Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 — Sajak Seorang Abadi yang Tak Menyadarinya
Cahaya sore menembus sela-sela pepohonan, menimpa halaman sederhana rumah Li Yun. Angin bertiup lembut, membawa aroma teh yang masih tersisa di udara. Tiga orang tamu — Bai Yuan, Meng Qi, dan Mu Qinglan — masih duduk dengan wajah kaku namun penuh hormat, sementara Li Yun perlahan membuka matanya setelah sempat terpejam sebentar karena udara sejuk dari giok dingin itu terlalu menenangkan.
“Hah… nyamannya…” gumam Li Yun pelan sambil meregangkan tubuh. Ia lalu menatap giok biru pucat di tangannya. “Ah, jangan sampai hilang… ini harus kutaruh di tempatnya.”
Tanpa pikir panjang, ia menaruh kembali giok dingin itu ke dalam kotaknya, menutupnya rapat, dan meletakkannya di atas meja — seolah benda itu hanyalah batu hias biasa. Tiga pasang mata di hadapannya menatapnya tak berkedip, pupil mereka sedikit bergetar.
Beliau memegang Giok Salju Abadi tanpa perlindungan spiritual, dan sekarang menaruhnya begitu saja… seolah itu batu dari pinggir jalan! Dan bahkan hawa es-nya tak berani menyentuh kulit beliau! Siapa… sebenarnya beliau ini!?
Sementara mereka tenggelam dalam keterkejutan masing-masing, Li Yun justru merasa canggung karena suasana hening terlalu lama. Ia menggaruk tengkuknya sambil berkata dengan tawa kecil, “Ah, kalian ini tamu yang sopan sekali… rasanya aku harus memberikan sesuatu sebagai balasan atas hadiah kalian.”
Ketiga orang itu langsung terkejut, saling pandang penuh kepanikan. Bai Yuan buru-buru mengangkat tangan dan berkata cepat, “Tidak! Tidak perlu, Senior Li! Kami tidak pantas menerima apa pun dari Anda! Bahkan bisa duduk di sini saja sudah merupakan berkah bagi kami!”
Li Yun tersenyum malu. “Haha, jangan begitu. Aku tahu hadiah kalian pasti mahal. Masa aku tidak membalasnya sama sekali? Aku jadi merasa tak enak hati.”
Meng Qi mencoba menenangkan dengan suara gemetar, “Kami sungguh tidak meminta imbalan, Senior. Anda sudah memberikan terlalu banyak pada kami—”
Namun Li Yun mengangkat tangannya, menolak dengan lembut. “Tidak, tidak. Aku tidak bisa diam saja. Tapi maaf, mungkin pemberianku tidak sepadan dengan hadiah kalian.”
Tiga orang itu refleks menegakkan tubuh dengan penuh hormat. “Apa pun yang diberikan Senior Li akan kami jaga sampai mati!” seru mereka hampir serempak, membuat Li Yun terkejut dan hampir menjatuhkan teko di meja.
“Eh, sampai mati? Wah, kalian ini serius banget…” katanya gugup sambil mengangkat alis.
Ia pun berpikir sejenak. Matanya melirik ke arah rak buku, ke tumpukan kertas dan kuas kaligrafinya. Seketika wajahnya bersinar.
“Ah! Aku tahu! Aku akan memberikan kalian sesuatu yang lebih berkesan — sebuah sajak.”
Ketiganya langsung menegang, napas mereka berhenti sepersekian detik.
Sajak!? Beliau akan memberikan Sajak Dao!?
Apakah kami benar-benar akan menyaksikan langsung bagaimana seorang makhluk agung menulis sajak ilahi!?
Tanpa menyadari guncangan batin para tamunya, Li Yun berjalan santai ke dalam rumah. Ia mengambil selembar kertas putih besar dan sebuah kuas tua yang bulunya sedikit kusut, lalu kembali ke halaman.
Tiga tamunya hampir menahan napas.
Beliau akan melakukannya di depan kami!? Ini… ini kehormatan yang tak bisa ditukar dengan ribuan artefak suci!
Li Yun duduk di bangku kayu kecil, menyiapkan tinta. Ia memutar kuas di jarinya sambil berpikir keras.
“Hm… apa ya yang bagus? Jangan yang aneh-aneh nanti mereka gak paham. Eh, tapi mereka orang kuat, pasti suka sesuatu yang dalam.”
Ia melirik ketiganya — yang kini menatapnya dengan mata seperti murid yang menunggu pencerahan — lalu tersenyum.
“Baiklah, aku tahu.”
Li Yun mulai menulis. Setiap goresan kuasnya lembut, tapi bagi Bai Yuan dan yang lainnya, setiap guratan tinta itu seperti petir yang menyambar batin. Ruang di sekitar mereka tiba-tiba terasa berat — udara bergetar, seolah setiap goresan mengandung hukum alam yang tak terucapkan.
Detak jantung mereka seolah berhenti setiap kali kuas itu menyentuh kertas.
Garis pertama… mengandung tekanan Dao Langit!
Tidak! Itu bukan hanya Dao Langit… itu campuran antara Dao Kehidupan dan Dao Kebijaksanaan! Bagaimana mungkin manusia fana bisa menulis seperti ini!?
Tinta menetes di ujung kuas. Li Yun menatap karyanya sebentar, meniupnya pelan agar kering. Lalu ia menegakkan tubuhnya dan tersenyum santai.
“Selesai.”
Ia menaruh kuas, menatap hasilnya dengan puas. Di atas kertas besar itu, hanya ada satu karakter — satu kata sederhana yang ia tulis dengan yakin dan tenang:
“Bijaksana.”
Bagi Li Yun, itu hanya kata biasa. Tapi bagi tiga orang di hadapannya, dunia seakan berhenti berputar.
Bai Yuan menatapnya dengan mata membelalak, tenggorokannya kering. Meng Qi dan Mu Qinglan bahkan sudah berdiri tanpa sadar, menatap kata itu dengan tubuh bergetar hebat.
Dari satu huruf itu, mereka bisa merasakan riak kekuatan Dao yang murni — lembut namun tak terukur dalamnya.
Dalam hati mereka, hanya satu pikiran bergema:
Setiap goresan kuas beliau mengandung hukum dunia.
Satu kata ini saja cukup untuk membuat sekte-sekte besar bertempur memperebutkannya!
Bai Yuan akhirnya berlutut dengan tangan gemetar. “S-Senior Li… apakah Anda sungguh ingin memberikan… karya ini pada kami yang tidak layak ini?”
Li Yun menatapnya dengan bingung. “Hm? Tentu saja. Kan itu tadi hadiah balasanku.”
Mu Qinglan hampir terisak. “Kami… kami benar-benar tidak pantas menerimanya…”
Meng Qi menunduk dalam-dalam. “Satu kata dari Anda lebih berharga dari seribu artefak surgawi…”
Li Yun tersenyum canggung, merasa suasana mulai terlalu serius lagi. Ia menggaruk kepalanya, berpikir, Apa semua kultivator di dunia ini memang sesensitif ini soal seni? Mereka kelihatannya belum pernah lihat tulisan kaligrafi sebelumnya…
“Sudahlah, ambil saja,” katanya santai. “Aku malah sempat khawatir kalian bakal menolak.”
Tiga orang itu serempak menunduk lebih dalam. “Kami tak berani menolak apa pun dari Senior Li!”
“Bagus, bagus.” Li Yun tersenyum lega. “Kalau begitu, anggap saja ini bentuk terima kasihku.”
Dengan tangan bergetar, Bai Yuan mengambil kertas itu. Ketika ia mengangkatnya ke cahaya, tinta di atasnya memantulkan kilau samar seperti bintang. Suhu di sekitar mereka bergetar lembut — seolah alam pun tunduk pada makna kata tersebut.
Meng Qi berbisik, “Satu kata ini… bisa menjadi dasar meditasi untuk seribu tahun.”
Mu Qinglan menatapnya dengan mata basah. “Aku merasa jiwaku tercerahkan hanya dengan melihatnya…”
Bai Yuan menatap Li Yun dengan rasa hormat yang tak dapat disembunyikan. “Terima kasih, Senior Li. Kami akan menjaga sajak ini… bahkan jika nyawa kami taruhannya.”
Li Yun hanya mengangkat tangan santai. “Ah, jangan lebay begitu. Itu cuma tulisan biasa. Kalau sampai robek, tinggal kubuat lagi.”
Mereka hampir pingsan mendengarnya.
Tulisan biasa!?
Satu goresan tinta ini bisa mengguncang dunia kultivasi kalau tersebar!
Namun mereka hanya menunduk lebih dalam lagi, menahan diri untuk tidak berteriak di hadapannya.
Tak lama kemudian, setelah mengucap terima kasih berulang kali, Bai Yuan menatap langit yang mulai memerah dan berkata pelan, “Senior Li, kami mohon pamit. Ada urusan penting yang harus kami selesaikan.”
Li Yun mengangguk sambil tersenyum ramah. “Baiklah, hati-hati di jalan. Kalian pasti sibuk.”
Ia hendak berdiri untuk mengantar mereka, namun ketiganya segera menolak dengan gerakan cepat dan hormat.
“Tidak perlu, Senior! Kami tidak berani merepotkan Anda lagi.”
Li Yun sempat ingin memaksa, tapi melihat wajah mereka yang benar-benar tulus, ia akhirnya hanya mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu, sampai jumpa lagi.”
Mereka bertiga memberi hormat dalam-dalam, menunduk nyaris menyentuh lantai sebelum perlahan melangkah pergi. Bahkan langkah kaki mereka pun terasa hati-hati, seolah takut meninggalkan jejak buruk di tanah halaman Li Yun.
Saat bayangan mereka hilang di balik gerbang kediaman nya, Li Yun berdiri diam sejenak, menatap arah kepergian mereka. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.
“Rasanya dihargai seperti itu… ternyata menyenangkan juga,” gumamnya lembut.
Ia menghela napas bahagia, lalu menatap meja yang penuh cangkir teh kosong dan serpihan daun melati.
“Baiklah, waktunya bersih-bersih lagi.”
Dengan pelan ia mulai mencuci cangkir, mengelap meja, dan merapikan kursi bambu yang tadi mereka duduki. Setiap gerakannya ringan, namun hatinya terasa hangat.
Selesai beres-beres, matanya melirik kotak giok yang masih tergeletak di atas meja. Wajahnya kembali bersinar.
“Ah iya! Dengan batu dingin itu, aku bisa buat kulkas!” katanya semangat. “Aku cuma butuh kayu dan beberapa papan tipis… kalau bisa tambahkan sedikit arang buat peredam panas. Hmm… ini ide brilian!”
Tanpa menunggu waktu lama, Li Yun langsung pergi ke gudang belakang, mengambil gergaji dan palu tua. Sambil bersenandung kecil, ia memotong beberapa papan kayu dengan telaten.