NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hubungan Salah Paham

Malam itu ruang keluarga rumah Aruna dipenuhi suasana tenang dan hangat. Lampu gantung berwarna kuning keemasan menggantung rendah, menerangi rak buku dan sofa empuk tempat Aruna bersandar. Aroma teh melati yang baru diseduh menyeruak pelan, bercampur manis dengan wangi kayu manis dari biskuit kering di atas meja.

Pak Agam Pramudya duduk di seberangnya, mengenakan kemeja rumah dan sweater abu-abu, kacamata melorot di batang hidungnya sementara ia membaca buku biografi seorang tokoh politik yang tebalnya seperti kamus besar.

“Papa…” katanya sambil menyeruput teh. “Tahu nggak, anaknya Pak Raffi sekarang sekolah di sini juga.”

Pak Agam mendengus pendek, masih memandangi bukunya.

“Oh ya? Sudah lama Papa nggak dengar kabarnya. Terakhir cuma salaman waktu pelantikan itu, itupun sebentar. Sekarang dia sibuk di gedung dewan," sahutnya santai.

Aruna menoleh, menimbang-nimbang sebelum bicara.

“Pak Raffi tahu soal… tunangan aku?”

Pak Agam menutup bukunya pelan, seperti sedang menandai bab penting sebelum menjawab.

“Nggak. Waktu itu juga bukan acara resmi. Lagipula beliau sibuk banget. Papa pikir nanti saja ngasih tahu, kalau waktunya pas.”

Aruna mengangguk, lalu bergumam pelan sambil menatap teh dalam cangkirnya, “Artinya… aman buat lanjut break.”

Pak Agam mengangkat satu alis. “Break apa, Na?”

Aruna cepat-cepat menyesap tehnya dan tersenyum canggung. “Break… teh ini, Pak. Terlalu manis.”

Pak Agam menggeleng pelan, senyum kecil terbit di wajahnya. “Anak zaman sekarang, kalau ngomong pakai kode terus. Kayak soal-soal TPA.”

Aruna terkekeh pelan. Notifikasi grup WhatsApp kelas berbunyi, dan ia membuka pesan itu dengan rasa malas.

“Pa, aku heran deh…” katanya sambil menatap langit-langit.

Pak Agam menurunkan kacamatanya sedikit. “Heran soal apa?”

“Soal Aletta. Ternyata dia dekat sama Mas Bagas... dan Atta juga.” Aruna memutar bola matanya. “Tapi aku beneran nggak ingat pernah kenal dia sebelumnya.”

Pak Agam tertawa pelan, seperti baru mendengar teka-teki anak kecil.

“Wajar kamu lupa. Waktu itu kamu udah pindah ke Singapura. Kayaknya Aletta masih SD kelas akhir waktu itu.”

Aruna mengangguk pelan. “Iya ya… aku kan pindah waktu masuk SMP. SMP sampai awal SMA di sana, nemenin Mama berobat.”

Pak Agam meletakkan buku ke meja, lalu menatap Aruna dengan nada lebih tenang.

“Kamu baru kenal Bagas pas balik ke Indonesia. Waktu sekolah sini, kelas dua SMA.”

Aruna menghela napas. “Berarti semua orang udah punya sejarah panjang di sini ya. Aku doang yang baru muncul di tengah-tengah cerita kayak tokoh utama drama Korea pindahan.”

Pak Agam tertawa lagi. “Ya siapa suruh jadi tokoh utama?”

Aruna menyeringai. “Ya siapa lagi kalau bukan putri tunggal Agam Pramudya?”

Pak Agam mengangkat alis. “Tapi jangan lupa, tokoh utama juga bisa lupa skrip kalau terlalu banyak mikirin cinta.”

“Na,” katanya santai. “Boleh Papa tanya sesuatu?”

Aruna menoleh. “Tanya soal apa, Pa?”

“Soal kamu dan Bagas.”

Aruna terdiam sejenak. Ada jeda yang tidak nyaman, seperti loading video dengan sinyal lemot. Ia berdeham kecil, mencoba terdengar santai.

“Semua baik, Pa,” jawabnya.

Pak Agam menyipitkan mata. “Baik yang kayak gimana? Soalnya kamu di rumah kok santai banget. Nggak kelihatan kayak anak yang lagi… ya, lagi dekat serius sama orang.”

Aruna mengangkat alis. “Emangnya harusnya gimana, Pa? Baper tiap malam? Nge-chat ‘udah makan belum’ sambil peluk bantal?”

Pak Agam tertawa pendek. “Ya nggak gitu juga, tapi... ya, masa tunangan kayak temen main karambol?”

Aruna ikut tertawa. “Ya mungkin Mas Bagas itu, lagi sibuk, Pa. Lagian, ia sibuk dengan urusan sekolah.”

Pak Agam mengangguk-angguk, senyum geli terselip di wajahnya. “Yang penting, jangan terlalu serius. Papa lebih suka kalau kamu bisa banyak ketawa bareng dia. Nikmati aja masa muda. Jangan semua dibawa kaku.”

Aruna menatap ayahnya dan tersenyum tulus. “Iya, Pa. Aku akan coba banyak becanda. Mungkin… ngajak dia main tebak-tebakan kayak anak TK.”

Keduanya tertawa, malam itu berubah hangat dan cerah seperti mentari yang muncul setelah hujan.

Aruna menutup pintu kamar. Ia menghempaskan diri ke kasur, menatap langit-langit sambil mengeluh pelan.

“Kenapa sih harus aku yang duluan? Ia bahkan tak mengingat aku pada malam hari,” gumamnya sambil memeluk guling.

Sejak makan terakhir di warkop itu, Bagas tak pernah mengirim pesan. Tidak "selamat pagi", tidak "selamat malam", bahkan tidak satu emoji pun. Padahal, biasanya selalu ada. Bahkan stiker kucing pakai jas hujan pun bisa jadi alasan untuk obrolan panjang.

Aruna menggeser posisi, memandangi layar ponsel. Kontak Kak Bagas terpampang jelas, lengkap dengan foto Bagas yang tersenyum sok cool di depan papan tulis.

Ia menghela napas dan menyentuh layar—entah ingin buka chat, lihat status, atau sekadar meratapi kenapa hati bisa segalau ini. Tapi tanpa sadar, jempolnya menyentuh ikon telepon.

“Eh—eh! Ya Allah!”

Nada sambung terdengar. Aruna panik. Dalam sekejap, ia memencet tombol merah.

“Duh, bodoh banget sih, Aruna…”

Tapi belum sempat ia menyesali nasib lebih dalam, layar ponselnya menyala. Nama Bagas muncul, menelepon balik. Aruna menatapnya lekat-lekat, seperti sedang diancam bom waktu.

Ia tidak menjawab.

Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk.

Bagas

[Ada sesuatu?]

Belum juga membalas, layar kembali menyala.

Bagas menelepon lagi.

Dengan napas tercekat, Aruna akhirnya mengangkat.

“Aruna?” suara Bagas terdengar, agak heran.

“Eh… iya. Maaf, Mas, eh Pak. Tadi salah pencet.” Aruna menggigit bibirnya, berharap bumi menelannya hidup-hidup.

Hening beberapa detik. Lalu terdengar tawa ringan dari seberang.

“Kirain kangen,” goda Bagas singkat.

Aruna menutup wajahnya dengan bantal.

“Jangan ge'er. Enggak juga,” jawabnya cepat, meski pipinya sudah sepanas radiator motor.

“Yakin?”

Aruna tak menjawab. Ia hanya memeluk bantalnya lebih erat, sambil berpikir keras bagaimana caranya kabur ke planet lain.

“Kamu juga kenapa telepon balik? Udah tahu, kita lagi break,” cecar Aruna, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. “Kenapa juga harus kepencet? Astaga, Aruna…” gumamnya sendiri.

Suara di seberang masih terdengar—suara Bagas—dan nadanya menyiratkan senyum yang bisa terbayang jelas di kepala Aruna.

“Kok, aku yang salah? Kamu yang pertama,” tuduh Bagas, terdengar santai, seperti baru saja memenangkan permainan.

Aruna mendengus. “Salah pencet, lho.”

“Hmm, kok bisa salah pencet? Kan harus buka dulu, lihat nama aku, terus klik.”

“Ya itu tadi. Salah,” elaknya lagi, suaranya makin tinggi satu oktaf, antara malu dan ingin mencoret namanya sendiri dari grup keluarga.

“Apa jangan-jangan... kamu memang lagi liat-liat kontak aku? Sebab, kamu mau mengatakan sesuatu,” goda Bagas, nadanya seperti menyenggol-nyenggol perasaan yang Aruna sendiri belum mau akui.

Aruna membulatkan mata. “Pak nyebelin!”

Tanpa pikir panjang, ia menutup telepon. Plak! Layar gelap, tapi jantungnya masih ribut seperti habis lari keliling sekolah.

Tak butuh waktu lama, ponselnya berbunyi lagi—bukan panggilan, tapi pesan.

Bagas

[Kalau pun salah pencet, aku juga kangen.]

Aruna terdiam. Ia membaca pesan itu dua kali. Tiga kali. Lalu memeluk ponselnya dengan ekspresi penuh kegundahan manja.

“Duh, ini yang bikin susah move on, tahu gak sih…” bisiknya, meski di dalam hati senyum kecil sudah mencuri tempat di bibirnya.

Bagas masih menyisakan senyum kecil setelah menutup telepon. Meski awalnya hanya salah pencet, suaranya Aruna barusan... yah, cukup membuat malamnya tak sepi-sepi amat.

Ia melirik jam dinding. Hampir pukul sepuluh malam. “Kalau kubelikan martabak, masih keburu nggak, ya?” pikirnya, tapi langsung menggeleng. “Sudah malam. Lagian, siapa juga yang mau makan martabak tengah malam dan besok dapat wajah kecil itu.”

Ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi berita masuk. Judulnya mencolok:

"Anggota Dewan dan Pengusaha Ternama, Raffi Pradana, Ajukan Gugatan Cerai Resmi"

Alis Bagas langsung terangkat. Ia mengklik tautannya. Foto Pak Raffi dan mantan istrinya terpampang jelas, lengkap dengan keterangan bahwa gugatan diajukan lantaran "perbedaan prinsip yang tak dapat didamaikan".

"Aku tahu ini bakal kejadian, tapi tetap aja..." Bagas menghela napas panjang.

Otomatis, wajah Aletta melintas di kepalanya. Gadis itu terlalu pandai menyembunyikan luka—selalu tampak kuat, tapi Bagas tahu lebih dari itu. Ia tahu Aletta sudah lama tahu soal perselingkuhan ayahnya, bahkan sebelum berita itu muncul di media.

Bagas bersandar di kursi, menatap langit-langit kamar.

“Dulu mereka keluarga yang bahagia. Apa kabarnya Aletta?" gumamnya.

Ia ingat betul bagaimana Aletta diam-diam menyimpan amarah di balik sikap dinginnya. Ia tahu gadis itu bukan hanya kesal dipindah sekolah atau tinggal serumah dengan orang asing. Aletta tahu kebenaran paling pahit: ayahnya berselingkuh, dan ibunya diceraikan demi seseorang yang tak pernah ia kenal.

Ia berdiri dan meraih buku yang terbuka di meja, mencoba kembali ke dunia rasional—walau pikirannya sudah terseret ke drama dua anak donatur sekolah yang kini bersilang dalam hidupnya.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!