NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 - Mitos Sungai Oxair

Langkah-langkah berat terdengar di lorong batu menuju halaman luar istana. Zevh berjalan di depan, tangannya masih mencengkeram pergelangan Elara yang dingin. Ia tidak menoleh, namun tiba-tiba ada sesuatu yang menusuk dadanya.

Bukan rasa sakit dari luka perutnya semalam. Bukan pula amarah yang membakar otaknya sejak tadi. Tapi… sebuah getaran, halus, asing, menyelinap ke dalam dirinya, tepat saat ia merasakan Elara melemah di belakangnya.

Zevh menghentikan langkahnya sesaat. Matanya menyipit. Helaan napas Elara berubah kacau, tubuhnya seakan limbung. Dan di detik itu, sekelebat bayangan menyeruak ke dalam benaknya, bayangan yang bukan miliknya sendiri.

Air yang hitam. Sungai yang meraung. Desa Osca yang tenggelam dalam pusaran deras. Dan… cahaya keemasan yang menyilaukan, muncul dari sosok seorang gadis. Elara.

“—Apa ini?” desis Zevh pelan, menahan diri agar tidak menunjukkan keguncangan di wajah dinginnya.

Elara, yang masih digenggamnya, menoleh dengan mata terbelalak. Ia pun terengah, seakan baru terbangun dari mimpi buruk. Sesaat, mata mereka bertemu.

Dan keduanya tahu, mereka melihat hal yang sama.

Udara di sekitar mereka mendadak berat, pengawal yang mengiringi merasa ada sesuatu yang berubah, tapi tidak berani bertanya.

Zevh menggenggam tangan Elara lebih keras, seolah ingin menahan sebuah rahasia yang baru saja menyeruak di antara mereka.

“Elara…” gumamnya dalam hati, dingin namun bergetar samar.

Ia tidak percaya, tapi bayangan itu meninggalkan tanda:

Sungai Oxair mengikat mereka berdua.

---

Langit siang perlahan berubah jadi muram. Awan-awan kelabu menutup mentari, dan gerimis turun bagaikan tirai tipis yang menyelimuti barisan kuda pasukan Noctis. Tanah becek, roda kereta pengawal berderit, dan derap kaki kuda menghentak tanah basah yang bercampur genangan.

“Lindungi Panglima sepanjang perjalanan ini!” seru ajudan Zevh lantang. Suaranya tenggelam bersama hujan, namun semua prajurit mengangguk tegas.

Zevh menolak kereta kuda yang ditawarkan. Ia bukan penguasa yang duduk nyaman di balik tirai, melainkan panglima yang selalu memimpin di garis depan. Ia menunggangi Axten, kuda hitam perangnya yang berkilat meski basah hujan.

Di belakang tubuh tegapnya, Elara duduk dengan tubuh mungil yang menggigil. Jubah hitam Zevh menutupi sebagian dirinya, namun dingin hujan tetap menembus kulitnya. Tak punya pilihan lain, ia melingkarkan lengannya pada pinggang Zevh. Sentuhan itu dingin dan enggan, tapi erat karena takut terjatuh.

Elara menunduk, menatap bulu matanya sendiri yang basah oleh gerimis. Nafasnya terasa berat di dada. “Apakah ini akhirku…?” batinnya lirih, sambil mengingat kembali kilatan penglihatan Sungai Oxair yang menelan segalanya.

Sementara itu, di menara istana Noctis, Putri Mahkota Liora Endless berdiri di balik jendela tinggi. Gaun putihnya menyentuh lantai marmer, tangannya yang ramping menyentuh kaca dingin, mengikuti barisan pasukan yang menjauh.

“Kau menolak hidangan sarapan yang kubawakan pagi ini, Zevh,” gumamnya pelan, senyum tipis mengembang di bibirnya yang dingin.

“Tapi apakah itu artinya kau memberiku sarapan lain, dengan mengirim gadis itu menjauh darimu? Tawanan itu… yang katanya istimewa.”

Matanya berkilat, puas dengan keyakinannya sendiri. Ia mengira takdir kini berpihak padanya, tanpa harus mengotori tangan untuk menyingkirkan Elara.

“Aku hanya perlu menunggu, Zevh. Pada akhirnya, kau akan menjadi milikku sepenuhnya.”

Namun Liora tak pernah tahu, kepercayaan butanya pada gosip akan menjadi kebodohan paling fatal yang pernah ia lakukan.

---

Kabar itu cepat menyebar, menembus dinding istana utama Kerajaan Noctis.

Seekor burung pembawa pesan hinggap di lengan seorang ajudan setia, sayapnya masih basah oleh hujan. Ia menyerahkan gulungan kecil pada Devh As Obscura, sang Raja Noctis, yang duduk di singgasananya dengan sorot mata tajam.

“Ada kabar dari istana Pangeran Zevh,” ucap ajudan.

“Bacakan.”

Suara ajudan bergetar saat membaca isi surat singkat itu.

“Tawanan Panglima dipindahkan ke perbatasan Barat.”

Ruangan seketika sunyi. Raja mengernyit, jari-jarinya mengetuk lengan kursi singgasana.

“Hanya itu?”

Ajudan menunduk. “Benar, Maharaja.”

Tatapan sang Raja berubah dalam, nyaris seperti menembus tabir pikirannya sendiri.

“Zevh… apakah kau sudah menemukan kebenarannya, ataukah kau sedang menguji kesabaran gadis itu terlebih dahulu?”

Ajudan menunduk hormat. “Tidak ada yang tahu pasti. Namun bila Pangeran mengasingkannya ke perbatasan, mungkin itu tanda bahwa gadis itu berbahaya jika tetap ditempatkan di dalam istana.”

Raja menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.

“Kau benar. Kita hanya bisa menebak. Tapi aku tahu satu hal: Zevh tidak pernah membuat keputusan yang sia-sia.”

Ajudan menenangkan dengan penuh hormat. “Maharaja, anda tidak perlu khawatir. Pangeran adalah Panglima yang tak pernah terluka, tak pernah gagal dalam urusan apa pun.”

Senyum Raja semakin dalam, bukan cemooh, melainkan kebanggaan seorang ayah. Ia menatap kursi kosong di samping tahtanya, tempat Zevh seharusnya duduk.

“Kau sudah melancarkan strategi perdagangan di Osca. Kau menikahi Liora Endless. Dan kini… kau menyingkirkan seorang gadis ke perbatasan.”

Suaranya lirih, nyaris seperti doa.

“Putraku, kau sedang menulis sejarah dengan tanganmu sendiri. Dan mungkin, takdir dengan Sungai Oxair akan segera menyingkap tabirnya.”

---

Langkah rombongan kuda Zevh memasuki perbatasan Barat disambut terompet singkat para penjaga Veron. Gerimis yang sejak tadi mengguyur belum juga reda, membuat tanah perbatasan basah berlumpur. Bendera kerajaan Noctis berkibar lembab, dan sorot mata para prajurit Veron menatap rombongan Zevh dengan kewaspadaan yang kaku.

Veron sendiri berdiri di bawah atap gerbang benteng perbatasan, mantel bulu tebalnya menutupi tubuhnya. Senyumnya samar ketika matanya menangkap sosok Elara yang menggigil di belakang Zevh.

"Aku punya kabar menarik, Zevh," ucap Veron, sorotnya menusuk meski bibirnya tetap mengulas senyum ringan. "Tapi lebih menarik lagi melihatmu membawa..." matanya menoleh ke Elara, "—sebuah rahasia yang basah kuyup."

Zevh turun dari kudanya dengan tenang, mantel hitamnya meneteskan sisa hujan. Tatapannya singkat ke Elara, lalu ke pasukannya.

"Beri dia pakaian baru, yang layak," perintah Zevh datar.

Ajudannya sempat menatap sekilas, hampir tak percaya, namun segera menunduk dan mengangguk.

Elara mengangkat wajahnya dengan berani, bibirnya pucat tapi matanya menyala.

"Dan beri aku makanan," ucapnya lirih tapi jelas. Bukan pada Zevh, melainkan pada ajudan.

Zevh tidak menjawab, hanya menatap kosong sejenak sebelum memberi anggukan tipis.

"Kau akan mendapatkannya. Tapi patuhi aturan di tempat barumu," suara ajudan lantang, seolah menutupi ketegangan kecil yang tercipta.

Elara mendengus, lalu turun dari kuda. Tubuhnya sempat terhuyung karena pusing. Dua pengawal segera menyeret langkahnya menuju ruang tahanan.

Di ruang utama benteng perbatasan, Veron dan Zevh duduk berhadapan. Api unggun besar di tengah ruangan menciptakan hangat yang kontras dengan hujan deras di luar. Gelas anggur hangat berembun di tangan mereka.

"Zevh," suara Veron lebih serius, "kau percaya rakyat desa Osca adalah keturunan penjaga sungai Oxair?"

Zevh menatapnya tanpa menjawab. Veron melanjutkan, "Konon, keturunan itu memiliki simbol pusaran air di tubuhnya. Tapi tak ada yang pernah menemukannya. Mitos itu jadi cerita rakyat belaka. Meski… lihatlah, rakyat Osca sangat menjaga sungai Oxair seolah itu nadi kehidupan mereka."

Zevh terdiam. Ingatannya kembali pada kilatan aneh, sungai deras, pusaran air menelan langit, yang menghantam pikirannya saat tangannya menyentuh Elara. Pandangan itu terlalu nyata untuk sekadar halusinasi.

"Zevh, kau melamun," tegur Veron ringan, meski nadanya menyimpan ketegangan. "Apa kau menemukan sesuatu?"

"Aku hanya tahu satu hal," ucap Zevh datar, suaranya dingin. "Dia… berbahaya jika dibiarkan hidup."

Veron menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Kau akan membunuhnya? Tanpa mendengarkan kisahku sampai akhir?"

Tatapan Zevh menajam, seakan menantang.

Veron menundukkan suara. "Oxair bukan sekadar sungai. Itu sumber kehidupan untuk kita semua. Barat di bawahku, Timur di bawahmu, Selatan di tangan Zark, Utara dipegang Arons. Dan tanah Osca adalah titik jantungnya."

Ia menatap Zevh serius. "Jika Elara memang terikat dengan Osca dan Oxair, maka keputusanmu bukan hanya soal seorang gadis. Kau memegang ribuan jiwa, Zevh. Bahkan rakyatku, rakyatmu, seluruh kerajaan, bergantung pada keputusan Obscura."

Zevh terdiam. Hujan di luar berderap makin deras, menggema bagaikan drum perang.

"Kau takut padaku?" suara Zevh rendah, mengguncang.

"Tidak." Veron tersenyum kecil, lalu terkekeh. "Aku lebih takut istriku membunuhku saat aku pulang terlambat, ketimbang pedangmu menembus dadaku."

Zevh memalingkan pandangan ke jendela, ke gelap hujan yang tak berhenti. Matanya berkilat merah sekilas, tapi ia menyembunyikannya.

Veron meneguk anggurnya, lalu bangkit. Suaranya merendah sebelum pergi.

"Putuskanlah dengan kepala dingin. Nyawaku… nyawamu… semua bergantung pada itu. Dan satu hal lagi, sahabatku," ia tersenyum nakal, tapi matanya jujur. "Kau akan tahu, suatu hari, ketika denyut jantungmu tergenggam oleh wanita yang kau cintai. Itu lebih menggetarkan daripada dentuman ribuan kaki musuh di medan perang."

Ia meninggalkan ruangan, menyisakan Zevh sendiri dengan pikirannya.

---

Malam itu, Elara yang dikurung di ruang tahanan kecil, menutup matanya. Dalam tidurnya, mimpi lama kembali menghantuinya.

Sungai Oxair berubah liar, airnya mengamuk, menghantam desa Osca, merobohkan jembatan, menelan rumah-rumah di utara, barat, selatan, juga timur. Seolah seluruh negeri hancur dalam satu terjangan pusaran.

Elara terbangun dengan keringat dingin. Dari kejauhan, di ruangnya sendiri, Zevh merasakan sesuatu menusuk kepalanya. Kilatan bayangan air yang sama menghantam pikirannya. Nafasnya sesak, tangannya mengepal.

Seakan ikatan yang tak terlihat menyatukan mimpi Elara dengan pikirannya sendiri.

Zevh menutup matanya, menahan denyut yang bergaung di dadanya.

"Elara… apa sebenarnya dirimu?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!