Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Kecil Yang Berharga
Suasana kantor saat itu terasa hening. Hanya terdengar suara ketikan keyboard dari ruang kerja Arga dan dengungan AC yang stabil. Lelaki itu duduk tegak di balik meja besar yang penuh dengan berkas-berkas dan laptop yang masih terbuka. Jasnya tergantung rapi di sandaran kursi, sementara kemejanya tetap licin tanpa satu lipatan pun yang salah tempat.
Wajah Arga tampak serius, matanya fokus pada layar laptop. Tangannya cekatan mengetik, sesekali memutar pena di sela jarinya, dan kadang memijat pelipis pelan setiap kali menemukan data yang tidak sesuai. Dari luar, ia terlihat tenang dan teratur. Tapi di dalam kepalanya, pikirannya dipenuhi dengan banyak hal yang berputar tanpa henti.
Kenapa laporan ini selalu ada yang salah? Udah bolak-balik diingatkan, tetap aja berantakan. Apa gue harus turun tangan sendiri?
Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap layar.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar pelan. Tok tok tok.
Tanpa menoleh, Arga hanya berkata singkat, "Masuk."
Pintu terbuka dan Selina, sekretaris nya, masuk dengan langkah anggun. Ia membawa sebuah map biru di tangannya dan senyum tipis di wajahnya. Selina mengenakan blouse krem sederhana dan rok hitam selutut yang elegan, rambut sebahunya ditata rapi.
"Pagi, pak" ucapnya lembut.
Arga hanya mengangguk singkat tanpa mengangkat wajah. "Taruh aja di meja," ujarnya datar.
Selina meletakkan map itu dengan hati-hati, lalu berdiri di tempatnya sebentar. Tatapannya jatuh pada Arga yang masih tenggelam dalam pekerjaan. Pria itu terlihat begitu fokus, begitu terarah, seolah seluruh dunia di luar ruangan itu tak penting.
Di dalam hati, Selina merasakan sesuatu yang sulit ia jelaskan. Mereka sudah bekerja dengan Arga sejak lama, bahkan sebelum Arga menikah beberapa tahun lalu. Selama ini, ia hanya bisa memperhatikan dari jauh, menyembunyikan perasaannya yang tak pernah ia ungkapkan.
Dulu, saat Arga masih menikah, Selina hanya bisa memendam rasa itu dalam-dalam. Namun ketika mendengar kabar bahwa Arga dan istrinya bercerai, diam-diam ada rasa lega yang ia rasakan. Rasa bersalah sempat menyelimutinya, tapi perasaan bahagia itu jauh lebih kuat.
Ia tak pernah menunjukkan apa yang ia rasakan di depan Arga. Di hadapan lelaki itu, ia tetap bersikap profesional sekretaris yang cermat. Tapi setiap kali melihat Arga bekerja keras seperti ini, Selina merasa ingin berada di sampingnya, mendukungnya, bahkan melindunginya.
Arga, tanpa sadar, menjadi pusat dunianya.
Selina menatap wajah pria itu lama-lama, lalu tersenyum samar. Senyum yang penuh dengan rasa sayang yang tak pernah tersampaikan. Ia lalu melangkah mundur, menjaga jarak, agar perasaannya tak terlihat jelas.
"Kalau nggak ada yang lain, gue keluar dulu," ucapnya lembut.
Arga hanya mengangguk tanpa menoleh. "Hmm."
Selina berbalik dan berjalan menuju pintu. Saat hendak keluar, ia sempat menoleh sekali lagi, memperhatikan Arga yang sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dalam hati, ia bergumam pelan, Gue seneng lo sekarang sendiri, Gar. Walau egois, gue berharap suatu hari lo bakal ngeliat gue... bukan cuma sebagai sekertaris, tapi lebih dari itu.
Pintu tertutup pelan, meninggalkan Arga yang tetap larut dalam kesibukannya, sama sekali tak menyadari badai perasaan yang diam-diam bergelora di hati Selina.
Suara dering ponsel mendadak memecah keheningan di ruangan itu. Arga yang sedang sibuk menatap layar laptop mengerutkan dahi. Ia melirik ponselnya yang bergetar di atas meja, melihat nama Raka tertera di layar.
Dengan cepat ia meraih ponsel dan mengangkatnya.
"Halo, Raka," ucap Arga, suaranya datar namun sedikit lebih lembut daripada biasanya.
Suara anak laki-laki terdengar dari seberang, jelas dan sedikit kesal.
"Halo, Pa. Raka udah pulang sekolah, kok Papa nggak jemput sih?" suara Raka terdengar menggemaskan, tapi juga penuh ketegasan khas anak yang cerdas dan mandiri.
Arga langsung menegakkan tubuhnya, matanya melebar. Ya ampun, gue lupa... batinnya.
"Ya ampun, Raka... maaf ya, Papa lupa," ucap Arga cepat-cepat, nada suaranya kali ini terdengar benar-benar menyesal.
Di seberang, Raka menghela napas kecil. Meski masih kecil, ia cukup dewasa dan mengerti kalau papanya sering sibuk. Tapi tetap saja, ada sedikit kecewa dalam suaranya.
"Yaudah, tapi jangan lama-lama ya, Pa. Raka nunggu di depan sekolah. Temen-temen Raka tadi udah pada dijemput semua."
Arga menutup mata sejenak dan memijit pelipisnya. Perasaan bersalah langsung menyeruak.
"Iya, Papa ngerti. Kamu tunggu di situ aja, jangan kemana-mana, ya. Papa berangkat sekarang juga."
"Oke, Pa. Tapi cepetan ya." Suara Raka terdengar tegas tapi tetap sopan. Ia memang anak yang pintar, selalu berbicara dengan jelas dan penuh pengertian, walau terkadang nada bicaranya membuat orang dewasa terkejut karena kedewasaannya.
Begitu panggilan berakhir, Arga langsung berdiri dari kursinya. Ia mengambil jas yang tadi digantung di kursi dan mengenakannya dengan cepat. Sambil merapikan jasnya, ia meraih kunci mobil yang tergeletak di meja.
Selina yang sejak tadi berdiri di dekat pintu memperhatikan Arga dengan sedikit bingung. "Gar, lo mau kemana? Rapat sama klien kan masih..."
"Saya harus jemput Raka," potong Arga cepat tanpa menoleh. Nada suaranya kali ini penuh ketegasan yang jarang ia tunjukkan.
Selina terdiam, hanya mengangguk sambil memperhatikan punggung Arga yang tergesa-gesa berjalan keluar ruangan. Dalam hatinya, ada sedikit rasa hangat melihat sisi lain Arga yang jarang muncul seorang ayah yang ternyata sangat peduli pada anaknya.
Di depan sekolah, Raka duduk di bangku taman kecil sambil memegang tas punggungnya. Anak laki-laki itu tampak rapi dengan seragam putih-biru yang sudah sedikit kusut karena seharian belajar. Meski masih kecil, sorot matanya menunjukkan kecerdasan dan ketenangan yang melebihi anak seusianya.
Di sekitarnya, halaman sekolah sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru dan satpam yang lalu-lalang. Raka sesekali melihat jam di pergelangan tangannya, lalu menghela napas.
Papa pasti lagi sibuk banget, pikirnya sambil menggoyang-goyangkan kaki kecilnya.
Meski kecewa, ia tetap sabar menunggu. Raka tahu pekerjaan papanya penting, dan ia tidak mau membuat Arga merasa tertekan dengan sikapnya. Namun, jauh di dalam hati, ia tetap berharap papanya bisa meluangkan waktu lebih banyak untuknya.
Di sisi lain, Arga mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Tangannya menggenggam setir erat, sementara matanya fokus pada jalanan.
Gue bener-bener nggak boleh lupa lagi. Raka udah cukup mandiri buat anak seumur dia, tapi tetap aja... dia masih butuh gue ada di sana, batinnya.
Meski dari luar Arga selalu terlihat tenang dan jarang menunjukkan emosi, di dalam kepalanya ia penuh dengan rasa khawatir dan penyesalan. Ia mungkin tidak pandai mengungkapkan kasih sayang lewat kata-kata, tapi setiap tindakannya selalu berusaha menunjukkan betapa ia peduli pada anaknya.
Tak lama kemudian, Arga sampai di sekolah. Dari kejauhan, ia melihat sosok kecil yang duduk sendirian di bangku taman. Raka.
Anak itu berdiri begitu melihat mobil papanya mendekat. Wajahnya yang tadi murung langsung sedikit cerah, meski ia berusaha tetap terlihat tegar.
Arga turun dari mobil dan berjalan cepat ke arah Raka.
"Maaf ya, Papa telat," ucap Arga sambil mengusap kepala anaknya.
Raka mendongak, matanya yang bening menatap papanya dengan ekspresi setengah kesal, setengah lega.
"Gak apa-apa, Pa. Tapi lain kali jangan lupa lagi, ya."
Arga mengangguk. "Iya, Papa janji."
Raka kemudian tersenyum tipis dan meraih tangan papanya.
"Ayo, Pa. Raka lapar. Kita makan dulu sebelum pulang, ya?"
Melihat senyum itu, perasaan bersalah di dada Arga sedikit mereda. Ia tersenyum tipis, mengangguk, lalu menggandeng tangan anaknya menuju mobil.
"Boleh. Kamu yang pilih tempatnya."
Bagi Arga, tak ada rapat atau pekerjaan yang lebih penting daripada senyum kecil itu.