“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS17
“Argghh!”
Suara jeritan terdengar bersahut-sahutan manakala beberapa algojo menekan besi panas di punggung kaki para Cinçi Hoca. Namun sayangnya, meskipun didera rasa sakit yang luar biasa, tak satupun dari mereka membuka mulut.
“Kalian masih belum mau mengaku?!”
PLAK!
Panglima Orhan mulai melayangkan cambuk ke arah punggung kaki para penyimpang akidah, yang kulitnya telah mengelupas akibat bara besi panas sebelumnya.
“Bukan saya, Tuan ....” Pernyataan lirih itu diucapkan secara bergantian.
Bey Murad menilik wajah mereka satu persatu yang masih enggan mengaku, amarah jelas terpancar di bola matanya.
“Jangan membuang waktu, Orhan!” teriak Bey Murad murka, habis sudah kesabarannya. “Jika mereka tak mau juga mengaku, penggal saja kepala mereka—sekarang juga!”
Perintah itu ibarat petir yang tiba-tiba menyambar di siang hari. Para Cinçi Hoca menggigil ketakutan, sebagian meraung memohon belas kasihan, sebagian lagi terdiam dengan tatapan kosong—seolah nyawa sudah lebih dulu melayang sebelum pedang memenggal kepala mereka.
Ketika panglima perang yang terkenal haus darah itu lebih dulu mengarahkan pedangnya ke Cinçi Hoca dari utara, pria tua itu langsung menjerit ketakutan, tubuhnya gemetar hebat seperti kehilangan kekuatan di kakinya.
“Ampun, Tuanku! Ampunilah hamba ... hamba akan mengaku!” suaranya parau, bercampur tangis dan rasa takut. “Yang memerintah hamba untuk membuat jimat itu adalah—”
SYIUT!
Belum sempat Cinçi Hoca dari utara menyebutkan siapa dalangnya, anak panah lebih dulu melesat cepat menancap tepat di jantungnya. Dalam sekejap, Cinçi Hoca menghembuskan napas terakhirnya.
Semua mata sontak terarah ke satu titik, ke arah bayangan hitam di sisi kiri aula, tempat seseorang berdiri dengan wajah tertutup kain hitam.
Orhan terkesiap, matanya membulat. Dengan sigap, ia berlari menghambur ke depan Bey Murad, menjadikan dirinya sebagai perisai hidup bagi sang penguasa.
“LINDUNGI BAGINDA!” teriak Orhan lantang.
Seketika, para prajurit bergegas membentuk barisan melingkar, mengitari Bey Murad dan Orhan yang berdiri di tengah, siap menghadapi serangan berikutnya.
Sementara itu, wajah Bey Murad merah padam, urat-urat di lehernya menegang. “Beraninya ... di istana ku!” desisnya murka. “Tangkap penyusup itu hidup-hidup! Jangan biarkan ia lolos!”
Penyusup itu melompat gesit ke atas tembok, tubuhnya lincah menghindari anak panah yang beterbangan. Belasan prajurit terbaik segera mengejar, kaki mereka berpacu dengan waktu, menyusuri lorong-lorong istana dan menerobos gerbang utama.
Di tengah gelapnya hutan, sosok itu menghilang di balik rimbunnya pepohonan. Para prajurit menyebar, obor mereka menari-nari mencari jejak. Mereka sempat kehilangan arah. Namun, akhirnya mereka menemukan titik terang—siluet seseorang tergeletak tak bergerak di bawah pohon tua.
Sayang sekali, harapan untuk menangkap penyusup hidup-hidup pupus sudah. Sosok itu terbujur kaku, sebuah anak panah menancap dan menembus di lehernya.
Salah satu prajurit menyingkap kain penutup wajah. Dan semua mata terkesiap.
“Karem?”
Mereka tak menyangka, penyusup itu ternyata salah satu prajurit kerajaan yang terkenal setia pada kekhalifahan.
“Mustahil ... dia pengkhianat?”
.
.
Di dalam harem, Ibu Suri dan beberapa selir tengah menunggu Bey Murad yang belum juga kembali dari taman istana. Aroma gaharu masih sedikit tercium dari sela jendela yang terbuka, terbawa angin malam bersama kepulan asap tipis dari arah taman — tempat sang penguasa membakar jimat peninggalan Cinçi Hoca.
Beberapa selir saling bertukar pandang, gelisah namun tak berani bersuara. Ibu Suri duduk tegak di kursinya, wajahnya tak menampakkan emosi, namun jari-jarinya mengetuk pelan sandaran tangan — pertanda kesabarannya mulai terkikis.
Tak seperti yang lainnya, Yasmin yang turut hadir di sana, justru terlihat tenang. Ia menyesap teh hangat dengan senyuman kemenangan, terlebih di saat Zeynep Hatun masuk ke ruangan dan membawa kabar.
“Pelayan bernama Fatma telah meninggal dunia malam ini, Ibu Suri.”
Ibu Suri mengangkat alisnya. “Fatma?”
Yasmin meletakkan cangkir teh dan segera mendekat. “Fatma yang wajahnya rusak tiba-tiba itu? Pelayan yang kemarin sempat bermasalah dengan Esma?”
Zeynep menarik napas. “Benar, Yasmin Hatun.”
Sudut bibir Yasmin terangkat. “Lucu sekali, Baginda baru saja membakar jimat dengan doa ... lalu tiba-tiba orang yang memiliki masalah dengan Esma—langsung menghembuskan napas terakhir. Apa ini ada hubungannya dengan jimat tersebut?”
“Tutup mulutmu jika tidak mempunyai bukti apapun, Yasmin!” tegas Ibu Suri. “Lagipula, yang bermasalah dan menaruh rasa dengki pada Esma—tentulah tak hanya satu orang saja. Bukankah begitu, Yasmin Hatun?”
Yasmin mengalihkan wajah masamnya ke arah pintu harem yang mendadak terbuka. Orhan muncul dari sana, membawa sepucuk surat di tangannya—surat yang terselip dari pakaian sosok penyusup.
“Baginda meminta pelayan bernama Fatma segera menghadap,” ucap Orhan tegas.
Ibu Suri lekas berdiri menghampiri Orhan.
“Apa yang telah terjadi sehingga Baginda mencari Fatma?” tanyanya.
Alih-alih menjawab, Orhan menyerahkan sepucuk surat ditangannya pada ibu Bey Murad. Ibu Suri lekas meraih kertas itu dan membacanya.
Teruntuk Kekasihku,
Dosa besar telah hamba perbuat. Karena perselisihan hamba dengan Esma Hatun kemarin, kedudukan hamba diturunkan, dan para pelayan lain turut mengucilkan diri ini.
Amarah dan iri telah menutup akal, hingga hamba nekat memohon pertolongan kepada ahli doa sesat untuk mencelakai dirinya.
Namun kini, Baginda telah mencium kebusukan itu. Panglima Orhan diutus memburu Cinçi Hoca.
Apabila orang itu membuka mulut dan menyebut nama hamba, tamatlah sudah hidup ini.
Maka dari itu, kekasihku...
Hamba mohon—sebelum semuanya terbongkar, habisi Cinçi Hoca itu agar nama hamba tak tercemar di hadapan Baginda.
— Fatma
“Ah, ternyata benar pelayan itu lah pelakunya,” celetuk Yasmin yang berdiri di belakang Ibu Suri, pura-pura mengintip isi surat tersebut. Senyuman congkak mengembang, pikirnya, ia telah menang.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Di saat Yasmin mengetahui bahwa Orhan diperintahkan mencari Cinçi Hoca, ia pun bergerak cepat meminta bantuan sang ayah—Rustum Pasha.
Rustum Pasha pun segera menyusun siasat. Orang kepercayaannya diperintahkan menculik salah satu prajurit setia Bey Murad, bernama Karem, lalu menghabisinya tanpa ampun.
Tubuh Karem yang tak bernyawa dibiarkan tergeletak di bawah pohon tua. Kemudian di dalam pakaiannya, sengaja diselipkan surat palsu buatan Yasmin — surat yang seolah berasal dari tangan Fatma sendiri.
Setelah menghabisi nyawa Cinçi Hoca, orang kepercayaan Perdana Menteri pun sengaja berlari ke dalam hutan, menghampiri jasad Karem di bawah pohon tua, lalu dengan cepat mengenakan jubah dan kain penutup wajah yang ia kenakan—ke tubuh sang prajurit yang sudah tak bernyawa.
Pada waktu yang bersamaan, Safiye menyusup diam-diam ke kamar Fatma, tentunya atas perintah Yasmin. Ia menatap jijik wajah Fatma yang rusak, anyir nanah pun menyeruak. Pelayan itu benar-benar sudah tak berdaya.
Dengan perut mual, Safiye bergegas mengambil bantal. Dan tanpa ragu, ia lekas membekap wajah Fatma. Tak berselang lama, tubuh lemah yang tak banyak memberikan perlawanan itu pun akhirnya terkulai lemas, tak lagi bergerak.
Dan kini, di balkon kamarnya, Yasmin memandang langit penuh bintang dengan senyum kemenangan.
“Sekarang aku memang gagal ... tapi lain kali aku takkan kalah, aku pasti menyingkirkanmu, Esma.” Yasmin menyeringai. “Sekarang, puas-puaslah kau menikmati kasih dari Baginda ... karena tak lama lagi, semuanya akan berakhir untukmu.”
*
*
*