di dunia zentaria, ada sebuah kekaisaran yang berdiri megah di benua Laurentia, kekaisaran terbesar memimpin penuh Banua tersebut.
tapi hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, pada saat malam hari menjelang fajar kekaisaran tersebut runtuh dan hanya menyisakan puing-puing bangunan.
Kenzie Laurent dan adiknya Reinzie Laurent terpaksa harus berpisah demi keamanan mereka untuk menghindar dari kejaran dari seorang penghianat bernama Zarco.
hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, kedua pangeran itu memiliki jalan mereka masing-masing.
> dunia tidak kehilangan harapan dan cahaya, melainkan kegelapan itu sendiri lah kekurangan terangnya <
> "Di dunia yang hanya menghormati kekuatan, kasih sayang bisa menjadi kutukan, dan takdir… bisa jadi pedang yang menebas keluarga sendiri <.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resonansi yang Tak Terukur
Keesokan paginya, Sekte Gunung Langit diselimuti udara yang berbeda.
Kabut tipis bergulung perlahan di antara paviliun-paviliun batu dan pilar-pilar tinggi yang menjulang seperti tombak menuju langit. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun halaman utama sekte telah dipenuhi ratusan calon murid. Wajah-wajah muda itu memendam harapan, ambisi, dan ketegangan yang tak dapat sepenuhnya disembunyikan.
Hari ini adalah ujian tahap ketiga.
Di pusat halaman berdiri sebuah tugu batu raksasa berwarna hitam kebiruan. Permukaannya dipenuhi ukiran rune kuno yang berdenyut samar, seolah batu itu bernapas pelan.
Tugu Batu Sihir Pengukur Kekuatan jiwa.
Artefak kuno yang telah digunakan Sekte Gunung Langit selama ratusan tahun. Ia tidak hanya mengukur jumlah Ki, tetapi juga kestabilan, kemurnian, serta resonansi batin seorang kultivator.
Seorang tetua berambut putih melangkah maju. Jubahnya berkibar ringan tertiup angin pagi.
“Ujian tahap ketiga dimulai,” ucapnya dengan suara tenang namun menggema di seluruh halaman.
Ia mengangkat tangan. Rune pada tugu menyala lebih terang, lalu berubah membentuk spektrum warna.
“Delapan tingkat kekuatan,” lanjutnya.
Hitam Gelap – Tingkat Dasar
Hijau Lumut – Tingkat Menengah Kebawah
Biru Langit – Tingkat Menengah Awal
Biru Tua – Tingkat Menengah
Ungu Muda – Tingkat Tinggi Dasar
Ungu Pekat – Tingkat Tinggi Menengah
Kuning – Tingkat Tertinggi Keatas
Merah Legendaris – Tingkat Legendaris
“Peserta pertama,” kata tetua itu.
“Ryu Jin.”
Ryu Jin melangkah maju dengan santai, tangan di belakang kepala, senyum cerah seolah sedang berjalan menuju kedai teh, bukan ke depan artefak kuno.
“Doakan aku ya,” katanya sambil melirik Kenzie. “Kalau dapat hitam gelap, setidaknya aku konsisten.”
Rava mendengus. “Cepat sana.”
Ryu Jin menempelkan telapak tangannya ke tugu.
Ki mengalir.
Cahaya Biru Langit menyala stabil.
“Tingkat menengah awal,” ucap tetua.
“Lumayan,” Ryu Jin terkekeh sambil berjalan mundur. “cukup bagus, tidak mengecewakan leluhur.”
Peserta berikutnya maju silih berganti.
“Tuan muda keluarga Yue, Yue Hanlin.”
Seorang pemuda berpakaian mahal melangkah dengan penuh kepercayaan diri. Saat telapak tangannya menyentuh tugu, cahaya Ungu Muda langsung menyala.
“Tingkat tinggi dasar.”
Bisik-bisik segera terdengar.
“Pantas…” “Keluarga Yue memang monster.”
Tuan mudah itu tersenyum puas, Lalu berjalan kembali.
Berikutnya, “Tuan muda keluarga dagang Luo, Luo Shen.” Cahaya Biru Tua muncul dengan kilau padat namun tenang.
“Tingkat menengah.”
Ia menyingkir tanpa banyak reaksi.
Satu per satu peserta diuji. Hijau lumut, biru tua, ungu muda—hasil-hasil yang cukup untuk membuat iri, namun masih berada dalam batas yang bisa diterima logika sekte.
Kemudian terdengar nama yang membuat sebagian peserta menegakkan punggung.
“Zhao Ming, murid unggulan rekomendasi Tetua Lin.”
Zhao Ming maju melangkah mendekat ketugu batu penguji, kemudian meletakkan tangannya di tugu itu.
Saat telapak tangannya menyentuh tugu, cahaya Ungu Pekat menyala mantap.
“Tingkat tinggi menengah.”
Sorak kecil terdengar.
Wajah zhao Ming memperlihatkan kepuasan dan kemudian mundur, kembali ketempat.
Para murid rekomendasi berdiri terpisah dari peserta biasa. Tatapan mereka penuh superioritas, seolah halaman ini memang diciptakan untuk mereka.
Giliran Rava.
Ia melangkah maju dengan rahang mengeras. Cahaya Biru Tua berdenyut kuat.
“Tingkat menengah.”
Rava mengepalkan tangan, lalu menyingkir.
Liera menyusul. Ki-nya lembut namun stabil.
Cahaya Biru Langit muncul.
Ia tersenyum kecil, puas.
Snowy maju berikutnya.
Langkahnya ringan, ekspresinya datar. Namun matanya sesekali melirik ke arah Kenzie, bukan dengan kehangatan—melainkan dengan api persaingan yang dingin.
Sorot mata semua calon murid tertuju padanya, tentu saja semua orang melihatnya karena parasnya yang cantik membuat semua calon murid pria tertarik padanya.
Sampai nya di tugu, Ia menempelkan tangannya ke tugu itu.
Cahaya Ungu Pekat muncul, stabil dan jernih.
“Tingkat tinggi menengah,” ucap tetua, nada suaranya sedikit berubah.
Bisik-bisik segera pecah.
“Seorang jenius…” “Wanita cantik itu luar biasa.”
Snowy menyingkir tanpa menoleh. Ia berdiri tidak jauh dari Kenzie, bukan karena kedekatan, melainkan karena ia ingin melihat—ingin memastikan—apakah pria yang dua kali mengunggulinya benar-benar layak.
Terakhir.
“Kenzie.”
Seluruh pandangan tertuju padanya.
Peringkat pertama ujian tahap pertama dan kedua. Sosok tanpa latar belakang keluarga besar. Sosok yang, entah bagaimana, terus mengganggu keseimbangan banyak orang.
Kenzie melangkah maju. Langkahnya tenang. Tidak ada ambisi yang terpancar, tidak pula kegugupan. Ia hanya melangkah karena itulah langkah berikutnya.
Telapak tangannya menyentuh tugu.
Sunyi.
Tidak ada cahaya. Tidak ada warna.
Rune di permukaan batu bergetar pelan, seolah mencoba membaca sesuatu yang tidak termasuk dalam delapan spektrum yang telah ditetapkan sejak ratusan tahun lalu.
Kemudian— "Krak..."
Retakan halus menjalar di permukaan tugu.
Satu detik. Dua detik.
Tugu tetap gelap.
“Tidak ada warna?” “Mustahil.” “Bahkan pemula memunculkan putih!”
Gumaman berubah menjadi ejekan samar. Beberapa tuan muda tersenyum miring.
“Jadi ini peringkat pertama itu?” “Kalau kami ikut dari awal, hasilnya pasti berbeda.”
Kenzie menarik tangannya. Ia menatap tugu yang retak, lalu menunduk sedikit. “Baik,” gumamnya pelan.
Tugu itu tidak memberikan reaksi, ternyata betul, seperti dugaanku sebelumnya, Ki yang ada di tubuhku ternyata berbeda dari yang lain. Ku rasa tuan arvendel telah memberikan sesuatu yang istimewa kepadaku. Hingga tugu pengukur jiwa ini tidak bisa meresponnya.
Baginya, hasil itu tidak penting, Karena Kenzie telah menduga hal tersebut.
Namun saat para tetua hendak melanjutkan ujian— Tugu itu bergetar.
Retakan yang tadi tampak mati kini memancarkan cahaya.
Bukan putih. Bukan hijau. Bukan biru. Bukan ungu. Bukan kuning. Bukan merah.
Cahaya itu… emas.
Keemasan yang murni, jernih, dan menekan. Cahaya yang tidak memancar agresif, namun membuat dada siapa pun yang melihatnya terasa berat.
Para tetua membeku. Salah satu dari mereka tanpa sadar melangkah maju. “Ini… resonansi pengakuan?” Tetua lain menatap rune yang runtuh. “Tidak. Ini bukan pengukuran. Artefak itu… beradaptasi.”
Tetua tertua berdiri terakhir. Wajahnya serius. “Cahaya emas, bukan merah legendaris,” ucapnya pelan. Cahaya itu hanya bertahan sesaat.
Lalu— "BOOM!.."
Tugu Batu Sihir hancur berkeping-keping.
Keheningan mutlak menyelimuti halaman.
Debu batu jatuh perlahan seperti hujan abu.
Kenzie berdiri di tengahnya, ekspresinya tetap tenang, tapi ia tetap merasa terkejut karena melebihi ekspektasinya.
Para tetua saling berpandangan.
Beberapa tuan muda menggertakkan gigi.
Mereka Iri. Bukan kebencian—melainkan rasa tak terima karena menyadari jarak yang tidak bisa mereka jangkau.
Tatapan-tatapan itu kemudian beralih ke Snowy, lalu kembali ke Kenzie. Sebuah kesalahpahaman pun lahir di benak banyak orang. Mereka mengira bahwa Snowy menyukai Kenzie karena keberhasilan peringkat ujian secara berturut turut.
Snowy tidak mengatakan apa pun. Namun matanya menyipit tipis. Bukan karena ketertarikan. Melainkan karena satu hal sederhana, Ia merasa tersaingi.
Dan di Sekte Gunung Langit, orang yang membuat orang lain merasa tersaingi…
sering kali menjadi pusat badai.
......................
Keheningan setelah runtuhnya Tugu Batu Sihir berlangsung lebih lama dari yang seharusnya.
Debu halus masih melayang di udara, memantulkan cahaya pagi yang kini terasa lebih dingin. Para peserta tidak berani bersuara. Bahkan para tuan muda yang sebelumnya tersenyum meremehkan, kini menelan ludah mereka sendiri.
Kenzie berdiri di tengah puing-puing batu, kedua tangannya menuruni sisi tubuhnya. Tidak ada rasa bangga. Namun hanya ada keterkejutan berlebihan. Ia hanya… tak menduga hal itu akan terjadi.
Seorang tetua melangkah maju perlahan, berlutut, dan menyentuh pecahan tugu yang masih hangat.
“Artefak ini tidak rusak karena kelebihan daya,” gumamnya.
Tetua lain menyipitkan mata, menatap Kenzie seolah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
“Melainkan karena… ia mencoba membaca sesuatu yang tidak tercatat dalam delapan spektrum.”
Tatapan para tetua kini berubah. Bukan kagum. Bukan takut. Melainkan waspada.
Di sisi halaman, Snowy berdiri dengan tangan terlipat di balik jubahnya. Wajahnya tetap dingin, namun pupil matanya sedikit mengecil. Ia menatap Kenzie—bukan dengan kekaguman, melainkan dengan perhitungan.
"Dia tetap tenang…" pikirnya.
Ia telah mencoba memprovokasi Kenzie sejak ujian pertama. Berdiri terlalu dekat. Mengganggu ritme napasnya. Menguji kestabilan batinnya.
Namun Kenzie tidak pernah goyah. Bukan karena sombong. Melainkan karena ia tidak peduli. Dan itu… justru lebih menjengkelkan.
Beberapa peserta lain salah menafsirkan jarak Snowy yang selalu dekat dengan Kenzie. Bisikan mulai menyebar, disertai tatapan iri dan cemburu.
Snowy menyadarinya. Ia tidak membantah. Jika kesalahpahaman itu bisa menjadi tekanan tambahan bagi Kenzie, maka ia akan membiarkannya tumbuh.
Di kejauhan, seorang wanita berdiri di antara barisan tetua tamu.
Rambutnya hitam panjang, diikat rendah. Tatapannya tajam seperti bilah pedang yang belum terhunus. Jubahnya sederhana, namun aura di sekelilingnya membuat udara terasa lebih berat.
Di sampingnya, Wulan Tsuyoki tersenyum kecil. “Guru,” ucap Wulan pelan.
“Anak itu.” Wanita itu mengamati Kenzie tanpa emosi berlebihan. “Yang merusak tugu?.. Apakah dia yang kamu maksud?.”
“betul guru dialah yang direkomendasikan olehku,” jawab Wulan.
Sang guru terdiam sejenak, lalu berbalik. “Namaku Helen rowena,” katanya dingin, seolah berbicara kepada angin. “Aku tidak tertarik pada jenius muda”. Namun langkahnya berhenti. “…Tapi aku tertarik pada ketenangan yang lahir dari pemahaman, bukan bakat.”
Ia melirik Wulan. “Ajak aku menemuinya setelah ujian selesai.”
Wulan menunduk hormat. “Dengan senang hati, Guru.”
Di tengah halaman, tetua utama akhirnya melangkah maju. “Ujian tahap ketiga dihentikan,” ucapnya lantang. “Kandidat bernama Kenzie…”
Semua mata tertuju padanya. “…diterima secara resmi sebagai murid Sekte Gunung Langit.”
Tidak ada sorak sorai.
Hanya keheningan yang lebih berat.
Karena semua orang di halaman itu sadar, Seorang murid yang tidak bisa diukur… jauh lebih berbahaya daripada seorang jenius yang bisa diprediksi.
Di kejauhan, langit Sekte Gunung Langit semakin gelap.
Ujian telah berakhir.
Namun jalan Kenzie… baru saja dimulai di dunia beladiri yang kejam.