Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENJAGA TABIR
Lilin-lilin di ruang belakang itu bergetar, nyalanya meliuk seperti sedang dilanda hembusan napas yang tak terlihat. Setiap kali api itu bergoyang, bayangan di dinding ikut bergerak liar, merentang panjang hingga tampak seperti sosok-sosok yang berdiri menunggu di pinggir ruangan. Kadang mereka memanjang seperti tiang, kadang menciut menjadi noda hitam yang rapat, seolah menunggu aba-aba untuk melompat keluar.
Lisa duduk kaku di kursi kayu, punggungnya terasa basah oleh keringat. Ia menatap telapak tangannya sendiri—simbol di sana berdenyut keras, ritmenya tak karuan, seolah mencoba menyalip detak jantungnya.
Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar meski ruangan dingin menusuk. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipis, jatuh ke meja kayu yang penuh coretan simbol.
Di dekat pintu, Sara tak bergerak sejak tadi. Kedua tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kekuatan yang hampir membuat buku-buku jarinya memutih. Matanya melirik ke sekeliling ruangan dengan cepat, takut pada setiap bayangan yang bergoyang di dinding. “Aku… aku nggak tahu apa yang barusan terjadi,” suaranya pecah, hampir tak keluar. “Tapi aku tahu satu hal. Kita harus pergi dari sini. Sekarang juga.”
Ethan, sebaliknya, justru tampak semakin larut. Ia mendongak dari buku catatannya, rambut hitamnya berantakan, mata birunya menyala dengan kilat obsesi. Di tengah suasana menyeramkan itu, ekspresinya bukan ketakutan, melainkan rasa ingin tahu yang berlebihan. “Pergi? Kau tidak lihat, Sar?” katanya bersemangat. “Ini… ini bukti nyata! Semua yang kita dengar tentang Eldridge—tentang kabut, tentang bisikan—bukan dongeng kosong.” Ia mengangkat pena, menunjuk Lisa. “Dan Lis—Lis adalah kunci untuk memahaminya.”
Lisa menoleh cepat, rahangnya menegang. “Jangan bilang begitu seakan aku ini semacam artefak, Eth. Aku orang, bukan puzzle buat obsesi gilamu.”
Ethan membuka mulut, siap membantah, tapi suara lain mendahuluinya.
Bu Redfield, yang sejak tadi hanya duduk di kursinya, akhirnya bicara. Suaranya serak, dalam, dan anehnya menggema pelan di seluruh ruangan, seperti suara yang lebih besar dari tubuhnya yang rapuh. “Kalian semua bodoh…” katanya, matanya berkilat dingin di bawah cahaya lilin. “…tapi setidaknya, kalian masih punya nyali untuk datang ke sini.”
Ia memalingkan wajah tuanya ke Lisa. Pandangannya menusuk, begitu lama dan dalam hingga Lisa merasa seolah seluruh rahasianya terbuka. “Dan kau, Lisa Hartman… kau bahkan tidak tahu setengah dari apa yang sudah melekat padamu.”
Lisa menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. Simbol di tangannya semakin panas, seperti bara yang ditempelkan ke kulit. Ia menekan telapak tangannya ke pangkuan, berusaha menyembunyikannya, tapi denyutannya terlalu jelas. “Apa maksudmu?” suaranya pecah. “Simbol ini… apa sebenarnya?”
Bu Redfield tidak langsung menjawab. Ia bergerak perlahan, berdiri dari kursinya dengan suara sendi yang berderit. Tubuhnya bungkuk, tapi gerakannya tetap mantap. Ia berjalan ke rak tinggi di belakang, jarinya kurus dan panjang seperti ranting kering menelusuri punggung-punggung buku tua. Jilid demi jilid ia lewati, sebelum akhirnya berhenti pada satu yang paling lusuh. Sampul kulitnya retak-retak, warnanya hampir pudar menjadi abu-abu.
Ia menariknya keluar. Debu menebal di udara, berputar di cahaya lilin. Lisa menahan napas, merasakan hawa dingin baru menyusup ke dalam ruangan.
Bu Redfield kembali ke meja, meletakkan buku itu di hadapannya. Benda itu lebih mirip jurnal tua ketimbang kitab. Tali kulit yang melilitnya longgar, kertas-kertas di dalamnya menguning, sebagian ujungnya rapuh. Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan tua, tinta pudar, berderet di sana. Beberapa kata masih jelas, yang lain sudah kabur.
“Cormac Elwyn,” katanya datar. Nama itu terasa berat, seakan ruangan menjadi lebih dingin setelah ia mengucapkannya. “Nama yang seharusnya sudah kalian dengar. Dia menulis ini lebih dari seratus tahun lalu.”
Ethan langsung maju, hampir menyambar buku itu, matanya berbinar. “Cormac… dia penjaga pertama?”
Bu Redfield hanya meliriknya, tatapan dingin yang membuat Ethan terdiam setengah jalan. “Kau bicara seakan mengerti, padahal kau bahkan belum tahu apa itu tabir.”
Lisa mencondongkan tubuh, mencoba membaca halaman yang terbuka. Tulisannya kacau, seperti ditulis terburu-buru, tapi ada kata-kata yang menonjol, seakan memang ditulis untuk bertahan lebih lama: veil, custodian, sacrifice.
“Semuanya tentang ‘tabir’,” gumam Lisa, nyaris tanpa sadar. “Apa itu sebenarnya?”
Bu Redfield tersenyum samar. Senyum itu tidak membawa kehangatan—hanya dingin yang menusuk. “Tabir adalah dinding tipis antara dunia ini dan sesuatu yang lebih tua… lebih lapar… lebih luas daripada yang bisa kalian bayangkan. Eldridge dibangun tepat di atas retakan tabir itu. Tidak ada kota lain yang punya kabut seperti ini. Kau pikir kabut itu cuaca? Tidak. Kabut adalah nafas dari sisi lain.”
Sara menutup mulutnya, wajahnya pucat. “Oke… itu omong kosong. Itu metafora gila. Kita bicara tentang… tentang fisika, tentang uap air, bukan roh!”
Bu Redfield menatap Sara tajam. Mata birunya berkilat aneh, membuat Sara terdiam di tempat. “Kau boleh menolak seribu kali, tapi menolak tidak akan membuatnya hilang. Tabir tidak butuh kau percaya. Ia hanya butuh kau ada.”
Lisa menggenggam lututnya erat-erat, tubuhnya bergetar. “Dan aku… apa hubungannya aku dengan semua ini?”
Bu Redfield menutup bukunya perlahan, bunyi kertas rapuhnya seperti bisikan. Suaranya turun menjadi bisikan berat, tapi tetap jelas, menghantam telinga mereka. “Setiap generasi… tabir memilih seseorang untuk menjadi custodian. Penjaga. Bukan karena mereka mau, tapi karena hanya mereka yang bisa menahan beban yang tak bisa ditanggung orang biasa. Tanda di tanganmu itu bukan kebetulan, Lisa. Itu panggilan.”
Lisa menggeleng keras, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak… aku bukan siapa-siapa! Aku bahkan nggak tahu kenapa aku bisa melakukan hal-hal aneh ini. Aku nggak pernah minta—”
“Custodian tidak pernah meminta,” potong Bu Redfield. Suaranya tajam, menusuk. “Mereka ditarik. Dan mereka selalu membayar harga.”
Ruangan seketika hening. Lilin bergetar, dan di dinding, bayangan mereka sendiri tampak semakin panjang, seolah menunduk mendengar vonis itu.