NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertingkaian

Renaya merasakan detak jantungnya jatuh bebas ke dasar perut saat mendapati seseorang berdiri tepat di sisinya, persis ketika ia hendak membuka pintu kamar. Tubuhnya menegang, namun begitu ia menoleh dan mendapati sosok itu hanyalah Kinasih, kakaknya sendiri, napasnya sedikit reda meski tetap tersengal. Tangan Renaya otomatis terangkat, menepuk dadanya yang masih bergemuruh karena kaget.

Begitu rasa terkejutnya mereda, ia mendengus, nada bicara yang lolos dari bibirnya setengah jengkel. “Bisa nggak sih kalau datang tuh jangan tiba-tiba gitu? Kayak hantu aja!” ucapnya ketus. Tak terdengar nada sarkasme, tapi jelas tak bersahabat.

Kinasih diam. Tanpa berniat memperpanjang reaksi, Renaya segera kembali pada niat awalnya membuka pintu kamar dan hendak masuk. Namun, gerakannya dihadang, pintu yang nyaris terbuka kembali ditutup oleh tangan Kinasih.

“Aku masih mau bicara sama kamu!” ucap sang kakak tegas.

Renaya menghela napas keras, frustrasi yang menyesaki dadanya tak bisa lagi ia sembunyikan. Sejujurnya, ia juga ingin bicara dengan Kinasih, tentang Bagantara dan Saras. Dua orang yang selama ini dibela mati-matian oleh kakaknya, padahal diam-diam menyimpan kebusukan di belakang punggungnya.

Renaya menahan senyum sinis. Ia ingin melihat bagaimana wajah Kinasih saat kenyataan itu terkuak. Sayangnya, Renaya tahu diri. Tanpa bukti kuat, tak ada gunanya membuat keributan.

Terlebih, hari itu benar-benar menguras tenaga. Seharian berkeliling mencari jawaban, berakhir dikejar polisi dalam kondisi setengah mabuk, membuat tubuhnya remuk redam. Sorot matanya kini lelah, wajahnya tak menunjukkan minat sedikit pun untuk berdebat.

“Besok aja. Lihat… udah jam berapa sekarang,” ucapnya malas, berusaha mendorong pintu kembali terbuka.

Namun Kinasih tak mundur, sorot matanya menyipit penuh selidik. “Nah, justru itu. Udah jam segini, kamu malah baru pulang?”

“Itu nggak penting,” Renaya menjawab sambil mengerahkan tenaga terakhirnya untuk menyingkirkan tangan sang kakak dari daun pintu. Tapi Kinasih bersikeras, kembali menghalangi jalannya.

Renaya mendengus panjang, rasa lelah membuatnya bersandar pada dinding. Ia menatap kakaknya dengan pandangan malas, seolah berkata, cepatlah bicara lalu biarkan aku tidur.

“Sebenernya tujuan kamu pulang itu buat apa?” KinasIh melontarkan pertanyaan dengan nada mendesak.

Renaya menyipitkan mata, nadanya datar tapi penuh sindiran, “Mbak, aku tahu umurmu memang lebih tua. Tapi masa iya pikun secepat ini?”

Alis Kinasih langsung berkerut. “Maksud kamu apa?!”

Renaya mengangkat bahu, menjawab singkat, “Aku udah bilang kan, aku pulang buat Ibu… sama Sandrawi.”

Kinasih mendengus, matanya menatap Renaya tajam sebelum kembali melontarkan pertanyaan bernada tajam, “Buat Ibu?”

Renaya hanya diam. Ia tidak berniat menjelaskan lebih dari itu.

Dan Kinasih, tak butuh jeda lama untuk menyambung, “Kalau memang buat Ibu, ke mana aja kamu belakangan ini?”

Itulah pertanyaan yang tampak sederhana, namun begitu sulit bagi Renaya untuk merangkai jawabannya. Mungkin, menyimpan kecurigaan tentang kejanggalan kematian Sandrawi bukan keputusan yang bijak. Namun lebih dari apa pun, Renaya sangat memahami, jika ia mengatakan bahwa Sandrawi dibunuh, Kinasih pasti takkan mempercayainya. Maka baginya, tak ada gunanya mengucapkan bahwa selama ini ia mencari tahu tentang kematian adiknya.

“Kamu bahkan jarang di rumah, apalagi di sisi Ibu. Kamu tahu kondisi Ibu sekarang… sakitnya makin parah, kesehatannya makin menurun gara-gara kesedihan berkepanjangan. Tapi kamu ke mana? Menghilang seenaknya.” Suara Kinasih terdengar menohok, meski ia masih menahan suaranya agar tidak meledak.

Setiap kata itu menikam dada Renaya. Ia sadar betul akan hal itu, tapi tak berarti ia berdiam tanpa alasan. Namun menjelaskan semua kebenaran terasa seperti menelan batu, terlalu sulit untuk dilontarkan.

“Sekarang malah pulang larut malam kayak gini… keluyuran entah ke mana,” lanjut Kinasih, semakin sengit.

Renaya diam, menunggu apakah Kinasih akan menambah amarahnya. Tapi setelah beberapa detik, tak ada suara lagi. Hanya tatapan Kinasih yang mengunci pandangan Renaya, menuntut jawaban.

Desahan panjang lolos dari dada Renaya, bahunya sedikit turun, sebelum ia menunduk, mencoba menata kata. Ia memerlukan waktu untuk menyusun kalimat, sesuatu yang membuat Kinasih semakin tidak sabar.

“Aku nitip Ibu,” akhirnya suara Renaya terdengar lirih, jauh dari kesan tajam yang biasa mengiringi ucapannya.

Sudut bibir Kinasih langsung berkedut. “Hah? Apa tadi?” tangan Kinasih otomatis bersedekap, matanya menatap tajam.

Renaya menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangannya, sebab ia masih membutuhkan Kinasih untuk menjaga ibunya. “Aku nitip Ibu, sementara aku nggak ada di rumah.”

“Maksudnya kamu mau ke mana?” Kinasih membalas ketus. “Keluyuran lagi?”

Renaya menatap lurus. “Aku harus nyari tahu soal Sandrawi.”

Mendengar itu, Kinasih menghela napas keras, nadanya jelas menyiratkan kejengkelan. “Buat apa? Buat apa kamu repot-repot cari tahu?”

Renaya terdiam.

“Sudah nggak ada gunanya! Nggak bakal ngubah keadaan. Dia nggak bakal hidup lagi! Yang ada kamu cuma bakal nambah rasa sesal, karena kamu nggak pernah ada buat dia.”

Ucapan Kinasih menusuk tajam. Bukan nada bicara yang menyakitkan Renaya, melainkan kebenaran di baliknya. Kata-kata itu seolah menghantam ulu hati, menggilas bagian terdalam dirinya, membuat lidahnya kelu.

Biasanya, Renaya selalu punya jawaban, selalu tahu cara membalas dengan dingin dan tajam. Tapi malam ini, ia hanya menemukan dirinya berdiri dengan sisi terlemahnya. Ia dihantam kenyataan bahwa selama ini memang benar, ia tak ada untuk Sandrawi.

Dengan suara parau dan tatapan tajam menusuk, Renaya berkata pelan, “Harusnya… waktu aku nggak ada, masih ada Mbak.”

Tatapan Kinasih mengeras, emosinya langsung menyala. “Oh, jadi sekarang kamu mau nyalahin aku juga?”

“Aku ngaku salah. Tapi setidaknya aku masih punya kesadaran. Sementara Mbak? Bahkan rasa bersalah pun nggak ada. Tutur kata buat Sandrawi saja nggak pernah dijaga, ekspresi kehilangan pun nggak pernah kulihat di wajah Mbak.”

Renaya mengucapkannya dengan nada getir, matanya mengunci tajam ke arah Kinasih. Ada sesak yang menggelayut di dadanya, luka yang tak mudah disembunyikan. Ia ingin membongkar semuanya, menguak kebenaran yang selama ini tertutup rapi, bahkan oleh keluarga sendiri. Ia ingin Sandrawi mendapatkan keadilan, sesuatu yang gagal ia berikan ketika adiknya masih hidup.

Renaya tahu, ia bersalah telah pergi, menjauh tanpa kabar, meninggalkan Sandrawi sendirian saat dunia seolah menginjak-injak gadis itu. Tapi setidaknya sekarang, ia mencoba menebus semuanya.

Kinasih mengerucutkan bibir, suara sinis meluncur tanpa empati, “Halah… kamu aja cuma cari muka. Bertahun-tahun ninggalin dia, sekarang sok acting kehilangan. Jujur aja, Renaya… sebenernya kamu lega kan dia udah nggak ada?”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!