Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan
Pagi itu Rendra tidak olahraga. Ia juga tidak ikut telepon konferensi dengan tim Singapura dan mendelegasikannya kepada Lukman, wakilnya. Ia bahkan membatalkan janji Golf dengan CEO South Ventures. Sebagai gantinya, ia memasak pancake. Gosong memang, tapi ia tuang madu di atasnya, bukan maple syrup.
Dan saat Dinda tertawa melihat pancake yang bentuknya kacau tapi tetap memakannya dengan lahap sambil bilang, "Enak kok, Mas.", Rendra tersenyum. Senyum yang tulus. Senyum yang tidak pernah ia berikan kepada siapa pun selain perempuan di hadapannya ini.
"Hari ini mau jalan-jalan nggak?" tanya Rendra, "Aku nggak ada jadwal sampe malem."
"Jalan kemana?" Dinda bicara tidak jelas karena mulutnya masih penuh dengan makanan.
"Kamu yang pilih. Bebas."
Dinda langsung meletakkan garpu di tangannya, "Hutan Kota GBK?" Tanyanya cepat, hampir tanpa berpikir.
"Hutan kota? Ngapain?" Tanya Rendra bingung. Ia pikir Dinda akan memilih bioskop, cafe yang sedang happening, atau sekedar berkeliling mall. Kencan ala anak-anak seusianya.
Dinda menunduk sebentar, lalu berkata pelan, "Dulu aku sering ke sana sama temen-temen, duduk sambil ngobrol. Rasanya kangen banget."
Hening. Rendra menatapnya sebentar. Mungkin dia rindu pada kehidupan lamanya. Kemudian Rendra mengangguk.
"Okay." Angguknya.
Dan Dinda langsung meloncat dari kursi. "Yey!" Serunya senang.
Ini pertama kalinya mereka kencan seperti orang normal lainnya setelah bulan madu beberapa waktu lalu. Minggu-minggu sebelumnya Dinda hanya diam di Velmore saat weekend. Mengisi waktu luang dengan pekerjaan freelance atau mencicil bab skripsi. Terkadang ia juga main ke rumah orang tuanya. Sementara Rendra, biasanya dia tetap tidak bisa diganggu walau libur di akhir minggu.
Tapi hari ini Rendra berbeda, ia mengusahakan waktunya yang sempit untuk bisa lebih dekat dengan perempuan yang akhirnya.... membuat dia kehilangan kendali.
...***...
Sore itu Hutan Kota GBK terasa sejuk. Langit Jakarta berwarna biru pucat dengan pendar sinar oranye yang tumpah di sela pepohonan. Dinda duduk santai di bangku taman, bersandar ke bahu Rendra yang sedang merangkul tubuhnya. Dinda mengunyah sandwich, sementara Rendra meneguk soda kaleng.
Dari kejauhan, beberapa remaja yang mengenali mereka tampak berbisik-bisik sambil mengarahkan kamera ponsel. Dinda pura-pura tidak melihat. Sudah biasa. Sejak pernikahannya dengan Rendra tersebar di media, wajahnya tidak lagi milik pribadi.
"Jadi gini dating ala Gen Z?" Goda Rendra.
"Emang Millenial dating-nya gimana?" Dinda memutar bola matanya.
Rendra hanya membalasnya dengan senyum jahil yang mengejek.
Sampai tiba-tiba mata Dinda menangkap sosok yang dikenalnya. Tiga orang duduk di rumput, menatap laptop, sambil sesekali tertawa.
"Eh, itu Tania sama Axel ya? Sama siapa itu..." ia menyipitkan matanya, berusaha memperjelas sosok yang dimaksud, "Mas Bima?"
Rendra terdiam. Lengannya yang sebelumnya merangkul, turun ke samping. Matanya berusaha menangkap sosok yang Dinda maksud.
Bima yang merasa diperhatikan, akhirnya menengok.
"Dinda!" Serunya begitu melihat Dinda. Tangannya melambai.
Dinda refleks balas melambai.
Bima berbisik sesuatu ke Tania yang langsung melompat berdiri.
"Dindaaa! Sini! Sini!"
Dinda meringis, tersenyum canggung.
"Ke sana bentar ya?" ia menatap Rendra, seolah meminta izin. Tangannya pelan menarik lengan suaminya, dan Rendra hanya mengikuti tanpa bicara.
"Lagi pada ngapain? Jahat banget gue nggak diajak." Katanya setelah sampai di hadapan mereka.
"Bimbingan tipis-tipis." Jawab Tania.
"Sini Din, gabung." Kata Bima.
Dinda tersenyum, lalu menoleh ke Rendra. Suaranya lebih pelan, "Nggak apa-apa ya.."
"Okay." Rendra hanya mengangkat bahunya.
Semua langsung fokus pada Rendra, melupakan dua laptop yang terbuka di hadapan mereka. Ada jeda canggung dua-tiga detik, sebelum Dinda mengambil alih.
"Oh iya Mas, ini Tania, temen aku. Ini pacarnya, Axel." Dinda menunjuk Tania dan Axel yang duduk berhadapan.
"Hai, Mas." Sapa Axel dengan cengiran lebarnya.
Rendra mengangguk sekali. Formal. Lalu matanya beralih pada Tania.
Tania melambai, "Hai Mas Rendra. Sempet ketemu kok waktu resepsi di St. Regis. Tapi mungkin lupa ya?"
"Iya, mungkin." jawab Rendra, bibirnya menyunggingkan senyuman diplomatik yang tentu saja tidak tulus.
"Kalo sama Mas Bima udah ketemu kan waktu di rumahku?" Kali ini Dinda menunjuk Bima yang duduk di sebelah Axel.
Rendra tidak menjawab, begitupula Bima. Rasanya seperti ada udara dingin di sekitar mereka.
"Ayok duduk sini." Tania bergeser untuk memberi ruang.
Dinda menarik tangan Rendra pelan. Mereka duduk di sisi alas, agak berjarak dari yang lain.
"Wah... langka nih nongkrong santai bareng Mas Rendra. Biasanya kan levelnya nggak lesehan gini." Seloroh Axel.
Tania langsung menyikutnya, "Bercanda." ia meringis pada Rendra.
Rendra hanya menatap Axel sekilas tanpa menjawab. Suasana semakin canggung.
Dinda mulai menyesali keputusannya. Rasanya seperti berjalan di atas cangkang telur. Adalah kesalahan besar membawa Rendra bergabung dengan teman-temannya. Lingkungan ini terlalu... egaliter.
"Kamu suka orange juice kan, Din? Aku ada nih. Mau?" tanya Bima sambil merogoh kantung plastik berisi makanan di sebelahnya.
"Nggak, makasih Mas." Jawab Dinda. Ia tau interaksinya dengan Bima harus lebih hati-hati jika ada Rendra.
"Itu kamu yang buat?" tanyanya lagi sambil menunjuk sandwich wrap di tangan Dinda.
"Iya, tadi bikin."
"Aku inget dulu kamu suka bawain ayah kamu bekal sandwich. Aku suka kebagian sisanya tuh." Canda Bima. Sesungguhnya setan di kepalanya ingin mencolek sedikit ego Rendra. Ia bisa merasakan pria itu tidak menyukainya sejak pertama kali mereka bertemu.
Dan Dinda bisa mendengar Rendra langsung mendengus di sampingnya.
"Aduh... Pinter banget Mas Rendra cari istri. Udah cantik, pinter masak lagi." Goda Axel.
"Iya. Banyak bisa-nya dia." jawab Rendra seadanya.
Dinda melirik gelisah, menyadari bahwa Rendra mulai tidak nyaman.
"By the way kok Mas Bima kenal ayahnya Dinda?" Tanya Axel.
"Mas Bima kan sepupunya Dinda, Axel." Jawab Tania kesal.
"Serius? Pantes akrab banget! Aku kira dulu Mas Bima PDKT sama Dinda. Cocok juga sih kelihatannya."
Dinda menggeram dalam hati. Mulut Axel sering kali memang seperti petasan renteng.
"Axel! Suka ngaco deh kalo ngomong!" Tania menatap marah. Kesal karena dia tidak paham situasi. Orang bodoh-pun bisa melihat bahwa ada ketegangan di antara Rendra dan Bima.
Sore itu Hutan Kota GBK terasa sejuk. Langit Jakarta berwarna biru pucat dengan pendar sinar oranye yang tumpah di sela pepohonan. Dinda duduk santai di bangku taman, bersandar ke bahu Rendra yang sedang merangkul tubuhnya. Dinda mengunyah sandwich, sementara Rendra meneguk soda kaleng.
Dari kejauhan, beberapa remaja yang mengenali mereka tampak berbisik-bisik sambil mengarahkan kamera ponsel. Dinda pura-pura tidak melihat. Sudah biasa. Sejak pernikahannya dengan Rendra tersebar di media, wajahnya tidak lagi milik pribadi.
"Jadi gini dating ala Gen Z?" Goda Rendra.
"Emang Millenial dating-nya gimana?" Dinda memutar bola matanya.
Rendra hanya membalasnya dengan senyum jahil yang mengejek.
Sampai tiba-tiba mata Dinda menangkap sosok yang dikenalnya. Tiga orang duduk di rumput, menatap laptop, sambil sesekali tertawa.
"Eh, itu Tania sama Axel ya? Sama siapa itu..." ia menyipitkan matanya, berusaha memperjelas sosok yang dimaksud, "Mas Bima?"
Rendra terdiam. Lengannya yang sebelumnya merangkul, turun ke samping. Matanya berusaha menangkap sosok yang Dinda maksud.
Bima, yang merasa diperhatikan, akhirnya menengok.
"Dinda!" Serunya begitu melihat Dinda. Tangannya melambai.
Dinda refleks balas melambai.
Bima berbisik sesuatu ke Tania yang langsung melompat berdiri.
"Dindaaa! Sini! Sini!"
Dinda meringis, tersenyum canggung.
"Ke sana bentar ya?" ia menatap Rendra, seolah meminta izin. Tangannya pelan menarik lengan suaminya, dan Rendra hanya mengikuti tanpa bicara.
"Lagi pada ngapain? Jahat banget gue nggak diajak." Katanya setelah sampai di hadapan mereka.
"Bimbingan tipis-tipis." Jawab Tania.
"Sini Din, gabung." Kata Bima.
Dinda tersenyum, lalu menoleh ke Rendra. Suaranya lebih pelan, "Nggak apa-apa ya.."
"Oke." Rendra hanya mengangkat bahunya.
Semua langsung fokus pada Rendra, melupakan dua laptop yang terbuka di hadapan mereka. Ada jeda canggung dua-tiga detik, sebelum Dinda mengambil alih.
"Oh iya Mas, ini Tania, temen aku. Ini pacarnya, Axel." Dinda menunjuk Tania dan Axel yang duduk berhadapan.
"Hai, Mas." Sapa Axel dengan cengiran lebarnya.
Rendra mengangguk sekali. Formal. Lalu matanya beralih pada Tania.
Tania melambai, "Hai Mas Rendra. Sempet ketemu kok waktu resepsi di St. Regis. Tapi mungkin lupa ya?"
"Iya, mungkin." jawab Rendra, bibirnya menyunggingkan senyuman diplomatik yang tentu saja tidak tulus.
"Kalo sama Mas Bima udah ketemu kan waktu di rumahku?" Kali ini Dinda menunjuk Bima yang duduk di sebelah Axel.
Rendra tidak menjawab, begitupula Bima. Rasanya seperti ada udara dingin di sekitar mereka.
"Ayok duduk sini." Tania bergeser untuk memberi ruang.
Dinda menarik tangan Rendra pelan. Mereka duduk di sisi alas, agak berjarak dari yang lain.
"Wah... langka nih nongkrong santai bareng Mas Rendra. Biasanya kan levelnya nggak lesehan gini." Seloroh Axel.
Tania langsung menyikutnya, "Bercanda." ia meringis pada Rendra.
Rendra hanya menatap Axel sekilas tanpa menjawab. Suasana semakin canggung.
Dinda mulai menyesali keputusannya. Rasanya seperti berjalan di atas cangkang telur. Adalah kesalahan besar membawa Rendra bergabung dengan teman-temannya. Lingkungan ini terlalu... egaliter.
"Kamu suka orange juice kan, Din? Aku ada nih. Mau?" tanya Bima sambil merogoh kantung plastik berisi makanan di sebelahnya.
"Nggak, makasih Mas." Jawab Dinda. Ia tau interaksinya dengan Bima harus lebih hati-hati jika ada Rendra.
"Itu kamu yang buat?" tanyanya lagi sambil menunjuk sandwich wrap di tangan Dinda.
"Iya, tadi bikin."
"Aku inget dulu kamu suka bawain ayah kamu bekal sandwich. Aku suka kebagian sisanya tuh." Canda Bima. Sesungguhnya setan di kepalanya ingin mencolek sedikit ego Rendra. Ia bisa merasakan pria itu tidak menyukainya sejak pertama kali mereka bertemu.
Dan Dinda bisa mendengar Rendra langsung mendengus di sampingnya.
"Aduh... Pinter banget Mas Rendra cari istri. Udah cantik, pinter masak lagi." Goda Axel.
"Iya. Banyak bisa-nya dia." jawab Rendra seadanya.
Dinda melirik gelisah, menyadari bahwa Rendra mulai tidak nyaman.
"By the way kok Mas Bima kenal ayahnya Dinda?" Tanya Axel.
"Mas Bima kan sepupunya Dinda, Axel." Jawab Tania kesal.
"Serius? Pantes akrab banget! Aku kira dulu Mas Bima PDKT sama Dinda. Cocok juga sih kelihatannya."
Dinda menggeram dalam hati. Mulut Axel sering kali memang seperti petasan renteng.
"Axel! Suka ngaco deh kalo ngomong!" Tania menatap marah. Kesal karena dia tidak paham situasi. Orang bodoh-pun bisa melihat bahwa ada ketegangan di antara Rendra dan Bima.
Keheningan canggung menyelimuti mereka setelahnya. Semua orang merasa gugup kecuali Rendra dan Bima. Rendra tidak bergerak. Tidak bicara. Tapi Dinda bisa merasakan ketegangan di tubuhnya. Sedangkan Bima hanya tersenyum tipis sambil membuka botol air mineral.
"Aku mau ke toilet dulu ya." Rendra menoleh pada Dinda, lalu bangkit dengan gerakan tenang.
Semua mata langsung tertuju padanya.
"Oh... oke." jawab Dinda, suaranya seperti mencicit..
Lalu Rendra menatap Bima dengan wajah tanpa ekspresi, "Toilet di mana?"
Bima mengangkat alis, seperti tidak percaya pertanyaan itu ditujukan padanya. Tapi kemudian dia menjawab dengan wajah datar, "Di seberang sana. Agak jauh."
"Bisa tunjukin jalannya?"
Hening sejenak.
Lalu Bima tersenyum miring, hambar, "Okay."
Tania melirik Dinda dengan mata membulat. Dinda hanya bisa menggigit bibir bawahnya, gelisah. Dia tahu ini bukan hanya tentang 'arah toilet'.
Bima akhirnya berdiri dengan gerakan santai, tapi Dinda bisa melihat ada ekspresi waspada di wajahnya. Mereka berdua berjalan menjauh, seperti dua gladiator yang sedang berjalan menuju arena.
"Gue salah ngomong deh kayaknya?" bisik Axel setelah mereka cukup jauh.
"Bego banget sih lu yang!" Tania memukul lengannya keras.
"Aw! Apaan?" Axel mengusap lengannya yang dipukul Tania, tapi sesaat kemudian seperti mendapat setruman di kepala, "Mereka nggak mungkin saingan kan?" Ia membelalak.
Tania mendengus kasar. Dan Dinda hanya diam, menatap punggung Rendra dan Bima yang semakin menjauh. Perutnya terasa mual. Ini tidak akan berakhir dengan baik.
Mereka berjalan dalam diam. Hanya suara langkah kaki dan riuh anak-anak yang bermain di kejauhan. Rendra berjalan di depan, tangan di saku, postur tegak, wajah tanpa ekspresi. Sedangkan Bima mengikuti di belakangnya.
Bima hanya diam, tidak membuka percakapan. Dia tahu kemana ini akan mengarah. Dan dia sudah siap.
Toilet umum terlihat di ujung jalan setapak. Rendra berhenti beberapa meter sebelum sampai. Berbalik, menatap Bima dengan mata dinginnya.
"Lo kelihatannya deket sama Dinda."
Hening.
"Apa ada perasaan lain selain saudara?" Rendra melangkah lebih dekat, mempersempit jarak di antara mereka.
Bima tidak mundur. Dia berdiri tegak, balas menatap Rendra dengan tenang, "Kami sepupu."
"Bullshit." kata Rendra datar. "Cara lo tatap dia nggak kayak sepupu." Suaranya turun satu nada. Rendah, berbahaya.
Bima tersenyum tipis, senyum yang menyebalkan. "Emang cara gue tatap Dinda gimana?"
"Seolah lo masih punya harapan."
Hening lagi. Tapi kali ini lebih berat.
Bima menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. "Gue nggak merasa punya harapan. Dinda udah nikah. Gue tau batasan."
"Good." Rendra mengangguk sekali. "Karena kalau lo nggak tau, gue yang ajarin." Nada suaranya masih tenang. Terlalu tenang.
Bima mengepalkan rahangnya. Tapi dia tetap diam.
"Gue nggak peduli lo kenal dia dari kecil. Nggak peduli lo 'kayak kakak kandung'." Rendra mengutip kata-kata Dinda dengan nada mengejek. "Karena pada akhirnya, dia pulang ke rumah gue. Tidur di ranjang gue. Dan kasih tanda ini di leher gue." dia menunjuk tanda di lehernya sendiri dengan jari telunjuk.
Bima menelan ludah. Tangannya mengepal di samping tubuh, tapi dia menahan diri untuk tidak bereaksi.
Rendra melangkah lebih dekat lagi. Sekarang jarak mereka hanya beberapa senti. Dia bisa mencium aroma cologne murah Bima.
"So here's the deal," Rendra mundur satu langkah, memasukkan tangan kembali ke saku celana. Posturnya santai, tapi matanya masih tajam. "Lo boleh tetep jadi dosen pembimbingnya. Lo boleh tetep jadi sepupunya. Tapi nggak lebih dari itu. No random calls. No unnecessary hangouts. No touching her, even casually."
"Dia bukan properti yang lo bisa atur seenaknya." kata Bima akhirnya, suaranya rendah tapi bergetar menahan amarah.
"Oh, but she is." jawab Rendra dingin. "She's my wife. Gue punya hak legal atas dia."
"Lo paksa dia nikah sama lo." kata Bima tiba-tiba.
Rendra terdiam.
"Lo pikir gue nggak tau?" lanjut Bima, suaranya mulai naik. "Dinda dijodohin dalam waktu singkat. Nggak ada proses. Nggak ada perkenalan yang bener. Tiba-tiba aja dia harus nikah sama lo. Laki-laki yang bahkan dia nggak kenal. Dia ada di samping lo sekarang, bukan karena kamauannya. Dia terpaksa."
Rendra tidak bergerak. Tapi ada kilatan berbahaya di matanya.
"Dan sekarang lo di sini, ngomong seolah-olah dia milik lo?" Bima tertawa pahit. "Dia bukan barang. Dia manusia. Dia punya perasaan. Dan gue yakin... gue yakin dia nggak bahagia."
"Lo nggak tau apa-apa tentang hubungan kami." kata Rendra, suaranya turun menjadi bisikan.
"Gue tau cukup banyak." balas Bima. "Gue tau reputasi lo. Jangan perlakukan Dinda kayak perempuan yang biasa main-main sama lo."
Rendra tersenyum, senyum yang sama sekali tidak hangat. "Lo ngomong seolah lo bisa kasih hal yang lebih baik." kata Rendra pelan. "Tapi kenyataannya? Lo nggak ngapa-ngapain waktu dia butuh pertolongan kan?"
Bima tersentak. Kata-kata itu menohok tepat di titik lemahnya.
"Lo tau kenapa?" lanjut Rendra, matanya menusuk. "Karena lo pengecut. You don't have the balls to admit your feelings. Lo bahkan nggak punya power untuk mengubah situasi. Dan sekarang, setelah dia jadi milik orang lain, lo baru nyesel? Too late, dude."
"Gue nggak nyesel." kata Bima, tapi suaranya gemetar.
"Bohong." Rendra melangkah mundur, seperti hakim yang sudah menjatuhkan vonis. "Tapi nggak masalah. Karena lo tetap kalah. Dinda udah jadi istri gue sekarang. Legally. Socially. Physically."
Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap.
"Dan kalau lo masih nggak ngerti posisi lo," Rendra menatapnya terakhir kali dengan tatapan yang bisa membekukan darah, "Gue bisa arrange supaya lo nggak perlu lagi jadi dosen pembimbingnya. Atau hilang sekalian dari hidupnya."
"Lo ngancam gue?"
"Ini bukan ancaman." jawab Rendra tenang. "Just statement of fact. Gue nggak akan ragu untuk ngelakuin apa yang perlu."
Bima menatapnya dengan mata yang penuh kebencian.
"Stay away from my wife." kata Rendra terakhir kali, nadanya final. Lalu dia berbalik dan berjalan menuju toilet, meninggalkan Bima berdiri sendirian dengan tangan mengepal dan hati yang remuk.
Ketika Rendra dan Bima kembali, suasana di alas piknik sudah berubah. Tania dan Axel pura-pura sibuk dengan laptop, tapi mata mereka sesekali melirik gelisah. Dinda duduk dengan tangan dilipat di dada, wajahnya pucat.
"Udah?" tanya Dinda begitu Rendra duduk di sampingnya.
"Udah." jawab Rendra santai, seolah tidak ada yang terjadi.
Tapi Dinda bisa melihat Bima yang duduk kembali dengan wajah tegang. Rahangnya masih keras.
"Mas Bima, oke kan?" tanya Tania hati-hati.
"Oke kok." jawab Bima cepat. Tapi suaranya datar. Kosong.
Dinda menatap Rendra dengan mata yang seolah bertanya, 'what did you do?'
Rendra hanya tersenyum, lalu merangkul bahunya. "Udah sore. Kita pulang yuk."
"Tapi--"
"Kita udah lama di sini. Aku capek." potong Rendra lembut, tapi ada perintah halus di nada bicaranya.
Dinda menggigit bibir. Dia ingin protes, tapi melihat ekspresi Rendra yang menuntut membuatnya ragu.
"Oke." kata Dinda akhirnya, suaranya kecil.
Mereka berpamitan Rendra dengan sopan dan diplomatik, Dinda dengan canggung dan penuh rasa bersalah.
Saat mereka berjalan menjauh, Bima menatap punggung Dinda dengan mata yang penuh penyesalan.
Dan Rendra, dia tahu persis tatapan itu ada di sana. Karena memang itu tujuannya sejak awal. Untuk memastikan bahwa Bima tahu dengan jelas dan menyakitkan, bahwa dia sudah kalah.
...***...