Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Linked
Meninggalkan kamar rawat, Dean berjalan menuju deretan kursi tunggu yang berjajar di lorong. Dingin merambat sampai ke tulang belakang saat bokongnya mendarat di salah satu kursi besi. Sorot matanya yang redup, semakin tenggelam dalam intimidasi pendar cahaya lampu neon yang tergantung di langit-langit. Tidak ada suara lain yang terdengar, kecuali roda-roda troli yang didorong oleh para perawat. Mereka datang silih berganti, dari kanan dan kiri.
Aroma antiseptik menyebar bersama perputaran udara, menyamarkan wangi butter dari kantong Tous Les Jours yang dibawa salah seorang keluarga pasien. Seorang perempuan paruh baya, mengenakan Max Mara Classic Wool Coat warna camel, Jimmy Choo Mahesa Leather Knee-High Boots warna hitam, serta menenteng Hermes Kelly warna senada dengan boots-nya.
langkah anggun perempuan itu berhenti di depan salah satu pintu kamar rawat. Di sisi pintu, papan akrilik menampakkan selembar kertas dengan kode cetak tebal: VVIP - P.LK / 1206. Kode-kode itu menunjukkan identitas pasien. P berarti pasien berjenis kelamin perempuan, LK adalah inisial nama pasien, dan 1206 adalah nomor kamar.
Setelah beberapa saat berdiri di depan pintu kamar rawat 1206 tersebut, perempuan paruh baya tadi menggeser pintunya perlahan. Dean bisa mendengar tarikan napasnya yang begitu dalam saat kaki perempuan itu perlahan masuk. Lalu sebelum pintu tertutup penuh, Dean mengalihkan pandangan ke kamar rawat kekasihnya.
Papa papan akrilik di sisi pintu kamar rawat kekasihnya pun terdapat kode cetak tebal yang sama. Kode yang tidak pernah lupa Dean baca sebelum masuk, namun selalu luput dari perhatian Suri.
Suri...
Begitu nama gadis itu melintas di kepalanya, perasaan Dean kembali berkecamuk. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang pucat. Di sana, masih terasa jejak kulit Suri. Lembut, namun meninggalkan perasaan tidak nyaman yang tidak bisa begitu saja Dean abaikan.
Dibanding hari-hari biasanya, tangan Suri terasa lebih dingin hari ini. Dean yakin bukan karena pengaruh cuaca. Kemarin hujan turun bahkan lebih deras, tetapi tangan Suri masih terasa hangat dalam genggamannya. Berkali-kali pun Dean mencoba, berpikir bahwa kulitnya mungkin telah salah merasa, hasilnya sama saja. Suhu tubuh Suri memang turun, dan Dean khawatir itu akan terus terjadi sampai...
"Dean!"
Kepala Dean terangkat cepat. Wajah Suri menyembul dari balik pintu kamar rawat. Rambutnya menjuntai ke depan, menutupi bagian depan seragam tempat name tag-nya dipasang.
"Ke sini sebentar!" seru sang gadis sambil melambaikan tangan, meminta Dean mendekat.
Dean bangkit lalu menghampiri Suri. "Ada apa?" tanyanya begitu sampai di depan sang gadis.
Ke hadapannya, Suri tunjukkan sesuatu. Sebuah benda teramat kecil yang menempel di ujung telunjuknya. Dean sampai memicingkan mata, sampai akhirnya berhasil mengidentifikasi bahwa itu adalah sehelai bulu kucing berwarna hitam.
"Aku menemukan ini di selimut kekasihmu," tembak Suri saat tatapan mereka kembali bertemu.
"Ya," sahut Dean santai. "Lalu kenapa?"
"Kenapa bisa ada bulu kucing di kamar rawat kekasihmu?"
"Karena seseorang membawa kucing ke sana."
Alis Suri menukik tajam. "Siapa?"
Dean maju selangkah, kemudian sedikit membungkuk. Bulu halus yang masih ada di ujung telunjuk Suri, ditiupnya, cukup keras hingga membuatnya melayang jauh di udara, kemudian lenyap entah ke mana bermuara.
"Ya! Kenapa ditiup?!" protes Suri seraya matanya melotot. Ringan tangannya pun kambuh, enteng sekali memukul pundak Dean.
Tetapi Dean tidak keberatan sama sekali. Dia hanya menegakkan kembali tubuhnya, lalu dengan santai menjawab, "Karena tidak penting. Untuk apa juga menyimpan sehelai bulu kucing?"
"Tapi kau kan belum menjawab pertanyaanku."
Dean menyambar, "Akan aku jawab. Tidak perlu menyimpannya seperti barang bukti kasus penting."
Tangan Suri menyilang di depan dada. Tatapannya menyelidik. "Jadi, apa jawabanmu? Siapa yang datang membawa kucing?"
"Karena nenekku alergi bulu kucing, berarti satu-satunya kemungkinan adalah kakakku."
Kiranya selesai sampai di sana, namun ternyata jiwa detektif Suri meraung-raung lebih ganas daripada biasanya. Alih-alih puas, dia memberondong Dean dengan pertanyaan-pertanyaan lain.
"Kucing siapa yang dibawa ke sini? Kenapa dibawa ke sini? Apa itu ada hubungannya dengan Paw? Ah, apa itu yang membuatmu jadi galau setelah aku membawa Paw ke rumah? Karena itu ada hubungannya dengan kekasihmu?"
Dean menelengkan kepala, satu alisnya terangkat. "Kau cerewet sekali hari ini. Dan lagi, hanya karena seekor kucing."
"Ini bukan hanya!" sentak Suri. "Kalau kucing yang dibawa kakakmu itu ada hubungannya dengan Paw, berarti aku harus mencari tahu juga apa maksudnya. Ini akan sama kasusnya seperti kelopak bunga yang terus muncul di rumahku!"
Itu jelas ada hubungannya, Suri. Tapi aku tidak ingin kau memikirkannya. Biar jadi tugasku.
"Tidak semua hal perlu dikaitkan," balas Dean tenang. Atau lebih tepatnya, berusaha untuk tetap tenang di tengah gejolak batinnya sendiri. "Yang ini tidak ada hubungannya sama sekali. Paw hanyalah seekor kucing liar yang beruntung bertemu dengan manusia baik sepertimu, tidak lebih."
"Dari mana kau bisa menyimpulkan itu?"
"Percaya saja padaku," pungkas Dean. Mempertegas bahwa dirinya tidak ingin obrolan ini dilanjutkan, ia langsung menambahkan, "Kalian sudah selesai mengobrol? Ingin pulang sekarang?"
Suri menggeser pintu kamar rawat sampai mentok. "Belum," jawabnya, "aku langsung ke sini setelah menemukan bulu kucing tadi."
"Kalau begitu," Dean menyentuh kedua bahu Suri, membalikkan tubuh sang gadis dalam sekali sentakan. "Lanjutkan saja mengobrolnya."
Tentu Suri tidak akan pasrah begitu saja. Gadis itu meronta, berusaha melepaskan diri dari sentuhan Dean yang kuat luar biasa.
"Tidak, tidak," Suri menggeleng heboh, lalu berbalik. "Kau ikut masuk saja."
Dean berhenti mendorong, perlahan menjauhkan tangannya dari bahu Suri. "Kenapa?" herannya. "Bukannya kau bilang mau bicara empat mata saja?"
"Ya...." Suri menggaruk pelipis, tatapannya berlarian tak tentu arah. "Kukira akan lebih baik untuk mengobrol empat mata, sebagai sesama perempuan."
"Tapi?"
Sambil cengengesan, Suri kembali menatap Dean. "Tapi ternyata aneh rasanya mengobrol dengan seseorang yang tidak bisa menyahuti ucapanku," katanya seraya mengembuskan napas pelan dan melanjutkan, "jika ada kau, setidaknya aku masih bisa meminta tanggapan. Saat leluconku tidak lucu, aku bisa melemparkannya padamu, memaksamu untuk memberikan reaksi. Aku juga bisa--"
"Memukulku jika merasa kesal sewaktu-waktu." Dean menyambar, lalu tak kuasa menahan senyum. Wajah Suri seketika memerah, bibirnya cemberut.
"Yang itu tidak usah diperjelas," gerutunya.
Dean tertawa kecil, kepalanya mengangguk singkat. "Baiklah," ucapnya, tangannya menyambar tangan Suri cepat, menjalin lagi tautan yang lebih erat. "Ayo, mari kita mengobrol enam mata sekarang."
Sementara Dean memimpin langkah, Suri menunduk meratapi tautan tangan mereka seraya membatin: Apa sebenarnya tujuan Dean terus menggandeng tanganku sejak tadi?
Bersambung....