Asila Ayu Tahara. Perempuan yang tiba-tiba dituduh membunuh keluarganya, kata penyidik ini adalah perbuatan dendam ia sendiri karna sering di kucilkan oleh keluarganya . Apa benar? Ikut Hara mencari tahu siapa sih yang bunuh keluarga nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonjuwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengorbanan
Hara membuka tas nya mencari handphone yang hampir lima hari ini ia matikan ia menyalakan handphone itu dengan perasaan kacau sebenarnya, namun ada sedikit kekhawatiran juga didalamnya.
Setelah handphone itu menyala beberapa rentetan pesan dari berbagai macam nama menghubunginya, apalagi Dewi ia lebih banyak mengirimkan pesan pada Hara.
Jemarinya telaten membuka pola kunci untuk masuk ke dalam pesan Dewi, ia menggulir halaman chat dengan sahabatnya yang rupanya banyak sekali foto Dewi yang mengirimkan seperti laporan harian kegiatannya.
Seketika handphone itu berbunyi menandakan ada telepon masuk dari kontak bernama Paman.
“Halo?”
“Paman dimana?” lanjut Hara
“Dewi.”
“Dewi? Ini Hara.”
Hara menjauhkan handphone dari telinga nya memastikan bahwa ia benar-benar berbicara dengan Pamannya.
“Hara, Dewi sudah gila! Dia anak psikopat!” ucapan Pamannya seperti tengah mengatur nafasnya, ia seperti sedang berlari Hara rasa.
Hara menajamkan alisnya ia berjalan keluar dari kamar Hakim mencari keberadaan lelaki tersebut.
“Paman kenapa? Sekarang dimana?”
“Bilang ke Hakim, dia harus segera temui Paman!”
“Tapi paman dimana sekarang?”
Hara menghentikan langkahnya ketika sambungan telepon itu terputus dan berhenti tepat di hadapan Hakim yang kini sedang menelpon juga.
“Bentar, bentar, nanti gue telepon lagi” ucap Hakim seketika melihat Hara dengan wajah yang ketakutan
“Kenapa?” Hakim memegang pundak Hara sambil menelisik sorot mata perempuannya
“Paman.”
“Kenapa Paman kamu?”
“Kakak harus cepet nemuin Paman.”
“Iya, tapi kenapa sama beliau?”
“Dia dalam bahaya Kak.”
Hakim sebenarnya butuh penjelasan lebih lagi saat itu, namun ia malah mengambil kunci mobil beserta jaketnya dan menarik Hara agar ia ikut dalam pencariannya kali ini.
Dalam mobil itu masih hening rupanya Hara masih tak mau bicara ada apa yang terjadi, ia malah sibuk menggigit kuku jari nya dengan tubuh yang gemetar.
Hakim meraih tangan itu lalu meletakkannya di dadanya
“Boleh kasih tau saya, ada apa sebenarnya?”
“Paman.”
Hakim menunggu Hara yang tak melanjutkan bicaranya, sesekali ia menoleh ke arah sampingnya untuk memastikan bahwa Hara tak apa-apa.
“Pa-paman bilang, Dewi gila, Dewi psikopat.”
Ucapannya terbata, bibirnya bergetar total, lengan dalam genggaman Hakim juga ikut bergerak, matanya melirik risau, nafasnya tak teratur. Oh sungguh, Hakim ingin memeluk nya saat itu juga.
“Paman bilang kalo dia ada dimana?”
Hara menggeleng
“Kamu ingat ada dengar sesuatu? Apapun itu bilang meski hal sekecil apapun”
Hara tampak berpikir ia memejamkan matanya, sambil mengingat
“Paman kaya lagi lari, soalnya nafasnya ngos-ngosan. Gak ada berisik apapun selain suara Paman.”
“Oh! Langkah Paman berisik kaya tiap melangkah tuh Paman nginjek sesuatu”
“Da…un?” Hara tampak berpikir keras memikirkan bagaimana suara daun jika terinjak
“Ah iya iya! Daun. Paman banyak nginjek daun kering karna cuma itu yang aku denger Kak!”
Hakim merogoh handphone nya dan mengetikan angka 1 di layarnya, yang rupanya langsung terhubung menelpon seseorang
“Cari tau titik terakhir nomor yang gue kirim tadi Ves!”
“Gue dijalan, kalo udah ketemu langsung kabarin gue baru kalian kesana. Gue sama Hara langsung otw tempat aja”
Hakim menyimpan handphone di dashboard mobil lalu fokus pada jalannya.
Hara dan Hakim masih melajukan mobilnya setelah titik terakhir Paman Hara di temukan, itu ditemukan ditengah hutan yang tak jauh dari sekolah Hara.
Hakim.dan Hara tiba lebih dulu dari yang lain, mereka mulai berjalan memasuki hutan tempat titik Pamannya ditemukan.
“Kak, aku kesana ya.”
Hakim menoleh, ia tak menjawab apapun sedangkan Hara yang masih mematung itu menunggu jawaban Hakim.
“Ikut saya aja”
“Kak kalo kaya gitu cari nya nanti lama, hutan ini lumayan gede juga loh”
Hakim tampak ragu mengiyakan permintaan Hara tersebut.
“Langsung telepon saya kalo ngerasa ada yang aneh”
Hara mengangguk sambil tersenyum, ia berbalik dan berjalan menjauhi Hakim
“Hara!”
Hara membalikkan tubuhnya ke arah Hakim.
“Jangan terluka!”
Hara menyunggingkan senyumnya dan mengangguk cepat. Ia berlari semakin jauh dari Hakim.
Menelusuri hutan yang sebenarnya tak asing dalam pandangannya, ia sering kesini bersama Dewi hanya untuk sekedar makan siang bersama atau membaca buku bersama.
Ia memilih jalur yang biasa ia dan Dewi lewati, entah mengapa hatinya tertarik ingin mengikuti jalan ini. Mungkin ia akan tahu jawabannya setelah sampai di ujung sana.
Ia berjalan was-was seketika mendengar suara teriakan yang saling bersahutan. Ia tahu betul siapa pemilik kedua suara tersebut.
Hara bersembunyi dibalik pohon setelah ia rasa sudah terlalu dekat dengan kedua suara tersebut, ia tak mengintip hanya mendengarkan mereka berdua yang masih berseteru.
“Dewi, saya mohon hentikan!”
“Paman udah janji bakal terus bantu aku!”
“Tapi gak bunuh Hakim juga Dewi!”
Hara membelalakkan matanya, ia tak salah dengar?
Katanya Dewi akan membunuh Hakim?
Hara menelan ludahnya, merasakan nafasnya yang juga sedikit tersengal.
“Dia rebut Hara dari aku Paman!”
“Dia gak rebut Hara! Dia bantu Hara!”
“Semenjak sama dia Hara udah gak temenan sama aku lagi, semenjak sama dia Hara udah gak butuh aku lagi.” suara Dewi kali ini terdengar lirih
“Dewi, saya tau kamu sayang sekali sama Hara. Sampe kamu rela lakuin apapun demi dia. Tapi kali ini saya mohon Dewi, sudah cukup sampai disini.”
“Kalo memang Paman gak mau bantu aku, biar aku aja yang kerja sendiri!”
Hara mendengar suara langkah kaki, ia tak bergerak sama sekali sambil memejamkan matanya ia sudah siap jika memang ketahuan.
“Saya bakal laporin kamu ke polisi Dewi!” teriak Paman Hara
Dewi menghentikan langkahnya Hara mendengar langkah kaki itu mulai menjauh dari tempatnya, barulah ia bisa bernafas lega.
“Laporin aja, toh Paman juga kaki tangan aku”
Hara lagi-lagi membulatkan matanya, ada apa ini dan apa yang terjadi sebenarnya.
“Saya juga akan menyerahkan diri, dan saya bakal bersaksi bahwa kamu adalah dalang dari semua pembunuhan yang terjadi selama ini!”
“Hahahaha, lupa? Siapa yang nawarin kerja sama buat bunuh orang tua Hara?”
“Maka dari itu saya bakal tebus kesalahan saya dengan menyerahkan diri!”
“Plis deh tua bangka, kamu jangan repotin aku’
Kali ini Hara memantapkan diri untuk mengintip dibalik pohon tersebut, ia melihat Pamannya yang terlihat sangat frustasi dan ia melihat Dewi yang tengah tersenyum sambil memainkan jarinya.
Hara menatap Dewi dengan tak menyangka bahwa inilah akhirnya persahabatan mereka, ia melihat Dewi yang dengan perlahan merogoh saku celananya dan mengeluarkan pisau kecil dari sana.
Ia langsung berlari ke arah mereka berdua
“JANGAN DEWI!!!”
Namun teriakan itu terlambat ia layangkan, pisau kecil nan tajam itu sudah menyayat leher Pamannya yang kini sedikit mengejang sambil menatap ke arahnya.
Hara menabrak Dewi sampai tersungkur, sambil menangis merintih menghampiri tubuh Pamannya yang sudah terjatuh.
“Paman, Hikss…hikss”
“Ha-Hara?” ucap Dewi terbata
Hara menoleh ke arah suara itu, lalu kembali menatap fokus pada Pamannya yang terbata-bata
“Ha-hara?”
“Iya? Aku disini?”
“Ma-maaf”
Pamannya menghembuskan nafas terakhirnya sebelum lengannya itu sempat menyentuh wajah Hara yang menangis.
Hara meletakkan kepala Pamannya untuk menghampiri Dewi
“Ha-hara?”
Hara hanya menatap Dewi sambil masih terisak, Dewi berdiri mensejajarkan dirinya dengan Hara. Ia ingin meraih lengan Hara yang langsung di tepis sang empunya
“Sudah cukup?” tanya Hara
Dewi terdiam sambil terus memandang Hara
“Sudah cukup Dewi?!” bentaknya
“Ha-hara dengerin aku dulu”
“Cukup Dewi! Aku denger obrolan kalian daritadi”
“A-aku” Dewi kali ini terbata-bata
“Apa? Kamu psikopat?!” sarkas Hara
Dewi menatap tajam Hara
“Puas? Dengan bunuh semua orang itu kamu puas? Kamu senang?”
Oh sungguh, nada bicara Hara sudah tak mengenakan di telinga Dewi.
“Hara, aku lakuin ini semua demi ka-”
“Gak butuh Dewi! Gak butuh, aku gak butuh”
Hara mengusap air matanya, dengan pandangan sedikit kabur itu ia berusaha untuk menatap mata sahabatnya.
“Kamu tuh gak ada rasa terima kasihnya ya.”
Kali ini Hara yang terdiam, ia memandang lekat sorot mata Dewi yang sama sekali tak pernah liat sorot tajam seperti itu.
“Aku, gak butuh itu semua Dewi…” lirih Hara yang masih terisak kini
“Hara? Aku cuma mau lindungin kamu dari orang-orang jahat!”
“Aku gak merasa dijahati oleh siapapun Dewi!”
“Kamu di jahati! Dan kamu gak sadar itu! Aku muak, aku kesel, aku marah ketika orang yang aku sayang diperlakukan gak benar!”
Hati Hara sebenarnya sedikit terharu sebab sebesar itu sayang Dewi kepadanya, namun Hakim benar Dewi menunjukan sayangnya itu dengan cara yang salah.
“Cara nya salah Dewi,” Hara melembut kali ini
“Gak ada yang salah!”
“Salah! Gak seharusnya kamu bunuh mereka semua!”
“Itu hukuman yang pantas Hara!”
Hara memijat pelipisnya, ia terpejam sejenak.
“Pergi Dewi,”
Dewi membulatkan matanya, seolah tak percaya apa yang telah ia dengar
“Pergi sekarang juga,” Hara masih melembut
“Kenapa?”
“Pergi kalo kamu gak mau ditangkap!”
Dewi tak percaya kenapa Hara seperti itu, ia mengambil kembali pisau yang sempat terjatuh dan hendak mengantonginya.
Hara menahan lengan Dewi meraih pisau kecil itu, ia menggenggam nya seolah sengaja memberikan sidik jari di gagangnya.
Dewi masih terdiam menatap Hara yang melumuri lengan dan pisau itu dengan darah Pamannya.
“Hara?”
“Aku bilang pergi Dewi!”
“Gak, gak. Kamu gak salah!”
“Dewi pergi! Disini ada Kak Hakim!”
“Hara?”
“Dewi pergi!!!”
Dewi sangat bingung dalam tumpuannya, namun menatap Hara yang kini sudah terduduk dengan menopang kepala Pamannya itu membuat ia memilih mendengarkan Hara dan pergi dari situ.
Samar-samar Hara mendengar beberapa orang yang tengah berlarian menghampiri tempat dimana ia menatap kosong ke arah pepohonan, sambil memangku kepala Pamannya.
“Hara!” itu teriakan Alves
Ia melihat Hakim, Kala dan Alves yang langsung menghampiri dirinya yang juga bersimbah darah Pamannya.
Ia dibantu berdiri, dan lagi-lagi pergelangan tangan mungil itu diborgol oleh Hakim.
Hara ditangkap lagi, oleh Hakim, dengan kasus pembunuhan lagi dan lagi.
Yang sebenarnya bukan ulah dari Hara sendiri.
Malang sekali nasib perempuan buangan, anak buangan, pikirnya.