pemilik takhta tertinggi di Hindia Belanda selama dia berkuasa di singgasananya, dan tidak ada yang berani menentang.
Aruna menunduk sejenak, mencoba meredakan gejolak hatinya. Ia tidak pernah berniat untuk menjadi pusat perhatian seperti ini, apalagi sampai diumumkan di hadapan para pejabat tinggi. Namun, dalam hati kecilnya, ia juga merasakan sebuah kebanggaan. Di tengah dunia yang menindas perempuan, ada seseorang yang dengan lantang mengakui kekuatannya.
Namun, kebanggaan itu segera bercampur dengan kegelisahan. Ia tahu, posisi seperti ini bukan tanpa risiko. Justru bisa menjadi awal dari berbagai intrik dan kebencian yang lebih dalam.
Setelah suasana sedikit reda, Van der Capellen memberi isyarat dengan tangannya. Seorang juru tulis segera menghampiri, membawa gulungan kertas dan pena bulu.
"Catat," ujar sang gubernur ke juru tulis lalu menengok ke arah Aruna. "Namamu Aruna, bukan?”
Aruna mengangguk pelan.
"Catat, mulai hari ini Aruna akan tinggal di kediaman resmi gubernur sebagai wanitaku. Dia berhak mendapatkan perlindungan dan penghormatan yang sama seperti wanita-wanita yang pernah mendampingi para gubernur sebelumnya."
Juru tulis itu terdiam sesaat, menoleh bingung pada Willem, seolah meminta kepastian. Willem hanya menghela napas panjang dan mengangguk, meski wajahnya penuh keraguan.
Aruna mendengar itu dengan dada berdebar. Ia ingin menyela, ingin mengatakan bahwa dirinya tidak datang ke sini untuk mencari perlindungan atau kedudukan. Ia datang hanya untuk menjelaskan apa yang dilakukannya di desa, bukan untuk dijadikan wanita gubernur. Namun, ia tahu betul, di hadapan orang-orang ini, suaranya bisa saja tidak didengar, atau malah menjerumuskannya ke bahaya.
Maka Aruna memilih diam, sambil menata hatinya.
Namun, tidak semua diam. Pejabat yang tadi memerintah serdadu untuk menangkap Aruna kembali bersuara dengan nada getir.
"Tuan Gubernur, izinkan saya berbicara sekali lagi. Saya tidak meragukan ketegasan Anda, tapi perempuan ini, dia terlalu berani. Kata-katanya menyinggung harga diri para pria di ruangan ini. Apa Anda tidak khawatir ia akan memengaruhi rakyat untuk melawan kita suatu hari nanti?"
Sorot matanya penuh curiga, seolah hendak menuduh Aruna sebagai benih pemberontakan.
Aruna kali ini tidak bisa tinggal diam. Ia melangkah setapak ke depan, berdiri tegak, menatap lurus pada pejabat itu.
"Jika yang Anda maksud dengan 'melawan', adalah mengajarkan orang untuk tidak lapar, untuk sehat, dan untuk berani bermimpi, maka ya, saya memang melawan. Melawan kebodohan, melawan ketidakadilan, melawan rasa takut yang mengekang. Tapi saya tidak pernah mengajarkan orang untuk mengangkat senjata atau menumpahkan darah. Karena bagi saya nyawa itu lebih berharga dibandingkan apa pun," kata Aruna lantang.
"Omong kosong," cela pejabat itu.
Suara Aruna bergema, tenang tapi penuh kekuatan. "Saya hanya mengajarkan mereka untuk hidup dengan martabat. Saya hanya mengeyangkan perut mereka yang lapar, membuat yang sakit menjadi sehat."
Ruangan kembali terdiam. Beberapa pejabat menggeram pelan, tetapi mereka tidak bisa menemukan celah untuk menyerang kata-kata itu.
Van der Capellen tersenyum tipis, jelas puas dengan jawaban Aruna. Ia lalu menoleh pada pejabat yang tadi menuduh, menatapnya dengan dingin.
"Kau dengar itu? Bahkan seorang perempuan pribumi lebih tahu arti martabat dibandingkan dirimu. Jika kau hanya tahu menindas, jangan salahkan jika suatu hari yang tertindas bangkit melawan. Bukankah aku sudah katakan sejak awal, hati-hati dengan mereka yang lapar," kata Van der Capellen.
Pejabat itu menunduk, wajahnya merah padam, tidak berani menatap sang gubernur lagi.
Sementara itu, Willem yang sedari tadi mengamati, menarik napas panjang. Ia tidak bisa memungkiri kekagumannya pada Aruna. Gadis itu memiliki keberanian dan kecerdasan yang jarang ditemui, bahkan di kalangan bangsawan Eropa sekali pun. Namun, di sisi lain, ia juga khawatir. Keputusan Van der Capellen untuk mengangkat Aruna menjadi wanita resminya bisa menimbulkan gelombang besar, baik di kalangan pejabat maupun rakyat Batavia. Terutama saat Willem tahu kalau Aruna bukan orang sembarangan.
Aruna sendiri masih berdiri tegak, meski di dalam hatinya bergolak. Ia sadar, sejak saat ini hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ia bukan lagi sekadar perempuan asing yang datang menolong sebuah desa. Ia kini berada di pusat kekuasaan, dengan segala konsekuensi yang menantinya.
Aruna menatap Van der Capellen, mencoba membaca wajah gubernur itu. Apakah ini hanya strategi politik? Ataukah memang ada ketertarikan pribadi? Apa pun alasannya, ia harus berhati-hati.
Karena di balik semua sorot mata yang memandangnya, ia tahu ada banyak yang menanti dirinya tergelincir.
Dan ia bertekad dalam hati: Aku tidak akan tunduk. Jika aku harus berada di sisi penguasa, maka aku akan gunakan kesempatan ini untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk kehilangan diriku sendiri.