Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Simpang Jalan
Udara Samarinda terasa panas dan lembap, namun hatiku terasa lebih dingin dari es. Melihat Abi berdiri di sana, di tengah para pengrajin itu, menjelaskan motif-motif yang telah ia ubah, hatiku hancur berkeping-keping. Bukan hanya karena ia mengkhianati prinsip yang selama ini kami pegang teguh, tetapi juga karena ia mengkhianati diriku sendiri.
"Abi, apakah kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan?" Suaraku terdengar lirih, namun cukup untuk membuat semua orang menoleh ke arahku.
Abi terkejut melihatku. Wajahnya yang tadinya bersemangat kini berubah pucat. "Andini? Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku datang untuk melihat sendiri bagaimana kamu menghancurkan semua yang telah kita bangun," jawabku dengan nada yang lebih tegas. "Aku datang untuk melihat bagaimana kamu mengkhianati para pengrajin yang telah mempercayai kita."
Para pengrajin itu saling berpandangan, kebingungan terpancar dari wajah mereka. Aku tahu, aku harus menjelaskan semuanya kepada mereka.
"Para pengrajin yang terhormat," kataku dengan suara yang bergetar. "Aku adalah Andini, salah satu pendiri Warna Warni Nusantara. Aku datang ke sini untuk memberitahu kalian bahwa motif-motif yang ditawarkan Abi bukanlah motif yang sebenarnya. Motif-motif itu telah diubah agar lebih mudah diproduksi secara massal, tanpa memperhatikan makna dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya."
Suasana menjadi hening. Aku bisa merasakan tatapan tajam Abi menusukku dari belakang. Namun, aku tidak peduli. Aku harus mengatakan yang sebenarnya, meskipun itu akan menghancurkan segalanya.
"Aku tahu, kalian membutuhkan uang," lanjutku. "Aku tahu, kalian ingin mengembangkan usaha kalian. Tapi aku percaya, kita bisa mencapai kesuksesan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita. Kita bisa menciptakan karya-karya yang indah dan bermakna, yang akan dihargai oleh orang-orang di seluruh dunia."
Setelah selesai berbicara, aku menatap Abi dengan tatapan yang penuh dengan kekecewaan. "Aku sangat kecewa padamu, Abi," kataku pelan. "Aku tidak pernah menyangka, kamu akan melakukan ini."
Abi tidak menjawab. Ia hanya menatapku dengan tatapan yang kosong. Aku tahu, ia menyadari kesalahannya. Tapi sudah terlambat.
Aku berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Abi dan para pengrajin itu di sana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu apakah Warna Warni Nusantara akan bisa bertahan. Yang aku tahu, aku harus melakukan apa yang aku yakini benar, meskipun itu akan menyakitkan.
Aku kembali ke hotel dan duduk termenung di ranjang. Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku merasa lelah, bingung, dan sendirian.
Tiba-tiba, teleponku berdering. Aku melihat nama Pramudya tertera di layar. Rasanya seperti ada setitik cahaya di tengah kegelapan yang melandaku. Aku mengangkat telepon itu, berharap suaranya bisa menghibur hatiku yang sedang terluka. Tapi, aku juga takut. Takut kalau apa yang terjadi di Samarinda ini akan merusak hubungan kami, merusak satu-satunya hal baik yang masih tersisa dalam hidupku.
Jemariku gemetar saat menekan tombol hijau di layar ponsel. "Halo, Pram?" Suaraku terdengar serak, tercekat oleh air mata yang masih membekas.
"Andini? Kamu baik-baik saja?" Suara Pramudya terdengar khawatir dari seberang sana. "Ibu cerita kamu mendadak ke Samarinda. Kenapa nggak bilang-bilang? Ada apa?"
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku... aku habis bicara sama Abi," jawabku lirih. "Dia... dia beneran ngelakuin itu, Pram. Dia kerja sama sama Pak Herman, ngubah motif-motifnya."
Hening sejenak. Aku bisa merasakan kekecewaan Pramudya, meskipun dia nggak ngomong langsung.
"Aku sudah menduga," akhirnya Pramudya ngomong lirih. "Abi itu kalau sudah punya kemauan, susah diingatkan."
"Tapi... ini bukan cuma soal bisnis, Pram," ujarku. "Ini soal prinsip, soal nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi. Kok bisa Abi mengkhianati semua itu?"
"Aku juga nggak ngerti, Andini," jawab Pramudya jujur. "Mungkin dia ngerasa kepepet, mungkin dia mikir itu satu-satunya cara menyelamatkan Warna Warni Nusantara."
"Tapi ada cara lain, Pram! Kita bisa cari investor lain, kita bisa mengadakan crowdfunding, kita bisa melakukan apa saja asal tidak mengorbankan nilai-nilai kita!" Aku nggak bisa nahan emosiku lagi. Air mata mulai mengalir deras di pipiku.
"Aku ngerti, Andini," ujar Pramudya sabar. "Aku ngerti kamu benar. Tapi... Abi tidak melihat itu seperti itu. Dia selalu ingin melakukan semuanya cepat, dengan cara yang paling gampang."
Aku terdiam. Aku tahu, ucapan Pramudya benar. Abi memang seperti itu. Ambisinya sering membuatnya buta terhadap hal-hal lain yang lebih penting.
"Lalu... sekarang kita harus melakukan apa, Pram?" pitakonku putus asa. "Apa Warna Warni Nusantara akan ambruk?"
"Tidak," suara Pramudya tegas. "Warna Warni Nusantara tidak akan hancur. Kita tidak akan membiarkannya hancur."
"Tapi bagaimana caranya? Abi sudah bekerja sama dengan Pak Herman. Pengrajin-pengrajin mungkin akan lebih memilih ikut dengannya, karena dia menawarkan uang lebih banyak."
"Kita akan mencari cara lain, Andini," ujare Pramudya. "Kita akan menunjukkan kepada para pengrajin bahwa nilai-nilai kita lebih berharga daripada uang. Kita akan membuktikan bahwa kita bisa sukses tanpa harus mengorbankan identitas kita."
Aku terdiam sejenak. Aku merasakan ada setitik harapan yang muncul kembali di hatiku. Suara Pramudya yang tenang dan penuh keyakinan membuatku merasa lebih kuat.
"Aku... aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu, Pram," ujarku tulus.
"Aku akan selalu ada untukmu, Andini," jawab Pramudya. "Apapun yang terjadi."
Aku tersenyum, meskipun air mata masih mengalir di pipiku. Aku tahu, aku tidak sendirian. Aku punya Pramudya di sisiku, dan itu sudah cukup membuatku merasa kuat. "Terima kasih, Pram," bisikku. "Aku mencintaimu."
Seketika hening menyelimuti sebelum Pramudya menjawab, dengan nada yang lebih dalam dari biasanya, "Aku juga mencintaimu, Andini. Lebih dari yang kamu tahu." Percakapan itu, meskipun singkat, memberiku kekuatan baru. Aku tahu, aku harus kembali ke Surabaya dan berjuang. Aku harus menyelamatkan Warna Warni Nusantara, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk para pengrajin dan untuk Pramudya yang selalu percaya padaku.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*