Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaga Harga Dirimu!
Tubuhku terasa seperti es, membeku di tempat, sementara dunia di sekelilingku menyempit wajah dingin Aldo, ponselnya yang menyala di atas meja dengan nama Lika, dan genggaman telepon yang tergeletak bisu di lantai. Pilihan yang ia berikan bukanlah pilihan, melainkan dua jurang berbeda yang siap menelanku hidup-hidup.
“Waktumu habis, Aerra,” desis Aldo, matanya tak berkedip. “Jadi bonekaku, atau hancurkan adikmu. Pilih.”
“Jangan…” isakku, napasku tersengal-sengal. “Dia nggak salah apa-apa, Al. Tolong…”
“Aku tahu dia tidak salah. Justru karena itu, dia adalah senjataku yang paling ampuh terhadap ibunya,” sahutnya tanpa sedikit pun keraguan. “Dan kamu… kamulah yang akan menjadi pelindungnya. Sekarang, ambil telepon itu.”
Setiap sel di tubuhku menjerit untuk melawan, untuk lari, untuk menghancurkan semua bukti di ruangan ini. Namun, bayangan wajah Lika yang tertawa riang, yang tidak tahu bahwa dunianya dibangun di atas kebohongan yang mengerikan, melumpuhkan seluruh perlawananku. Aku tidak bisa membiarkannya hancur. Tidak seperti ini.
Dengan tangan yang gemetar hebat, aku membungkuk. Udara dingin dari lantai kayu seolah merambat naik ke tulang-tulangku saat jemariku yang kaku menyentuh genggaman telepon yang berat. Rasanya seperti mengangkat beban dosa seluruh keluargaku.
“Bagus,” puji Aldo, senyum tipisnya kembali terbit. Itu bukan senyum kemenangan, melainkan senyuman paksa. “Sekarang, hubungi dia.”
Aku menekan nomor Ibu dengan gerakan lambat. Setiap digit terasa membakar ujung jariku. Nada sambung berbunyi sekali, dua kali. Rasanya seperti lonceng kematian bagi kewarasanku.
“Halo?” Suara Ibu yang tajam dan sedikit tidak sabar terdengar dari seberang. “Ada apa, Ra? Tumben telepon malam-malam begini.”
Aku melirik Aldo dengan tatapan memohon, berharap ada sedikit belas kasihan di matanya. Ia memberi isyarat dengan dagunya, menyuruhku untuk bicara.
“Ha-halo, Bu…” suaraku bergetar parah, nyaris tak terdengar.
“Kenapa suaramu begitu? Kamu sakit?” tanya Ibu, nadanya langsung berubah curiga. “Aldo mana? Dia nggak macam-macam sama kamu, kan?”
Aku tertawa getir dalam hati. Macam-macam? Ibu bahkan tidak tahu separuh dari bahaya yang telah ia ciptakan dan lepaskan ke dalam hidupku.
“Nggak, Bu. Aldo baik,” paksaku untuk berkata, menelan ludah. “Aku… aku cuma mau tanya sesuatu.”
“Tanya apa? Cepatlah, Ibu lagi nonton sinetron favorit Ibu.”
Aldo bergerak tanpa suara. Ia mengambil sebuah papan tulis kecil dan spidol dari mejanya. Dengan tulisan tangan yang rapi dan cepat, ia menulis beberapa kata lalu menunjukkannya padaku.
‘Mas Aldo mau bantu keuangan keluarga kita.’
Mataku membelalak. Apa maksudnya ini? Permainan apa lagi yang sedang ia mainkan?
“Aerra? Kamu masih di sana?” bentak Ibu, kesabarannya terkurang.
“I-iya, Bu,” sahutku tergagap. Aku menatap Aldo, lalu ke papan tulis itu. Ia mengangguk, menyeringai. Ia ingin aku mengatakannya. “Anu… Bu. Tadi… tadi aku cerita sedikit sama Mas Aldo soal kondisi keuangan kita.”
“Cerita apa kamu?!” Suara Ibu langsung meninggi. “Ibu sudah bilang jangan pernah mengemis sama suamimu! Jaga harga diri!”
“Bukan begitu, Bu,” aku buru-buru menyanggah, mengikuti arahan tak terlihat dari Aldo. “Justru Mas Aldo yang menawarkan diri. Katanya… dia mau bantu.”
Hening sejenak di seberang sana. Aku bisa membayangkan kening Ibu berkerut, otaknya yang licik mulai bekerja, melihat adanya peluang.
“Bantu bagaimana maksudnya?” tanyanya, nadanya kini lebih terkendali, penuh selidik.
Aldo menghapus tulisan tadi dan menulis yang baru.
‘Dia mau ambil alih cicilan rumah di Pondok Indah.’
Jantungku serasa berhenti berdetak. Rumah itu adalah kebanggaan Ibu. Rumah yang ia beli setelah Ayah meninggal, yang cicilannya selalu menjadi beban pikiran. Aldo tahu segalanya.
“Mas Aldo… katanya dia mau… dia mau ambil alih semua sisa cicilan rumah kita yang di Pondok Indah, Bu,” ucapku dengan suara lirih. Rasanya seperti mengkhianati diriku sendiri.
Keheningan kali ini lebih lama. Aku bisa mendengar Ibu menahan napasnya.
“Kamu serius, Ra?” tanyanya, ada nada tidak percaya bercampur keserakahan dalam suaranya. “Kenapa tiba-tiba dia sebaik itu? Apa maunya?”
“Nggak ada mau apa-apa, Bu,” balasku, membaca skenario yang terus ditulis Aldo. “Dia bilang, dia cuma mau meringankan beban mertuanya. Dia bilang, kebahagiaan Ibu adalah kebahagiaan aku juga. Dan kebahagiaan aku adalah prioritas utamanya.”
Setiap kata terasa seperti kebohongan yang menjijikkan. Aku memuntahkan racun manis yang diracik oleh suamiku, dan ibuku menelannya mentah-mentah.
“Oh… Ya ampun…” desah Ibu. Aku bisa membayangkan matanya mulai berbinar. “Suamimu itu memang luar biasa, Ra. Kamu beruntung sekali. Ya sudah, kalau memang begitu maunya, sampaikan terima kasih Ibu padanya. Bilang, besok Ibu mau ketemu dia untuk bahas detailnya.”
“Baik, Bu.”
“Ingat, Aerra. Jaga sikapmu. Jangan sampai dia berubah pikiran. Layani dia dengan baik. Paham?”
“Paham, Bu,” jawabku lemah.
“Bagus. Sudah dulu, sinetronnya sudah mau mulai lagi.”
Telepon ditutup. Bunyi ‘tut-tut-tut’ yang monoton terasa lebih memekakkan daripada keheningan sebelumnya. Aku meletakkan genggaman telepon kembali ke tempatnya dengan tangan gemetar, lalu tubuhku luruh ke lantai. Tenagaku habis terkuras.
“Kamu lihat, kan?” Suara Aldo terdengar dari atasku. Ia tidak membantuku berdiri, hanya menatapku rendah. “Umpan yang paling sederhana pun akan langsung ia sambar. Dia tidak peduli denganmu, dia hanya peduli pada apa yang bisa kamu dan suamimu berikan.”
“Kamu jahat, Al…” rintihku, air mata kembali membanjiri pipiku. “Kamu benar-benar iblis.”
“Aku hanya memberikan cermin besar di hadapannya, Aerra. Kalau bayangan yang muncul adalah iblis, itu bukan salahku,” balasnya dengan tenang. Ia berjongkok di hadapanku, menyejajarkan tatapan kami. “Ini baru permulaan. Langkah pertama untuk mendapatkan kepercayaannya.”
“Setelah dapat kepercayaannya, apa lagi?” tanyaku dengan suara serak.
“Lalu aku akan mengambil segalanya darinya, satu per satu,” jawabnya, matanya penuh dendam. “Rumah itu akan jadi milikku. Harta lain yang ia sembunyikan juga akan jadi milikku. Dan pada akhirnya… aku akan mengambil Lika darinya.”
“Apa maksudmu?” tanyaku panik.
“Aku akan memberitahu Lika kebenarannya. Tapi tidak sekarang. Nanti, saat momennya paling tepat. Saat ibumu sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipegang, saat dia sudah menganggapku sebagai dewa penyelamat. Di saat itulah aku akan menunjukkan padanya bahwa dewa penyelamatnya adalah anak dari wanita yang telah ia hancurkan. Aku akan membuatnya melihat putrinya sendiri jijik padanya.”
Rencana itu begitu kejam, begitu terperinci, hingga membuatku mual. Ini bukan sekedar balas dendam. Ini adalah penyiksaan psikologis yang dirancang dengan sempurna.
“Kamu nggak akan berhasil,” desisku.
“Dengan bantuanmu? Aku pasti berhasil,” katanya penuh keyakinan. Ia bangkit berdiri, merapikan kembali jasnya yang sedikit kusut. “Mulai besok, peranmu berubah. Kamu bukan hanya istriku. Kamu adalah mata dan telingaku. Laporkan semua gerak-gerik ibumu. Setiap telepon, setiap rencana, setiap keluh kesahnya. Jangan ada yang terlewat.”
Aku hanya bisa menggeleng lemah, terisak di lantai yang dingin.
Aldo berjalan menuju pintu, seolah pembicaraan ini sudah selesai. Namun, ia berhenti di ambang pintu, tangannya memegang gagang pintu. Ia menoleh sedikit, melirikku dari balik bahunya.
“Oh, satu lagi, Aerra,” ujarnya dengan nada ringan yang mengerikan, seolah baru teringat sesuatu yang sepele.
Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan sisa-sisa harapan bodoh bahwa ia akan menghentikan semua ini.
“Soal cinta sejatimu itu… si Windu,” lanjutnya, dan seketika seluruh udara di paru-paruku seakan lenyap. Bagaimana… bagaimana dia bisa tahu?
“Aku tahu dia baru kembali ke Jakarta minggu lalu. Aku juga tahu kalian sempat bertukar pesan,” kata Aldo, senyumnya kini berubah menjadi diam. “Untuk sementara, lupakan dia. Jangan coba-coba menghubunginya. Karena kalau sampai kamu berani melanggar, aku tidak akan segan-segan membuatnya menghilang dari hidupmu. Selamanya.”