Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir Berakhir
Rivan benar-benar tidak diberi kesempatan untuk memilih. Dalam satu hari, seluruh dokumen kepindahannya telah diurus, termasuk surat pengunduran dirinya dari kampus. Kabar itu cepat menyebar—Rivan dikatakan pindah ke luar negeri bersama orang tuanya untuk menemani sang ayah yang bertugas di sana.
"Jadi, Na, Rivan ninggalin lo gitu aja?" tanya Sofia, masih tak percaya.
"Enggak tahu, Sof. Gue belum dapet penjelasan apa pun dari dia," jawab Shanna pelan.
"Sabar ya, Na. Gue doain yang terbaik buat kalian. Padahal hubungan kalian udah empat tahun, kan? Kenapa tiba-tiba dia mutusin buat pergi?"
"Mungkin di sana hidupnya lebih baik. Dia bakal selalu bareng orang tuanya," suara Shanna terdengar datar, seolah ia sendiri masih berusaha meyakinkan dirinya.
"Tapi lo rela, Shan?"
"Gue bisa apa?"
Dalam hatinya, Shanna ingin menangis. Dalam situasi sepahit ini, ia terpaksa berpura-pura baik-baik saja. Kenyataan bahwa Rivan benar-benar pergi sudah ada di depan mata. Tapi bagaimana dengan dirinya? Dengan bayi dalam kandungannya? Haruskah ia menyerah begitu saja?
Hari itu, Shanna nyaris tidak bicara. Sepanjang hari, ia terus mencoba menghubungi Rivan, tetapi semua panggilannya tak pernah tersambung.
Padahal hanya tinggal satu hari lagi sebelum ia harus memberi keputusan kepada ibunya tentang nasib bayi yang dikandungnya.
Dengan gelisah, ia mengusap wajahnya. Air mata terus jatuh, bahkan ketika ia berusaha menyekanya.
"Kamu meninggalkan aku dalam keadaan seperti ini, Van…" isaknya pelan.
Keesokan harinya, setelah berbagai bujukan dan paksaan, Rivan benar-benar pergi. Sebelum keberangkatannya, ia sempat menitipkan sepucuk surat kepada Damian. Ponselnya masih ditahan oleh Mega, jadi ini satu-satunya cara agar pesannya sampai kepada Shanna.
Shan,
Aku minta maaf karena di saat sulit ini aku harus pergi. Bukan karena aku tidak mau memperjuangkan kita, tapi hanya dengan kepergianku, aku bisa menyelamatkan kalian. Jika aku tetap di sini, ancaman itu tidak akan berhenti. Aku pun tak akan bisa melindungimu.
Aku memilih pergi, demi keselamatanmu dan bayi kita.
Jika ini terlalu berat untukmu, ikhlaskanlah, Shan. Lepaskan bayi kita. Mari kita sama-sama merelakannya.
Tapi jika kamu ingin mempertahankannya, aku berjanji akan kembali. Entah kapan, tapi aku akan pulang—lebih kuat, lebih siap untuk melindungi kalian.
Maafkan aku, sekali lagi.
Shanna menerima surat itu dari Damian di sebuah kedai kopi setelah kuliah usai.
"Rivan sudah berangkat tadi siang, Shan," ucap Damian, memperhatikan wajah Shanna yang mulai basah oleh air mata.
"Jadi… dia benar-benar meninggalkan aku dan bayi ini?" suaranya nyaris bergetar.
"Dia berusaha melindungimu dengan cara yang paling memungkinkan," jawab Damian, datar.
"Terus… bagaimana dengan nasib kami, Om?"
Damian menghela napas pelan. "Lebih baik kamu fokus pada dirimu sendiri, Shan. Anak itu hanya akan menambah masalah untukmu. Kamu masih muda. Kamu masih punya banyak kesempatan di lain waktu untuk punya anak. Dengan cara yang benar."
"Jadi aku harus menggugurkannya?" tanyanya lemah.
"Ya, saya lebih menyarankan itu."
Shanna menatap Damian, matanya dipenuhi emosi yang sulit dijelaskan. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir pria itu—tanpa ragu, tanpa empati. Padahal bayi yang dikandungnya juga bagian dari keluarga Wiratama.
"Baiklah, Om. Aku pergi dulu," ucapnya, lalu bangkit dan pergi begitu saja.
Pikirannya terasa penuh. Semua orang menekannya untuk segera mengambil keputusan. Ia ingin mempertahankan bayinya, tapi siapa yang bisa melindungi mereka? Ayah dari bayinya telah pergi. Sementara Mega terus-menerus meneror keluarganya.
Setibanya di rumah, Shanna langsung merebahkan diri.
"Maaf, Nak… maafkan aku," bisiknya, mengusap perutnya. Ia menutup mata, berharap tidur bisa menjadi pelariannya.
Pagi itu, pukul enam, Shanna terbangun dengan mata sembap dan wajah pucat. Bahkan dalam tidurnya, ia masih menangis.
Hari ini adalah hari penentuan. Semua orang menunggu jawabannya—jawaban yang, sejujurnya, bukan pilihan. Karena pada akhirnya, yang mereka ingin dengar hanyalah satu: bahwa ia setuju untuk menggugurkan kandungannya.
"Bu…" panggilnya lirih ketika duduk di hadapan Rina.
"Demi kebaikan semua orang, aku akan mengikuti keinginan kalian."
"Jadi kamu akan menggugurkannya?" tanya Rina pelan.
Shanna mengangguk lemah.
"Maafkan Ibu, Shanna," suara Rina bergetar. "Bukan karena Ibu tidak ingin menerima cucu Ibu, tapi… bayi itu tidak akan sanggup menanggung nama keluarga Wiratama. Bebannya terlalu berat."
Shanna hanya terisak, memahami maksud ibunya. Tak lama kemudian, ia menghubungi Mega dan menyatakan persetujuannya.
"Baguslah," jawab Mega dari seberang telepon. "Saya akan segera mengirim orang untuk menjemputmu ke rumah sakit. Kamu pasti segera pulih. Saya sudah mengatur dokter terbaik untuk menangani semuanya."
Benar saja, satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Seorang pria turun, mendekat dengan santai agar tidak menarik perhatian.
Tanpa perlawanan, Shanna mengikuti pria itu. Sesekali, ia membuka ponselnya—bukan untuk menelepon siapa pun, hanya untuk melihat chat yang tak pernah sampai kepada Rivan. Atau sekadar menatap galeri berisi kenangan mereka berdua di masa lalu.
Sambil menggenggam erat ponselnya, air mata jatuh satu per satu.
Mungkin, ini benar-benar akhirnya.
Sesampainya di rumah sakit, Shanna menjalani pemeriksaan awal. Semua berjalan lancar hingga akhirnya ia diminta melakukan USG. Di layar monitor, sosok kecil berusia lima minggu itu terlihat begitu mungil, namun detak jantungnya terdengar kuat. Hati Shanna terasa seperti disayat.
Matanya terpejam, menahan gelombang emosi yang mendesak keluar. Apakah benar tak ada jalan lain? Apakah semuanya harus berakhir di sini? Air mata jatuh di sudut matanya, tanpa bisa ia tahan.
"Apa ada yang sakit?" tanya dokter kandungan itu, memperhatikan ekspresinya yang dipenuhi kesedihan.
"Hati saya sakit sekali," suara Shanna bergetar.
Dokter itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kamu masih punya kesempatan untuk mundur. Saya tidak akan melakukan tindakan pada seseorang yang tidak menginginkannya. Bayi ini sehat dan kuat. Apa kamu benar-benar ingin membesarkannya?"
"Ya, Dokter... tapi tak ada yang mendukungnya untuk lahir ke dunia ini." Shanna terisak, menutup wajah dengan kedua tangan. "Bahkan ayahnya sendiri menyuruhku untuk mengikhlaskannya."
Sang dokter menatapnya penuh empati. "Berdoalah. Bantuan Tuhan selalu datang di saat yang paling mendesak dalam hidup kita."
Shanna terdiam. Kata-kata itu menggema di hatinya. Dengan penuh ketidakberdayaan dan keputusasaan, ia mulai berdoa dalam hati.
"Tuhan, dalam hidupku tak ada yang bisa kuandalkan, bahkan diriku sendiri. Hanya Kau, Tuhan. Hanya Kau yang kupunya dan yang memiliki diriku. Tolong selamatkan aku dan bayiku. Berikan aku jalan, meski sebelumnya jalan itu tak pernah ada. Aku tak berdaya dan tak berkuasa, tapi Kau Maha Penguasa."
Ia masih tenggelam dalam doa ketika seorang perawat masuk, bersiap membawanya menuju ruang tindakan.
"Apakah Ibu keluarga Wiratama?" tanya perawat itu sambil memeriksa dokumen.
Shanna menoleh ragu, lalu mengangguk pelan. Mega lah yang membawanya ke sini, dan ia tahu, nama Wiratama memiliki pengaruh besar.
Perawat itu tersenyum ramah. "Sepupu saya asisten Wakil Presdir Damian. Saya kira Anda istrinya," ujarnya santai.
Shanna tertegun. Sesuatu dalam benaknya bergerak cepat. Kata-kata perawat itu seolah membuka celah baru—sebuah jalan yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Matanya membulat, menerawang jauh ke depan.
Mungkin... ini jawaban Tuhan.
"Berhenti, saya tidak bisa melanjutkan ini." Ucap Shanna tegas.