NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:220
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 16 Petak umpet

Malam turun perlahan di kota Depok. Lampu jalan menyala temaram, trotoar basah sehabis hujan ringan, dan udara membawa bau khas yang menyegarkan. Aku dan Martin tidak punya tujuan malam itu. Kami hanya berjalan, beriringan, menyusuri jalanan yang tak begitu ramai.

"Kita mau ke mana?" tanyaku, menoleh padanya.

Martin tertawa pelan.

"Entahlah. Kadang yang paling indah bukan tempat tujuannya, tapi perjalanannya."

Aku mengangguk, membenarkan dalam hati.

Trotoar di depan kami dipenuhi kotak-kotak keramik, bekas lama yang sudah mulai pudar warnanya. Dan entah siapa yang memulai, tapi tiba-tiba Martin melompat dari satu kotak ke kotak lainnya, seperti anak kecil yang sedang bermain lompat petak.

"Ayo Kelly! Lompati kotaknya. Jangan injak garis!" serunya sambil tertawa.

Aku tertawa juga.

"Martin, kita bukan anak kecil!"

"Justru karena itu!" katanya,

"Kita sudah terlalu dewasa sampai lupa caranya bahagia dari hal kecil."

Aku ikut melompat. Satu… dua… tiga. Tiba-tiba saja dunia jadi lebih ringan. Tawa kami pecah di jalan yang sepi, dan orang-orang yang lewat hanya tersenyum melihat kami. Tapi kami tak peduli.

Malam itu kami bukan dua orang dewasa yang sedang jatuh cinta.

Kami dua anak kecil yang menemukan dunia kecil mereka sendiri di antara keramaian kota. Setiap kotak lantai trotoar seperti permainan rahasia. Siapa yang melompat keluar dari kotak, kalah. Dan siapa yang tertawa paling kencang… menang.

"Kamu tahu Kelly…" ujar Martin, masih melompat,

"hidup ini terlalu pendek untuk dijalani dengan terlalu serius."

Aku terdiam sejenak, melihatnya.

Cara dia tertawa. Cara dia menikmati waktu tanpa peduli jam di tangannya. Cara dia membuat hal sederhana terasa seperti petualangan.

Setelah beberapa menit main lompat-lompatan kayak anak kecil, kami mulai kelelahan. Nafas kami tersengal, tapi senyum di wajah kami belum hilang. Martin jalan duluan, sedikit lebih cepat di depanku, mungkin karena dia lagi sibuk melihat-lihat sesuatu di seberang jalan.

Dan di saat itulah aku punya ide kecil.

Aku berbalik perlahan, lalu berlari pelan ke arah pohon besar di dekat trotoar, bersembunyi di balik tiang lampu jalan yang redup. Aku tahan tawaku.

"Martin…" bisikku pelan, padahal tahu dia takkan dengar.

Dia terus melangkah, baru sadar beberapa detik kemudian bahwa aku tidak lagi berjalan di belakangnya. Ia menoleh cepat, matanya langsung mencari.

"Kelly?" suaranya terdengar agak panik.

"Kelly? Di mana kamu?"

Aku menutup mulut, menahan tawa. Dia memutar badan, melangkah kembali ke arah semula, matanya menatap kanan kiri.

"Kamu ngilang kayak ninja!" katanya setengah panik.

Begitu dia mendekat ke tempatku, aku langsung lompat kecil dari belakang tiang dan berkata,

"Boo!"

Martin terlonjak kaget dan melompat setengah meter ke belakang.

"Astaga Kelly!" katanya sambil tertawa keras. Kamu hampir bikin jantungku copot!"

Aku nggak bisa menahan tawa. Aku tertawa keras sambil memegangi perut.

Martin menatapku, lalu menggeleng dengan senyum lebar.

"Kamu senang banget bikin aku panik ya?"

"Habis lucu banget liat kamu langsung bingung begitu," jawabku sambil tertawa.

Martin mendekat dan menjitak pelan kepalaku.

"Dasar nakal. Tapi ya… aku lebih senang kamu bikin aku kaget begini, daripada kamu tiba-tiba hilang beneran."

Aku terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan.

"Aku nggak akan hilang, Martin. Selama kamu masih nyari."

Dia menatapku, lalu tersenyum kecil.

"Selama kamu masih sembunyi di balik tiang, aku bakal selalu nyari."

Dan kami tertawa lagi. Malam itu mungkin sederhana, tapi kenangannya tak akan pernah jadi kecil.

Tawa kami masih tersisa saat kami duduk sebentar di pinggir jalan, tepat di depan minimarket yang sudah mulai sepi. Kami minum air mineral dingin, mencoba menenangkan nafas setelah semua permainan kecil yang kami lakukan barusan.

Martin menatapku sambil mengelap keringat di lehernya dengan tisu.

"Kelly…" katanya pelan.

"Hmm?"

"Bukannya kita tadi rencananya mau ke masjid?"

Aku langsung terdiam sejenak, lalu menepuk dahiku.

"Ya ampun! Iya ya! Aku sampai lupa."

Martin tertawa.

"Aku juga lupa. Kamu bikin aku sibuk loncat-loncat, sembunyi di balik tiang… dan aku jadi lupa semuanya."

Kami berdua tertawa lagi, tapi setelah itu sama-sama menatap ke arah masjid yang berdiri tenang tak jauh dari tempat kami duduk. Gerbangnya sudah tertutup. Lampunya hanya tinggal beberapa, menyisakan cahaya redup yang menciptakan siluet menenangkan.

"Sepertinya udah tutup," kataku pelan.

"Masjid di sini nggak buka sampai larut malam. Apalagi kalau bukan malam Jumat atau bulan Ramadan."

Martin mengangguk, menatap masjid itu sejenak dengan raut yang damai.

"It's okay. Aku masih bisa ke sana lain kali."

"Iya, masih ada waktu," jawabku sambil tersenyum.

Kami berdua berdiri, dan tanpa banyak kata lagi, kami berjalan beriringan menuju hotel. Langkah kami tak seceria tadi, tapi lebih tenang. Udara malam mulai dingin. Kota mulai hening.

Kami berjalan pelan menyusuri trotoar malam itu. Suasana mulai sepi, hanya sesekali kendaraan melintas. Angin malam membelai rambutku pelan, dan aku melirik Martin yang tampak tenang di sampingku.

Aku menarik napas sebentar sebelum akhirnya bertanya,

“Martin… sebenarnya kenapa kamu pengen ke masjid?”

Martin menoleh padaku, lalu tersenyum kecil.

“Kenapa, kamu heran?”

“Iya… maksudku, kamu kan bukan muslim. Tapi kamu tadi semangat banget pengen ke sana.”

Dia tertawa pelan, lalu menatap ke depan.

“Aku memang bukan muslim, tapi aku selalu penasaran dengan tempat ibadah. Karena menurutku, tempat ibadah itu punya energi tenang yang nggak bisa dijelasin.”

Aku mengangguk pelan.

“Kamu pengen lihat dari luar, atau masuk ke dalam juga?”

“Kalau boleh, aku pengen masuk. Bukan untuk ikut berdoa, tapi… untuk duduk sebentar. Diam. Menghargai.”

Dia diam sebentar, lalu melanjutkan,

“Kadang… saat traveling, yang aku cari bukan cuma pemandangan atau makanan. Tapi bagaimana orang-orang terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dan menurutku… masjid itu salah satu tempat yang paling damai di dunia.”

Aku menatapnya, terdiam.

Ada sesuatu dalam ucapannya yang menyentuh, yang membuatku merasa… dia tidak datang hanya untuk liburan. Tapi untuk memahami, menghargai, dan mungkin… menyembuhkan dirinya sendiri.

“Aku suka kamu bisa mikir kayak gitu,” kataku akhirnya.

“Banyak orang datang ke sini cuma buat cari pantai atau foto bagus. Tapi kamu beda.”

Martin tersenyum, menatapku dengan lembut.

“Mungkin karena aku juga nyari hal lain, Kelly. Dan siapa tahu… aku juga sedang nyari seseorang.”

Aku menunduk sebentar, menahan senyum.

Malam makin larut. Tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang mulai terang.

Dan saat kami sampai di depan hotel, Martin membuka pintu lobi untukku.

Dia tidak bilang “sayang” atau “aku cinta kamu.” Tapi dia bilang:

"Ayo masuk, kamu pasti lelah."

Dan satu hal yang selalu aku ingat dari Martin, dia tidak pernah lupa membukakan pintu untukku.

Entah itu pintu hotel, restoran, minimarket kecil di pinggir jalan, atau bahkan pintu lobi yang sepele. Dia selalu berjalan setengah langkah lebih cepat, hanya untuk memastikan aku masuk lebih dulu. Dan saat pintu itu terbuka, dengan tangan kirinya yang santai dan senyumnya yang tulus, dia akan berkata pelan:

"Gadisku… silakan masuk duluan."

Kalimat sederhana itu, entah kenapa, meneduhkan.

Bukan karena aku merasa seperti putri, tapi karena aku merasa dihargai, diperhatikan, dan diperlakukan dengan lembut. Di dunia yang penuh tergesa, Martin selalu memilih untuk pelan, untuk hadir sepenuhnya, bahkan hanya untuk membuka pintu.

Dan setiap kali dia melakukannya, aku merasa…

mungkin ini caranya bilang, “aku akan selalu mendahulukan kamu, tanpa harus kau minta.”

Dan malam pun ditutup tanpa janji besar.

Hanya dua pasang langkah yang kembali, ke tempat mereka bisa beristirahat dengan tenang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!