Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Dan ia pun memiliki keahlian pandai mengaji. Ia pun bercita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid, ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia digilir secara bergantian lalu ia dicampakan layaknya binatang. Karena ia buta, para pemuda ini berfikir, ia tak mungkin bisa mengenali mereka. Dan mereka pun membiarkan Casanova hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang sangat menakutkan didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka satu persatu keluarga kalian juga harus mati.
Yuk... ikuti kelanjutan kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 HATI YANG TERLUKA
Casanova yang masih terduduk kaku di sofa, tubuhnya gemetar halus mendengar ucapan teman temannya, sementara air mata terus mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang sudah pucat sejak tadi.
Kayano memandangi kakaknya dengan hati yang nyaris hancur. Ia merasa begitu tak berdaya melihat wanita yang selama ini kuat, kini terpuruk dalam kepedihan yang tak sanggup diungkap oleh kata kata.
Ia tidak tahu harus berkata apa, tak tahu bagaimana harus menghapus luka yang begitu dalam, dan begitu menganga. Yang bisa ia lakukan hanya satu yaitu duduk di samping kakanya Casanova dan memeluknya erat-erat.
Ia berharap pelukannya bisa memberi sedikit kehangatan untuk sang kakak, meski tak bisa menyembuhkan, setidaknya bisa menenangkan nya. Ia ingin kakaknya tahu, bahwa ia tidak sendirian.
“No…” bisik Cassanova akhirnya suaranya pecah, lirih dan serak seperti desah nafas yang hampir padam,
"Mbak. Aku di sini...ada apa, Mbak? ” jawab Kayano dengan lembut, dan penuh kasih sayang.
Casanova menunduk, tangannya bergetar saat mengusap air mata yang terus mengalir dari wajahnya yang pasi.
“Aku… aku tidak kuat lagi, No… Mereka semua… semua bisa jadi tahu… Dari mana mereka tahu ini semua, No?” tanya Casanova dengan suaranya naik turun, tersendat oleh tangis.
“Tak ada orang lain selain aku disana… Tapi bagaimana mereka semua bisa tahu. Bahkan tak ada seorang pun yang menolong ku, No. Tidak ada satu orang pun… bagaimana mereka bisa tahu, No? Darimana mereka semua tahu? "tanya nya lagi dibarengi dengan isak tangis.
Tangisnya pecah, memilukan, menggetarkan ruang sunyi tempat mereka duduk. Kayano mengepalkan tangan, menahan luapan emosi yang mendesak keluar dari dalam dadanya. Bibirnya bergetar, dan matanya mulai digenangi air mata yang panas.
Ia ingin marah, ingin menghancurkan dunia yang telah begitu kejam terhadap kakaknya. Tapi yang dapat ia lakukan saat ini hanya memeluk Casanova lebih erat.
“Jangan pikirin mereka, Mbak,” bisik Kayano dengan suara yang bergetar.
“Mereka hanya bisa mengejek dan menghina. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya bisa menuduh dan menebak-nebak saja Mbak. "jawab Kayano.
"Mbak jangan khawatir ya. Aku selalu ada buat Mbak. Aku janji, Mbak. Aku akan selalu, jaga Mbak.” jawabnya lagi.
Casanova tak menjawab, tapi tangan kurusnya menggenggam lengan Kayano semakin kuat, seolah mencari pegangan terakhir di dunia yang begitu mengguncangnya.
Dalam diam, mereka larut dalam duka yang hanya dimengerti oleh mereka yang tersakiti yang tahu rasanya dihancurkan oleh prasangka, oleh tuduhan, dan oleh dunia yang tak mau mendengar.
Di luar sana, dunia tetap berjalan tanpa peduli. Tapi di sudut rumah sederhana itu, ada dua hati yang saling menguatkan dalam luka. Di tengah retaknya harapan, mereka masih punya satu sama lain.
“Dunia memang kejam untuk kita yang miskin ini, No.” ucap Casanova lirih, suaranya seakan datang dari lubuk hati yang paling dalam.
“Tapi janji ya, kamu jangan pernah ninggalin Mbak. Hanya kamu dan ibu yang Mbak punya. Kalau kamu pergi… Mbak tidak tahu harus bagaimana lagi, No. ”ucapnya lagi.
Kayano menatap wajah kakaknya yang sembab, lalu mengangguk dengan mantap dan penuh tekad. Ia tidak akan membiarkan Casanova sang kakak runtuh sendirian.
"Aku janji, Mbak… Selamanya aku akan terus jagain Mbak Nova. Kita tidak akan terpisah. Mbak jangan nangis lagi, ya… Kita pasti bisa lewatin semua ini bersama…" ucap Kayano dengan suara yang terdengar bergetar, meski ia mencoba terdengar kuat.
Matanya nanar menatap wajah kakaknya yang penuh luka dan kehancuran. Ia peluk tubuh Casanova yang mulai melemas, seolah pelukannya bisa menahan semua derita yang menimpa mereka.
Tapi jauh di lubuk hatinya, Kayano tahu… tak ada kata-kata penghibur yang bisa menghapus kenyataan pahit ini. Dunia mereka sudah terlanjur remuk. Malam menjalar perlahan, sunyi menusuk hingga tulang.
Desa kecil itu hanya dihiasi nyanyian jangkrik yang bersahutan, seperti melodi duka yang tak kunjung usai. Di dalam kamar remang-remang, Casanova tertidur pulas dengan wajah yang tetap pucat dan sayu. Hanya nafasnya yang tenang menandakan bahwa untuk sesaat, ia bebas dari pedih yang menyesakkan.
Di tepi ranjang, Bu Rahmi duduk kaku, memandangi putrinya dalam diam yang menyiksa. Matanya sembab. Jemarinya gemetar. Dalam benaknya hanya satu kata yang terus menggema yaitu gagal.
Ia merasa gagal sebagai seorang ibu. Gagal melindungi darah dagingnya sendiri dari kebiadaban manusia. Gagal menjadi tameng saat dunia menghantam putrinya tanpa ampun. Dan kini, saat Casanova membutuhkan keadilan… semuanya diam. Tak ada yang peduli. Tak ada yang mau menolong.
Dengan tubuh yang lelah dan hati yang nyaris hancur, Bu Rahmi bangkit perlahan. Ia keluar kamar dengan langkah goyah, lalu menemukan Kayano yang masih terduduk di ruang tamu, memeluk lututnya sendiri. Bocah itu belum tidur. Matanya tajam menatap gelap, namun penuh bara. Meskipun diam, amarahnya terasa membakar udara di sekitarnya.
Kayano terlalu muda untuk menanggung semua ini, tapi dia menahannya seperti laki-laki dewasa. Bu Rahmi melihat itu ketabahan pura-pura yang menyiksa. Ia tahu, di balik ketenangan wajah anak bungsunya, ada dendam yang menggelegak, menunggu saat untuk meledak.
“No…” panggil Bu Rahmi lirih, duduk di sebelahnya. “Ibu mau cerita sesuatu…” ujar Bu Rahmi.
Kayano menoleh, matanya menyimpan tanya dan kehati-hatian. Ia tidak bicara. Hanya menatap ibunya dalam diam yang menusuk, seolah tahu bahwa apa pun yang akan diucapkan berikutnya… akan menambah luka yang sudah penuh di hati mereka.
“Ibu sudah coba cari bantuan…” ucap Bu Rahmi dengan suara yang nyaris terdengar seperti desah napas. Lelah. Patah.
“Ibu sudah coba bicara degan Pak Kades, dan meminta bantuan untuk mencari pelakunya. Tapi mereka bilang tidak ada bukti yang kuat. Jadi mereka tidak bisa membantu. "ucap Bu Rahmi pilu.
"Mereka sama sekali tidak merasa simpati kepada Mbakku No. Bukti tidak cukup hanya dengan cerita saja. Jadi kita tidak akan tahu siapa pelakunya. Dan tidak bisa ditindaklanjut Iagi. "ucapnya lagi.
Kayano mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.
"Jadi Pak Kades juga tidak mau membantu, Bu?" tanyanya dengan suara yang parau, dan bergetar oleh kemarahan yang mulai menyala dalam dadanya.
Bu Rahmi menghela napas berat, menggeleng pelan. "Tidak, Nak… Mereka bilang, tanpa saksi atau bukti, semuanya jadi sulit. Bahkan tidak ada yang tahu seperti apa wajah mereka. Mbakmu juga... tidak bisa melihat. Kita tidak punya satu pun petunjuk." ucap Bu Rahmi.
Kayano menggeram pelan, suara itu nyaris seperti desis hewan terluka. Matanya memerah, penuh gejolak. Dendam dan kecewa bergulat dalam dadanya. Sejak kejadian itu, amarahnya terus ia simpan rapat-rapat, tapi kini, semuanya mulai retak.
Bagaimana mungkin? pikirnya. Bagaimana mungkin tidak ada satu pun yang peduli? Apa semua akan diam saja, sementara kakaknya dihancurkan hidup-hidup? Dadanya sesak. Kepalanya panas. Apa karena mereka hanya orang miskin? Lalu apakah keadilan hanya untuk yang punya kuasa?
BERSAMBUNG..
mampir juga yuk kak ke karyaku